Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: “Aku Pergi, Dion!”
Proses pemindahan kuliah Wina berlangsung lebih cepat dari perkiraan. Maklum, keluarga Wina mempunyai pengaruh kuat di yayasan pengelola universitas. Selain itu, universitas tujuan perpindahan juga berada di bawah naungan yayasan yang sama.
Sepanjang Minggu itu, Dion dan Wina hanya punya kesempatan sekali bertemu. Ibu Wina terus saja mengawasi putrinya dan tidak membiarkannya bepergian sendirian.
Jumat malam, Wina menelepon meminta Dion menemuinya di rumah. Aku ingin berpamitan langsung, begitu kata Wina.
Sabtu sore, 8 Juli 2000.
Dion mendatangi rumah Wina untuk memberi kesempatan gadisnya berpamitan. Meskipun dengan hati khawatir dan gugup, karena ibu Wina pasti berada di rumah itu.
“Cepat atau lambat, toh aku harus berhadapan dengan orang tua Wina. Semoga kebencian dan kemarahan tidak bereskalasi dan merembet sampai luas apalagi melibatkan Oppung,” harap Dion dalam hati, berusaha meyakinkan diri sendiri.
Dion memarkirkan sepeda motor dan menekan bel di pagar rumah Wina. Ria segera membuka pagar itu. “Ibu sedang ada di rumah. Mas Dion tetap mau masuk?” tanya Mbak Ria bernada khawatir.
“Iya Mbak. Soalnya sudah janji dengan Wina,” jawab Dion.
Dion belum sempat duduk di teras ketika Wina sudah turun dari kamarnya. Gadis itu memang sedang mengharapkan kedatangan Dion.
“Dion!” sapa Wina dengan wajah sembab.
Dion pun membalas sapaan Wina. “Wajahmu sebab sekali. Jangan menangis trus,” Dion menyesali pacarnya terus saja bersedih sambil menerima kantung plastik belanja dari tangan Wina.
Ia ingin menanyakan isi kantung itu tapi bentakan keras mengejutkannya.
“Oh, jadi kau orangnya, si kecoak kampung itu?” sergah seorang wanita paruh baya dengan suara keras dan ketus dan berjalan ke arah Dion dan Wina.
Dion segera mengetahui wanita itu adalah ibu Wina. Selain punya kemiripan wajah dengan Wina, ciri-cirinya sesuai dengan yang pernah digambarkan kekasihnya itu.
Maria Lasma, berusia akhir 40-an selalu tampil modis dan riasan mencolok. Berkulit kuning langsat pucat, Maria masih menyisakan banyak kecantikan usia mudanya.
“Apa kau tak punya kaca di rumah untuk bercermin. Lihat dirimu! Apa kau pantas dengan Wina? Apa yang kau punya hingga berani-beraninya mendekati Wina?” cerca Maria yang sudah berhadapan dengan Dion.
“Kau menyusahkan keluarga kami saja. Kau pikir kecoak kampung macam kau bisa menipu kami?” Maria kian ketus.
Dion hanya tertunduk.
“Hari ini hubungan kalian berakhir. Wina akan kembali ke Jakarta. Kuperingatkan, kalau masih berani-berani mendekati Wina, aku tak tanggung jawab atas keselamatanmu. Aku sudah ingatkan, ya!” ancam Maria sambil menarik tangan Wina agar menjauh dari Dion.
“Kami ini dari keluarga terhormat bukan dari keluarga tak jelas seperti kau. Kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab? Bapak ibumu saja kau tak tahu ada di mana!” bentak Maria semakin kasar.
Kata-kata Maria itu terdengar sangat pedas sekali di telinga Dion. Ia harus berjuang keras melawan rasa kesal dan amarah dengan menggigit giginya sendiri karena ibu Wina telah merendahkan ayah dan ibunya.
“Maria, jangan bicara kasar begitu!” seru Oppung yang muncul di pintu.
“Kita harus tegas menghadapi orang seperti ini. Pasti penipu dia ini,” ketus Reinhard ikut menggabungkan diri.
“Ah! Tidak ada penipu dan tidak ada yang tertipu. Kalau kau tak suka padanya, tak perlu bicara kasar seperti itu,” tegur Oppung membela Dion.
“Mama selalu begini. Dulu sudah janji tidak ikut campur dengan caraku mendidik anak. Sekarang malah belain pemuda penipu tak tahu diri ini. Pasti sudah dirusaknya si Wina dan uangnya diporoti” Maria menyerang ibunya sendiri.
“Bagaimana caramu mendidik anak itu urusanmu. Aku cuma bilang tak perlu bicara kasar. Lagipula coba tanya si Wina apa dia ditipu, apa sudah dirusak atau uangnya diporoti,” Oppung mulai tegas pada anaknya.
“Kenapa mama yakin begitu?” tanya Maria dengan mata melotot dan nada meninggi.
“Tanyalah kalau Wina sudah dirusak. Kalau memang iya aku akan mengaku salah dan pergi dari sini. Lebih baik aku tinggal di kampung bersama sanak saudaraku. Bawalah ke dokter untuk periksa kalau kau tak percaya!” tantang Oppung kesal dengan sikap putrinya.
“Kalau si Wina sesekali bayar makan bakso di depan itu apa itu namanya diporoti? Si Dion yang kau bilang miskin ini sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri,” tambah Oppung.
“Kalian yang tak tahu diri. Apa kalian lupa keluarga kita dulu bagaimana dan papa kalian itu dulu apa? Dulu papa kalian cuma pekerja di rumah orang tuaku,” kata Oppung yang sedih dan menitikkan air matanya.
“Pergi kau dari sini kecoak kampung! Gara-gara kau keluarga kami bertengkar,” hardik Reinhard berdiri lalu mendorong bahu Dion.
Sebenarnya Dion sudah hampir tak bisa menahan emosinya. Apalagi ia ingat paman Wina itu adalah otak pelaku penganiayaan atas dirinya beberapa waktu lalu.
Mendengar dan melihat kelakuan Reinhard, Oppung pun murka.
“Anak tak tahu diri! Ini masih rumahku. Kau yang pergi dari sini. Bawa sekalian istrimu yang tak tahu sopan santun itu. Dion ini tamuku!” bentak Oppung dengan nada keras.
“Ingat kata-kataku ini, kalau tidak mengubah sikap tinggi hati, akan ada saatnya kau dan kau berlutut pada Dion,” ketus Oppung sambil menunjuk bergantian pada kedua anaknya, Reinhard dan Maria.
Suasana seketika hening.
Bukan tanpa alasan wanita yang sudah tua renta itu berkata demikian pada kedua anaknya. Oppung sangat yakin bahwa kedua anaknya, terutama Reinhard adalah dalang di balik penganiayaan terhadap Dion yang mengakibatkan pemuda itu hampir kehilangan nyawa.
Dan Oppung juga yakin, Dion sengaja mencabut laporan kesaksiannya pada polisi tentang pelaku kelima, orang yang terakhir kali mendatangi dan membuatnya pingsan untuk melindungi Reinhard.
Hanya saja, Oppung kesal karena kedua anaknya itu tidak sadar bahwa tindakan mereka sudah diketahui bahkan sudah diampuni oleh Dion.
“Oppung, Dion minta maaf, juga pada Bapak dan Nantulang. Dion tak bermaksud membuat keluarga bersitegang. Kalau masih diizinkan, saya hanya ingin berpamitan dengan Wina,” ujar Dion memecah keheningan.
Ia pun berjalan menuju pagar menjauhi Maria dan Reinhard yang masih berdiri diam.
Oppung dan Wina pun mengikuti pemuda itu. “Jangan kau ambil hati kata-kata mereka, ya Amang,” ujar Oppung pada Dion dengan mata yang masih memerah akibat kemarahan dan kesedihannya tadi.
“Tidak apa-apa, Oppung. Mereka hanya terbawa emosi. Oppung istirahat lah. Minggu depan Dion bawain madu buat Oppung,” sahut Dion tersenyum.
Oppung pun menganggukkan kepalanya lalu berbalik menuju rumah, sementara Wina terus mengikuti Dion sampai ke pintu gerbang.
“Wina jangan sedih. Kita berdua harus menguatkan diri. Kita berdua tak boleh sedih, setidaknya tidak di hadapan Oppung. Wina hibur lah Oppung! Katakan kita berdua akan baik-baik saja.”
“Sampaikan juga, Dion masih ingat dengan semua nasihat dan janji pada Oppung,” ujar Dion lirih pada Wina dari balik jeruji pagar. Wina hanya menganggukkan kepala sambil menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
“Dion nanti malam datang, ya! Tunggu Wina di seberang jalan. Jam 8 malam. Kalau Wina tidak keluar, coba lagi jam 9. Kalau tidak juga datang coba lagi jam 10. Kalau Wina tak datang juga berarti Wina tidak berhasil keluar dari rumah,” pinta Wina dengan suara rendah.
“Nanti mamamu tambah marah. Mengapa mengambil risiko?” tanya Dion.
“Tidak mungkin semarah tadi. Wina hanya ingin berpamitan sekali lagi sebelum berangkat ke Jakarta besok pagi,” sahut Wina.
“Baiklah. Aku pergi sekarang. Wina sabar, lapang dada. Tak ada gunanya memperuncing keadaan. Toh kita juga punya rencana, bukan?” pungkas Dion yang kembali dijawab Wina dengan anggukan kepala.
Dion pun berlalu dengan sepeda motornya meninggalkan Wina yang masih berdiri di pagar.
Wina memandangi punggung Dion untuk sesaat sebelum pemuda itu menghilang di ujung jalan.
...***...
Malam harinya, Dion memenuhi janji untuk menemui Wina di persimpangan jalan menuju rumah kekasihnya itu. Pukul 9 malam, Wina ditemani oleh Mbak Ria muncul dan mengajak Dion menuju apotek yang berada di sekitar persimpangan.
Mbak Ria yang mengerti Wina ingin berpamitan dengan Dion meninggalkan keduanya dan duduk di ruang tunggu apotek yang juga berfungsi sebagai tempat praktik beberapa dokter spesialis.
“Apa Wina sudah selesai berkemas? Jangan ada yang tertinggal,” ujar Dion. Wina hanya menjawab dengan anggukan.
“Selama di Jakarta Wina harus hati-hati. Jangan sembarangan memilih taksi. Atur waktu, jangan sampai terlambat. Jangan terlalu ramah pada orang yang tidak atau baru kenal,” pesan Dion.
Tampaknya giliran Dion lah yang menghujani kekasihnya dengan nasihat setelah beberapa hari Wina melakukannya padanya.
Wina hanya tertunduk dan mengangguk.
“Hubungi aku sesampainya di sana…” ujar Dion tapi tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Ia tersadar setelah malam ini tak akan melihat Wina lagi untuk waktu yang cukup lama.
“Dion tunggu Wina, ya!” Wina menghibur Dion.
“Atau aku akan menyusulmu ke Jakarta?” timpal Dion dengan pertanyaan.
“Kita sudah pernah membahas itu. Di Jakarta sulit mencari pekerjaan. Di sini peluangmu lebih besar dan Dion bisa melanjutkan kuliah. Aku akan menamatkan kuliah dan kembali ke sini,” ujar Wina tapi Dion hanya membisu.
“Dion tidak usah khawatir. Wina akan jaga diri di Jakarta dan fokus menyelesaikan kuliah,” hibur Wina yang paham bahwa Dion mengkhawatirkannya.
Wina lalu mengatakan, ia, ibunya dan Mbak Ria akan pergi dengan pesawat pagi. “Kami akan tiba di Jakarta sebelum makan siang.”
“Baiklah Win! Aku tak ingin menyebutkan ini perpisahan karena ini hanya sementara, lagipula kita masih bisa berbicara lewat telepon. Selamat jalan, doaku bersamamu!” Dion berkata lirih sambil menggenggam tangan Wina.
“Iya. Selamat tinggal! Urus dirimu sampai aku kembali,” balas Wina.
Dion mengikuti Wina dan Mbak Ria yang berjalan menuju rumahnya hingga di depan pos keamanan.
Mereka saling melambaikan tangan.
Tiba-tiba Wina berbalik badan dan berlari pada Dion yang berada di belakangnya beberapa meter.
Ia memeluk Dion dengan erat dan membenamkan wajahnya di dada kekasihnya itu dengan air mata berurai di pipi.
Petugas keamanan yang sudah mengetahui Dion dan Wina adalah sepasang kekasih sesaat sempat ingin menggoda mereka yang tiba-tiba berpelukan. Tapi melihat Ria yang berdiri tepat di depan pos keamanan juga mengalirkan air mata, petugas keamanan itu hanya diam.
“Oh, pasti ada hal serius,” pikirnya.
Melihat Wina yang berlari dan memeluk Dion, Mbak Ria ikut terharu. Ia tahu keduanya saling mencintai tapi tidak mendapat restu dari ibu Wina.
Mbak Ria bersimpati pada Dion, mungkin karena merasa berasal dari keluarga yang sama-sama tidak mampu. Selain itu, Dion selalu baik, bersahabat dan memperlakukannya dengan hormat.
“Sudahlah Win! Tak baik kita berpelukan di sini. Pergilah! Aku mencintaimu dengan sepenuh jiwaku!” Dion menghibur Wina yang masih menangis tersedu-sedu.
“Aku pergi, Dion.”
“Aku juga mencintaimu, selamanya!” ujar Wina sesaat setelah melepaskan pelukan dan melanjutkan langkahnya.
TAMAT
(Berlanjut ke Buku Dua)