100% fiktif belaka, tidak ada kaitan dengan siapapun di dunia nyata atau di mana pun!!
"Gue nggak mau tau, kita menikah pokoknya. Lo, suami gue!"
Aria, gadis tengil 20 tahun, asal nyelonong masuk ke kamar hotel setelah mabuk di pesta temannya. Dengan penuh percaya diri, ia menodong pria di dalam kamar untuk menikah dengannya. Masalahnya? Pria itu adalah Jenderal Teddy Wilson, duda tampan 35 tahun yang dikenal dingin dan tak tersentuh. Yang lebih mengejutkan? Teddy tidak menolak.
Gimana kelanjutan ceritanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Mimpi Buruk
...****************...
"Aira..." suara Teddy terdengar pelan, nyaris kayak bisikan malam yang malu-malu. Ia selonjoran di kasur, satu tangan diletakkan di atas perutnya yang kekenyangan, satu lagi nepak-nepak pelan bagian kosong di sebelahnya.
"Gue pengen ngomong sesuatu."
Gue udah tiduran duluan, posisi miring kayak udang rebus yang pasrah habis direbus di panci masalah hidup.
"Apaan? Mau ngeluh perut lagi?" tanya gue males, mata gue cuma ngelirik ke arahnya.
"Bukan." Teddy ngelirik balik ke gue, tatapannya beda—serius tapi tetap nyebelin.
"Mulai sekarang... kita jangan pake ‘gue-lo’ lagi, ya?" katanya pelan, sambil ngelus rambut gue kayak lagi mijet otak gue dari luar.
Gue langsung noleh. Kening gue berkerut, otomatis.
"Hah? Kenapa emang?"
"Ya... kita suami istri sekarang," jawabnya sambil senyum tipis, model senyum yang biasa dipake dosen pas lagi ngajakin diskusi skripsi tapi dalem hati punya niat lain.
"Masa masih kayak anak tongkrongan. Ganti dong. Panggil aku 'aku', kamu 'kamu'."
Gue manyun, nyengir setengah.
"‘Aku-kamu’ tuh... kayak terlalu manis. Geli. Kayak sinetron orang kejebak lift terus jadian." Suara gue tetap rendah, nggak mau bikin suasana jadi sinetron beneran.
Teddy malah ketawa kecil, bahunya naik turun.
"Ya udah, kompromi. Kamu tetap jadi 'kamu', aku tetap 'aku'."
Gue mikir sebentar, lalu mendecak pelan.
"Gimana kalau ‘gue-kamu’? Biar ada jejak tongkrongannya dikit lah... setengah cinta, setengah tongkrongan."
Teddy mikir, terus angguk.
"Deal. Tapi nanti kalau kamu udah kejebak manisnya aku, kamu pasti pengen ganti juga."
Gue buang muka, pura-pura nggak denger. Tapi jujur, hati gue anget. Anget banget malah, kayak bantal habis dijemur.
Gue diem beberapa detik, terus tiba-tiba nanya, “Tapi, serius deh... kenapa sih dulu lo—eh, kamu—nerima ajakan nikah konyol gue? Maksud gue, itu kan… random banget.”
Teddy mendengus ketawa, matanya melirik gue penuh rasa puas.
“Kan udah pernah aku bilang... Waktu kamu goyangin pinggulmu di pangkuanku kayak orang nggak waras itu, milikku langsung beraksi.”
Gue langsung noleh, ngebelalak. “Hah?!”
Dia ngangguk santai, ekspresi nggak berdosa.
“Selama ini aku memang impoten, Aira. Nggak pernah bisa... bereaksi. Tapi entah kenapa, pas kamu ngelakuin itu—ya, tubuhku langsung hidup. Aku kaget, penasaran. Terus makin lama, aku makin gemes sama tingkahmu yang absurd itu.”
Gue terdiam. Mau kesel, malu, geli, bangga—semua campur aduk.
“Jadi…” suara gue pelan, “Gue ini… kayak obat keperjakaan lo gitu?”
Teddy ngakak.
“Mungkin. Atau mungkin kamu kutukan manis yang nyebelin. Tapi sejak itu, aku yakin. Aku mau kamu.”
Gue nutup muka pake bantal. Malu setengah mati. Tapi di balik bantal, senyum gue nggak bisa ditahan. Bodoh banget alasannya. Tapi bodoh juga bikin bahagia ternyata.
...****************...
Beberapa menit kemudian, kami yang selonjoran di tempat tidur. Lampu kamar diredupkan, dan suara jam dinding jadi satu-satunya yang ngisi hening malam. Gue nempel ke dada Teddy, dan dia otomatis ngelilingin lengan di bahu gue.
"Aduh... perut gue masih kembung," gue ngeluh sambil meringkuk makin deket.
"Kita tuh kayak duo korban kuliner gagal," gumam Teddy, lalu dia nyium ubun-ubun gue pelan, bikin jantung gue ngedetak gak karuan.
"Tapi tenang... kalau harus sakit, bareng kamu tuh gak masalah."
"Romantis sih... tapi geli banget sumpah."
Teddy nyender ke kepala ranjang, terus narik gue buat duduk nempel di pelukannya.
"Gue suka banget gini, tau gak."
"Apa? Pelukan sama orang yang abis bikin lo mencret?" celetuk gue sambil ngeliatin dia dari bawah.
"Ya, justru itu." Dia nyengir, matanya nyimak wajah gue penuh arti. "Cinta itu bukan cuma soal cantik-ganteng atau dinner mahal. Tapi siapa yang tetep pengen meluk kamu... bahkan abis kamu bikin mereka sakit perut."
Gue ngakak lagi, tapi kali ini lebih pelan. "Lo bener-bener kecintaan banget deh sama gue."
Kami diem. Tapi bukan diem canggung. Diem yang tenang, nyaman, kayak hati yang akhirnya nemu tempat pulang.
"Aku sayang sama kamu, Ra," bisik Teddy, suara dia terdengar deket banget di telinga gue.
Gue gak langsung jawab. Gue cuma nunduk dan nyenderin dahi ke bahunya.
"Gue juga... ya, kamu ngerti lah," jawab gue pelan.
Teddy nyengir puas. "Tuh kan, pelan-pelan mulai terbiasa."
"Jangan GR," tukas gue sambil nyubit perutnya.
Malam terus jalan, dan kami tertidur dalam pelukan. Hangat. Tenang.
Tapi saat mata gue tertutup, semuanya berubah.
Gue tiba-tiba ada di tempat gelap. Dingin. Mengerikan.
"Aira! Pegangan, Nak!" suara Ibu gue terdengar panik, menggema di sekeliling.
Mata gue terbuka lebar dalam mimpi itu. Mobil yang gue tumpangi meluncur cepat, dan dari arah tikungan, sebuah mobil lain datang tanpa ampun.
BRUAAAK!
Gue kecil menjerit. Tubuh mungil gue terlempar ke pinggir jalan, jatuh di atas rumput basah. Mobil keluarga gue terbalik, dan asap keluar dari kap mesin. Klakson meraung, dan semuanya terasa kayak mimpi buruk yang nyata banget.
Gue lari kecil ke arah mobil yang ringsek itu. Gue teriak-teriak. "Ibu!! Ayah!!"
Tangan gue berdarah karena maksa buka pintu yang penyok parah. Tapi... gak ada suara. Gak ada gerakan. Hening. Dunia berhenti.
Tiba-tiba suasana mimpi berubah.
Gue duduk di atas ranjang besi, pake baju panti asuhan yang udah pudar warnanya. Anak-anak lain ketawa, main, teriak-teriak. Tapi gue cuma diem di sudut ruangan.
Suara pengurus panti menggema tajam, "Kamu gak punya siapa-siapa lagi, Aira. Jadi, jangan banyak tingkah, ya. Bantu bersihin toilet itu."
Gue nyeret langkah, nyeka air mata pakai ujung lengan baju. Anak-anak lain ngeledek rambut gue yang kusut, sepatu gue yang bolong. Tapi gue tetap jalan. Tetap ngepel lantai dingin sambil nahan tangis.
Mimpi jalan terus. Kali ini gue udah agak gede, remaja, pake seragam lusuh. Tangan gue bawa kantong plastik makanan buat dianterin ke pelanggan.
Kaki gue lecet. Tangan gue kaku. Tapi gue tetap kerja.
"Jangan harap gaji penuh kalau ngantar telat!" bentak pemilik warung.
Gue cuma nunduk, gak jawab apa-apa. Karena gue tahu... protes artinya kehilangan kerja.
Pemandangan berubah lagi. Panas banget. Matahari nyengat kepala. Gue ada di ladang, metikin cabai. Topi gue udah robek, tangan gue luka-luka.
Gue sempat jatuh, hampir pingsan. Tapi gue bangun lagi, gigit bibir sendiri biar gak pingsan beneran.
"Aku harus kuat... aku harus hidup..." suara gue lirih banget, kayak napas terakhir sebelum nyerah.
Tiba-tiba suara keras ngehantam kepala gue.
"Aira! AIRA!"
Mata gue kebuka. Nafas gue tersengal. Keringat dingin udah ngebasahin baju.
Teddy di depan gue, matanya panik. Dia guncang-guncang bahu gue.
"Sayang, kamu mimpi buruk ya?"
Gue gak jawab. Gue langsung peluk tubuhnya erat-erat, seolah nyari bukti bahwa dia nyata.
Tubuh gue gemetar. Napas gue gak karuan.
Teddy peluk balik, kuat, tangan dia nepuk-nepuk punggung gue pelan.
“Semua udah berlalu, Ra… Kamu udah nggak sendirian lagi. Ada aku sekarang…” bisiknya pelan, suara dia lembut kayak pelukan itu sendiri.
Tapi air mata gue gak bisa bohong. Gue genggam kerah bajunya kuat-kuat.
“Jangan tinggalkan gue…” suara gue pecah, lirih banget. Tapi penuh luka yang selama ini gue pendam.
Teddy langsung natap gue dalam. Dia belum sempat jawab, dan gue udah ngomong lagi.
“Jangan pernah, gue mohon… sekarang gue cuma punya kamu…” suara gue gemetar, putus-putus. Gue sandarin wajah di dada dia, dan akhirnya gue nangis.
Bener-bener nangis.
Teddy diem. Tapi pelukannya makin erat. Dia cium kening gue lama-lama, seolah mau mindahin tenang dari tubuhnya ke hati gue.
“Aku gak akan ninggalin kamu. Selamanya, Ra. Kamu aman sekarang... sama aku,” bisiknya.
Gue gak jawab apa-apa lagi. Gue cuma nangis.
Tapi itu tangis kelegaan. Tangis luka yang akhirnya boleh keluar. Dan malam itu, di pelukan orang yang gue cintai... gue ngerasa hidup gue mulai berubah.
Setelah sekian lama terisak dalam pelukan Teddy, entah sejak kapan, mata gue akhirnya kembali tertutup. Tangis gue perlahan reda, walau hati masih bergetar. Tapi setidaknya, ada pelukan hangat yang bikin malam itu terasa gak sekelam sebelumnya.
Gue tertidur lagi. Kali ini tanpa mimpi buruk.
.
.
Next 👉🏻
apa sudah capek
trus gak mau up lagi
mau melarikan diri tidak meneruskan cerita. iya kah. seperti author lainnya.
kalau seperti itu, sungguh sangat mengecewakan pembaca.
trus nanti tau tau tidak ada ending cerita.
kalau sampai begitu, sungguh mengecewakan
aku suka ceritanya.