Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33 Persiapan Pertandingan Bela Diri: Seni Naga Api
Ucapan itu seperti pisau yang menusuk langsung ke harga diri Ye Jiang. Wajahnya kini merah padam, urat di lehernya menegang.
Tapi sebelum emosi bisa meledak lebih jauh, Wu Shen membalikkan badan, melambaikan tangan tanpa menoleh.
“Aku akan kembali saat tempat ini benar-benar mengajarkan sesuatu yang berarti,” ucapnya ringan. “Sampai saat itu, silakan terus menari.”
Langkah kakinya mantap meninggalkan lapangan, membelah kerumunan yang hanya bisa menatap dalam diam.
Beberapa murid menahan senyum, beberapa lainnya justru semakin penasaran: apa sebenarnya yang dimiliki Wu Shen sehingga bisa bersikap seperti itu? dan kenapa orang sekeras Ye Jiang bisa dibuat terdiam olehnya?
Ye Jiang menggertakkan gigi, tapi tidak mengejar. Dalam hatinya, ia tahu... Jika mencari masalah dengan Wu Shen sama saja dengan mencari masalah dengan Wu Ruoxi, orang yang akhir-akhir ini reputasinya meningkat karena berhasil menyelesaikan misi membunuh buronan kelas atas.
Setelah pergi dari tempat latihan Ye Jiang, Wu Shen berjalan santai menyusuri koridor batu yang membentang di sisi timur pelataran.
Kedua tangannya bersilang santai di belakang kepala, dan mulutnya bersiul pelan, membentuk irama ringan yang tidak sinkron dengan hiruk-pikuk di sekelilingnya.
Di kiri-kanannya, para pelayan dan para pekerja bayaran sibuk mengangkat kayu, membangun panggung utama, serta menggantungkan bendera-bendera merah bertuliskan lambang Sekte Phoenix.
Suara palu menghantam paku, teriakan panitia, dan derap kaki yang tak henti-henti membuat udara terasa riuh, namun justru membuat Wu Shen merasa lebih hidup.
'Oh, benar... dua hari lagi pertandingan tahunan itu.' pikir Wu Shen dalam hatinya.
Pertandingan yang mencangkup ranah Murid Beladiri dan Pejuang Beladiri diadakan satu kali setahun, dimana tujuan dari pertandingan itu bukan hanya untuk memamerkan bakat, tapi juga ladang pencarian bibit unggul dan pertunjukan promosi untuk menarik minat murid baru.
Langkah Wu Shen melambat. Di depannya, panggung utama mulai terbentuk—tiga tingkat kayu kokoh dengan lambang phoenix emas di tengahnya. Itu adalah tempat di mana murid terbaik akan naik dan menunjukkan kemampuannya di hadapan seluruh sekte.
Wu Shen menatapnya sambil mendesah, lalu menyipitkan mata.
'100 koin emas... cukup untuk hidup nyaman selama satu tahun penuh, atau... cukup untuk memperbaiki status keluarga kami yang dianggap rendah karenaku,’ pikirnya lirih.
'Jika aku bisa memenangkan pertandingan ini, mungkin semua cemoohan akan berhenti. Mungkin... Wu Ruoxi tidak akan terus dipandang rendah karena melahirkanku.’
Pikirannya melayang ke ibunya—sosok tangguh yang telah mengorbankan banyak hal untuk tetap melindunginya.
Kini saatnya ia membalas budi.
“Yah, aku harus naikkan ranahku sedikit lagi,” gumamnya pelan.
Ia tahu dirinya sudah lebih kuat dari yang terlihat. Tapi Wu Shen sudah berjanji kepada Wu Ruoxi untuk tidak menggunakan seluruh kemampuannya.
Wu Shen mungkin bisa menang dengan mudah menggunakan Seni Naga Laut dan Seni Naga Petir miliknya, tapi seperti yang dikatakan oleh Wu Ruoxi, dirinya akan membawa masalah besar jika orang-orang tahu dia bisa menggunakan aliran seni beladiri lain.
Sekte Paus Biru yang merupakan sahabat sekte Phoenix mungkin akan bersitegang, sedangkan Sekte Qilin Petir mungkin akan mengancam untuk menyerahkan Wu Shen karena menganggapnya sebagai orang yang telah mencuri teknik mereka.
Dan yang lebih parah, seluruh seniman beladiri di dunia ini mungkin akan memburunya untuk mengungkap rahasia yang dimilikinya.
Seketika, ucapan Wu Ruoxi kembali terlintas dalam kepalanya: "Sampai kau cukup kuat untuk melindungi kebenaran itu sendiri… jangan pernah tunjukkan kekuatanmu. Pakailah hanya Seni Naga Api. Biarkan dunia percaya bahwa itulah satu-satunya yang kau miliki dan buat mereka terkejut pada waktunya kau mengungkap yang sebenarnya.”
Wu Shen mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. 'Sampai aku yakin tidak ada yang bisa menandingi kekuatanku di dunia ini, aku harus tetap tersembunyi dari dunia...' pikirnya.
Wu Shen menggepalkan tangannya, ia mengalirkan energi Chi sehingga tangannya memerah seperti besi yang dipanaskan.
Seni Naga Api. Warisan dari garis keturunan keluarganya, dan satu-satunya seni yang boleh ia gunakan secara terbuka. Tapi seni ini belum sempurna. Masih kasar dan mudah terbaca.
“Kalau aku ingin menang dan tetap rendah profil,” katanya pada dirinya sendiri, “aku harus menyempurnakan Seni Naga Api-ku.
....
Hutan Pinggir Kota Xingce
Langit sudah mulai berwarna jingga ketika matahari condong ke barat, dan bayangan pepohonan panjang merayap menutupi tanah yang ditumbuhi lumut.
Hutan di pinggir Kota Xingce terkenal akan kesunyian dan suasana mistisnya. Kabut tipis menggantung rendah di antara batang-batang pohon cemara dan akasia tua, membentuk tirai alami yang menahan dunia luar.
Daun-daun basah oleh embun bergoyang pelan diterpa angin. Burung-burung kecil terbang rendah, dan suara-suara alam bergema seperti nyanyian lembut.
Di tengah ketenangan ini, terdapat satu titik panas yang terasa bertentangan dengan kesejukan hutan: Wu Shen.
Ia berdiri di atas tanah yang agak lapang, dikelilingi akar pohon yang menjalar seperti ular tidur. Di depannya ada sebuah batu besar, tinggi dada pria dewasa, kokoh dan berlumut.
Namun, permukaannya sudah menunjukkan tanda-tanda retakan dan gosong terbakar.
Wu Shen berdiri dalam posisi kuda-kuda rendah, napasnya tenang namun matanya menyala dengan semangat.
Tangannya terangkat perlahan, jari-jari terbuka seperti mencengkeram udara kosong. Aliran Chi dalam dirinya mulai bergerak.
Pertama, ia menahan napas dan mengumpulkan Chi ke pusat perutnya—Inti Chi. Rasanya seperti memadatkan aliran sungai ke dalam kendi kecil. Dari sana, Chi menyebar naik melalui meridian ke dada, lengan, dan akhirnya mencapai telapak tangannya.
Namun yang membuat Seni Naga Api berbeda dari seni lainnya adalah sifatnya yang mengandung nyawa. Api dalam seni ini bukan sekadar panas, tapi simbol dari kehendak, emosi, dan ketekunan. Ia menyatu dengan niat pengguna.
Dan Wu Shen… punya banyak niat yang terpendam.
Saat tangannya mulai merah membara, bukan hanya panas yang terpancar, tapi denyut kehidupan—seperti ada naga tidur yang menggeliat dalam aliran darahnya.
Uap mengepul dari telapak tangannya.
Dia mengubah posisi. Kaki kanan ke depan, lutut sedikit menekuk. Tangan kirinya ditarik ke belakang, lalu ia melafalkan dalam hati teknik dari jurus dasar Seni Naga Api:
"Seni Naga Api: Ledakan Inti!"
SWOSH!
Tangannya melesat ke depan, bukan seperti pukulan biasa, tapi seperti dorongan ledakan yang dipandu lintasan.
Udara di sekitar pukulan itu memelintir, dan saat telapak tangannya menghantam batu.
BLAARR!!
Ledakan api terjadi dengan suara menggelegar.
Batu itu tidak hancur, tapi retak dalam formasi radial, seperti jaring laba-laba. Titik yang dipukulnya kini hitam pekat, mengeluarkan asap putih tipis seperti habis tersambar petir panas.
Permukaannya nyaris meleleh, seolah-olah pernah disentuh oleh lava.
Wu Shen menarik tangannya perlahan, lalu menatap hasil pukulannya dengan wajah datar.
“Masih terlalu kaku… aku terlambat sepersekian detik mengalirkan Chi ke tulang jari. Efeknya menyebar ke permukaan, bukan ke inti batu,” gumamnya.
Ia mengusap dahinya yang sedikit berkeringat. Hembusan angin dari sela pepohonan terasa seperti hadiah kecil dari langit.
Tapi dia belum puas.
“Aku akan ulangi… sampai batu itu meledak seperti kerupuk di atas tungku.”
Tangannya kembali bersinar merah, dan hutan yang tenang mulai merasakan napas dari seekor naga muda yang sedang bangkit dari tidurnya.