Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 UNIVERSE ARUNIKA — Jika Kamu Mendengar Namamu Sendiri
Rencana kembali ke Gunung Arunika seharusnya gila.
Tapi yang lebih gila adalah mencoba hidup normal seolah semuanya sudah selesai.
Dan kami berdua tahu itu bohong.
Sari mulai tracking ulang semua berita pendaki hilang dalam tiga tahun terakhir. Aku juga mulai mimpi buruk tiap malam — atau lebih tepatnya mimpi yang terasa terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Mimpi itu selalu sama:
Aku berdiri di gerbang gunung… tapi bukan malam atau pagi. Tidak ada matahari, tidak ada bulan. Hanya kabut yang tidak punya arah. Dan di tengah kabut ada enam siluet.
Lima kulihat jelas. Yang keenam tidak pernah jelas — tapi aku tahu itu aku.
Dan setiap mimpi berakhir dengan suara:
“Yang kembali hanyalah yang siap kehilangan dirinya.”
Aku selalu terbangun. Dan jam selalu menunjukkan 19:57.
Siang itu, aku dan Sari tiba di basecamp bukan untuk mendaki — tapi untuk mencari jawaban.
Basecamp jauh lebih ramai daripada malam waktu kami turun dulu. Banyak pendaki pemula, keluarga, foto-foto, tawa, aroma mi instan, suara gitar.
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di jalur pendakian.
Kecuali satu orang.
Petugas berseragam oranye yang dulu menyambut kami — pria tua berwajah lelah. Dia langsung mengenali kami, tatapannya turun ke gelang biru yang kusimpan di saku jaket.
“Kalian kembali,” katanya tanpa salam.
“Bukan untuk naik,” jawabku cepat.
Sari menambahkan, “Kami cuma mau bertanya. Lintang… Dimas… Arif… apakah benar mereka… tercatat sebelum kejadian?”
Petugas itu lama tidak menjawab. Lalu dia berdiri dan mengajak kami ke gudang kecil di belakang basecamp.
Disana dia membuka lemari kayu tinggi.
Di dalamnya ada tumpukan buku catatan pendaki — ratusan, tahun demi tahun.
Dia keluarkan satu buku lusuh. Sampulnya tertulis 2011.
“Lintang pertama kali tercatat sebelas tahun lalu,” katanya.
“Dia datang bersama sepupunya. Turun hanya satu orang.”
Sari menahan napas. “Dia bareng sepupunya waktu SMA… kita baru tahu sekarang…”
Petugas mengangguk. “Nama sepupunya juga tercatat. Sampai sekarang tidak pernah dicoret.”
Aku gemetar sedikit. “Apa arti tercatat di buku ini sebenarnya? Hanya pendataan atau—”
Petugas memotongku pelan. “Nama di buku ini bukan cuma untuk manusia.”
Sari membeku. “Maksud Bapak?”
“Kalau seseorang sudah dicatat oleh gunung… dia akan selalu ‘dimiliki’. Meskipun pergi. Meskipun melawan. Meskipun bertahun-tahun tidak kembali. Gunung tunggu sampai pintunya terbuka lagi.”
Aku menelan ludah — kerongkonganku gatal seperti ditarik dari dalam.
Aku buka buku halaman demi halaman, mencari nama kami. Dan akhirnya menemukannya — halaman dari tahun 2011.
Lintang Ramadhani
(umur 17)
catatan tambahan: (pulang tanpa saudara)
dan tepat di bawahnya, di kolom kecil samar-samar:
> pintu belum tertutup
Sari langsung menutup mulut. “Jadi… gunung ambil dia sekarang paling tidak karena… pintunya belum tertutup?”
“Betul,” kata petugas pelan. “Dan sekarang… buku itu akan mencari pintu lain yang sudah terbuka.”
Aku merinding kepalaku sampai pusing.
“Kalau kayak gitu… apa tanda kalau pintu seseorang sudah terbuka?”
Petugas tampak ragu untuk bicara.
Tapi akhirnya dia menjawab:
“Kalau namanya tertulis tanpa tangan manusia.”
Aku langsung ambil gelang di saku. Telapak tanganku dingin.
“Kaya ini?” tanyaku.
Petugas menatap gelang itu, napasnya tersendat.
Gelang biru sekarang bertuliskan:
LINTANG
dan di bawahnya:
RAKA
Dia menatapku lama, penuh kasihan.
“Kamu harus tahu… kalau nama kamu sudah muncul, kamu tidak akan pernah benar-benar jauh dari gunung ini.”
Sari memeluk lenganku. “Kalau gitu kita harus tutup pintunya. Gimana cara nutup? Gimana caranya biar gunung berhenti nyari nama Raka?”
Petugas menatap kami berdua dengan mata yang seperti habis melihat terlalu banyak tragedi.
“Menutup pintu itu gampang,” katanya pelan.
“Yang susah adalah menutupnya tanpa membuka pintu orang lain.”
Sari dan aku saling pandang.
“Apa maksud Bapak…?”
Petugas menarik napas dalam-dalam, lalu berkata:
> “Pintu seseorang hanya bisa ditutup kalau dia sudah berdamai.
Tapi kalau dia berdamai dengan cara yang salah… pintu orang lain akan terbuka menggantikan pintunya.”
Aku merinding. “Contohnya?”
Petugas menatapku kosong.
“Kalau kamu menenangkan hatimu karena ada orang lain yang menggantikan kamu… kamu selamat, tapi dia tidak.”
Akhirnya aku mengerti apa yang paling ditakuti dari Gunung Arunika:
Gunung tidak membunuh dengan pisau.
Gunung membunuh dengan pilihan.
Sari menarik napas tercabik. “Jadi… untuk nutup pintu Raka… harus ada pilihan yang mengorbankan orang lain?”
Petugas tidak menjawab.
Karena jawabannya terlalu jelas untuk diucapkan.
Dan satu hal yang lebih menakutkan terjadi saat itu juga:
Pintu gudang tiba-tiba berderit pelan — seperti ada yang lewat.
Tidak ada angin.
Tidak ada orang.
Tapi dari sela pintu, terdengar langkah pelan:
Tap. Tap. Tap.
Enam langkah.
Petugas menegang. “Kita harus keluar dari sini.”
Kami bertiga melangkah tergesa ke luar gudang.
Tapi sebelum keluar, aku menoleh — entah kenapa.
Dan aku lihat sesuatu yang bukan mungkin cuma kebetulan.
Buku catatan tahun 2022 — buku milik angkatan pendaki kami — masih terbuka di atas meja.
Dan pada halaman nama-nama rombongan kami…
TINTA baru perlahan muncul sendiri, seolah sedang ditulis tak terlihat.
RAKA — pintu terbuka
Sari menarikku keluar sebelum aku bisa teriak.
Pintu gudang tertutup keras di belakang kami.
Dan hanya satu kalimat berulang di kepalaku:
Gunung ini tidak pernah memaksa orang datang.
Gunung hanya menunggu…
sampai orang mengakui ketakutannya sendiri.
Dan aku baru sadar — ketakutanku bukan gunungnya.
Ketakutanku adalah kehilangan lagi.
Dan itu…
adalah pintu.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor