Sheila gadis yatim piatu yg diasuh dan dibesarkan oleh pamannya, harus menikah dengan Steven, anak dari sahabat baik mendiang ayahnya. Tetapi Steven sudah memiliki kekasih, Nila.
Perjodohan yg memaksa mereka berdua terikat dengan sebuah pernikahan. Akankah cinta tumbuh di antara mereka berdua, sementara sang ibu mertua begitu membenci Sheila? Bagaimana kelanjutan dari pernikahan karena perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iin Nuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Maaf
Steven dan Sheila duduk berhadapan di meja makan. Keduanya memegang cangkir teh masing-masing.
"Tolong maafin aku ya Shei. Aku memang laki-laki brengsek," kata Steven sambil memijit pelan pelipisnya.
Susah payah Steven meraih kesadarannya. Kepalanya rasanya mau pecah, masih pusing sekali.
"Mas ngomong apa sih? Justru aku yang harusnya minta maaf. Maaf karena udah nolak keinginan Mas. Aku tau Mas melakukannya dalam keadaan tidak sadar, dan aku tidak ingin kalau Mas akan menyesal nantinya."
"Kamu terlalu baik untukku Shei, aku gak pantes buat kamu," lirih Steven sambil menunduk.
"Mas,,, jangan ngomong gitu ah. Gak ada manusia yang sempurna di dunia ini Mas. Semua pasti pernah berbuat kesalahan."
Hening. Keduanya terdiam dengan pemikiran masing-masing. Setelah sekian lama terdiam,
"Maaf Mas, kalau aku boleh tau, ada masalah apa sampai Mas Steven bisa mabuk seperti ini?" tanya Sheila hati-hati, tidak ingin menyinggung perasaan suaminya.
"Tiga bulan kita menikah dan hidup bersama, belum pernah aku melihat Mas Steven seperti ini. Bahkan tadi Danny juga bilang kalau Mas Steven jarang sekali minum alkohol, apalagi sampai mabuk seperti ini," lanjut Sheila.
Steven menghembuskan nafas berat. Dapat dilihatnya raut kekhawatiran yang begitu besar di wajah Sheila. Steven menyesap teh-nya sebelum akhirnya menjawab.
"Nila mengkhianatiku Shei. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia sedang berhubungan badan dengan fotografer-nya di dalam apartemennya."
"Astaghfirullah hal adziim," kaget Sheila sambil menangkup mulut dengan kedua tangannya.
"Tiga tahun kami pacaran Shei. Aku selalu menahan diri. Aku tidak ingin merusak masa depannya. Apalagi dia memiliki karir yang sedang naik sedikit demi sedikit."
Sheila diam mendengarkan dengan seksama cerita dari Steven.
"Selama ini kami hanya sebatas ciuman, itu pun selalu dia yang memulainya lebih dulu," kata Steven kemudian tersenyum getir. "Aku berusaha untuk menjaga dan menghargainya, tapi justru dia sendiri yang tidak bisa menghargai masa depannya."
"Apa salahku Shei? Selama ini aku selalu berusaha membahagiakannya. Apapun yang dia minta, selama aku mampu aku selalu memberikannya. Tapi kenapa pengkhianatan ini yang aku dapat?"
Sheila menggenggam tangan kanan Steven di atas meja, berusaha menguatkan hati suaminya yang terlihat begitu rapuh.
"Yang sabar ya Mas. Yang ikhlas. Mungkin ini adalah cara dari Allah untuk membuat Mas menyadari semuanya. Bukankah lebih baik Mas merasakan sakit sekarang daripada Mas terus menerus dibohongi?" kata Sheila.
"Yah, kamu benar Shei. Lebih baik aku terluka sekarang daripada terus menerus dibohongi."
"Sudah malam Mas, kita tidur yuk. Mas harus istirahat, masih pusing kan?"
Steven mengangguk. Mereka berdua lalu beranjak dan masuk ke dalam kamar.
Merebahkan tubuh, Sheila kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. Mereka berdua tidur miring dan saling berhadapan.
"Maaf ya Shei. Selama ini aku sudah menyakitimu dan berbuat tidak adil padamu dengan masih berhubungan dengan Nila," kata Steven sambil menatap Sheila.
"Dari awal kan kita udah sepakat Mas. Aku juga berusaha memahami perasaan Mas yang tiba-tiba harus menikah denganku sementara Mas sudah punya kekasih."
"Shei, maukah kau memulai semuanya dari awal denganku? Mungkin kamu pikir aku egois. Tapi tolong, jangan pernah berpikir kalau aku hanya menjadikan kamu sebagai pelarian saja. Aku menyesali semua yang sudah terjadi Shei. Dan aku ingin mulai membuka hati untuk menerima pernikahan ini dengan ikhlas. Jadi, bisakah kita memulai semuanya dari awal?" tanya Steven sungguh-sungguh.
Sheila tersenyum lembut. "Tentu Mas. Kita mulai dari awal semuanya. Jalani aja Mas, biarkan semuanya mengalir, dan jangan pernah merasa terbebani. Aku tidak pernah menuntut apapun dari Mas."
"Terima kasih Shei, sudah bersabar menghadapiku selama ini. Dan sekali lagi maaf, jika aku selalu menyakiti hatimu."
Sheila tersenyum lembut dan mengangguk.
"Kemarilah Shei," panggil Steven agar Sheila mendekat dan berbantal di lengannya.
Sheila beringsut mendekat dan masuk ke dalam pelukan hangat Steven.
"Selamat malam Shei. Tidur yang nyenyak... Istriku," lirih Steven kemudian mencium puncak kepala Sheila.
"Selamat malam Mas. Tidur yang nyenyak... Suamiku," balas Sheila dari dada Steven.
Keduanya lalu memejamkan mata dan mulai masuk ke alam mimpi masing-masing.
...
Seperti biasa Sheila terbangun mendengar suara adzan dari aplikasi di ponselnya. Membangunkan Steven perlahan kemudian melaksanakan ibadah sholat subuh berjamaah.
Selesai sholat seperti biasa Sheila mencium punggung tangan kanan Steven. Dan tanpa diduga sebelumnya, Steven kemudian mencium kening Sheila dalam. Keduanya lalu tersenyum.
"Mas mandi aja dulu, biar aku siapin sarapan, ya" kata Sheila.
Steven mengangguk. Dia kemudian beranjak ke kamar mandi. Sheila membereskan perlengkapan sholat mereka. Setelah itu pergi ke dapur untuk memasak sarapan pagi.
"Maaf ya Mas cuma nasi goreng sama telur. Ternyata di kulkas gak ada persediaan sayuran sama sekali," kata Sheila setelah keduanya duduk di meja makan.
"Gak pa-pa Shei. Aku suka kok nasi goreng buatan kamu. Hmm, gimana kalau habis ini kita belanja ke supermarket? Aku pengen dibuatin cake coklat yang kayak biasanya itu," usul Steven sembari memakan sarapan paginya.
"Boleh juga Mas. Kebetulan hari ini aku gak ada jadwal kuliah juga. Tapi apa Mas gak ke kantor?"
"Enggak dulu lah. Biar nanti aku kabarin Danny sama Ken."
Sesuai rencana pagi itu Steven dan Sheila pergi belanja ke supermarket di salah satu mall di dekat apartemen.
Steven mendorong troli belanjaan sementara Sheila asyik memilih barang apa saja yang sekiranya perlu untuk mereka beli.
"Mas suka buah apa?" tanya Sheila di dekat stand buah yang tertata rapi.
"Apel sama anggur. Tapi beli aja yang komplit Shei, besok kamu bikinin salad buah buat aku."
"Tapi Mas, kemarin aku ijin sama Papa kalau kita cuma nginep dua hari di apartemen."
"Ya tinggal bilang aja kalo kita masih mau di apartemen dulu. Aku yakin Papa gak akan keberatan kok."
"Iya juga sih."
Sheila lalu mengambil beberapa jenis buah dan memasukkannya ke dalam troli yang didorong Steven.
"Banyakin sayurnya Shei, aku suka capcay buatan kamu."
"Iya," jawab Sheila kemudian mengambil beberapa jenis sayuran juga.
"Sosis-nya jangan lupa, sama pentol bakso, sama daging juga."
"Iya Mas."
"Bahan-bahan untuk buat cake coklat jangan sampe lupa lho Shei."
"Iya Mas iya," jawab Sheila sambil tertawa kecil melihat antusias suaminya dalam berbelanja.
"Kenapa ketawa?" tanya Steven sambil mengerutkan keningnya.
"Mas lucu deh. Kok malah jadi Mas sih yang semangat, biasanya kan cewek yang paling antusias kalau disuruh belanja."
"Hehe, maaf," kata Steven sambil menggaruk tengkuknya pelan.
Tanpa Sheila ketahui kalau Steven sangat menyukai momen berbelanja mereka saat ini. Ada perasaan hangat yang menjalar di seluruh tubuh Steven. Pengalaman baru yang membuatnya begitu antusias dan bisa berinteraksi dengan Sheila tanpa rasa canggung.
Selesai berbelanja Steven mengajak Sheila untuk makan siang di salah satu gerai restoran di mall tersebut. Barang belanjaan sudah terlebih dahulu mereka masukkan ke dalam mobil karena cukup banyak.
Restoran seafood menjadi pilihan mereka kali ini. Sekat yang cukup tinggi antara meja satu dengan yang lainnya membuat mereka nyaman karena privasi mereka terjaga.
Di tengah acara makan siang mereka, tiba-tiba Steven mendengar suara tawa Nila dan Joe dari meja di belakang mereka. Steven menghentikan makannya. Sekat yang cukup tinggi dan posisi Steven yang membelakangi mereka membuat Nila tidak sadar akan keberadaan Steven disana.
"Ah, akhirnya kita gak perlu kucing-kucingan lagi sayang," kata Joe.
Sheila ikut menghentikan makannya melihat raut wajah Steven yang berubah tegang.
"Mas-"
"Ssstt," Steven memotong perkataan Sheila dengan menaruh jari telunjuk di bibirnya dan memberi isyarat untuk diam.
"Iya sih sayang. Tapi sedih juga, aku jadi gak dapet jatah bulanan lagi dong dari Steven. Belum lagi barang-barang branded yang biasa dia beliin buat aku," keluh Nila.
Sheila membulatkan kedua matanya dan menutup mulut dengan sebelah tangannya karena terkejut. Sementara Steven sudah mulai terbakar emosi.
"Sayang, kamu ngeraguin kemampuan aku ya? Kalau cuma jatah bulanan sama barang branded aku juga sanggup," ujar Joe tidak terima.
"Bukan gitu sayang. Tapi aku sama Steven udah lama juga loh, sayang aja gitu tiba-tiba putus kayak gini. Apalagi aku juga udah berhasil ngambil hati Mama-nya Steven."
Sheila menggenggam tangan Steven di atas meja, mencoba memberi kekuatan.
"Lebih lamaan kamu sama aku loh sayang daripada sama dia, kita kan udah bareng sejak masih kuliah," kata Joe berapi-api.
"Tapi kan kamu baru berani nembak aku setahun setelah aku jadian sama Steven Yang. Kamu cemburu ya liat aku sama Steven?"
"Ya iyalah aku cemburu. Kamu kan gebetan aku dari masa kuliah, eh tiba-tiba pacaran sama Steven. Udah deh Yang, biarin aja, jangan terlalu serakah."
"Iya deh iya. Tapi aku masih belum terima aja gitu."
"Udah jangan bahas Steven lagi. Mending kita makan dulu sekarang."
"Oke deh sayang. Mmuach."
Terdengar bunyi kecupan yang diberikan Nila pada Joe. Setelah itu masih terdengar obrolan ringan dan bunyi tawa mereka dari belakang Steven.
Dalam hati Steven begitu marah. Bodohnya dia selama ini yang dibutakan oleh cinta. Berkali-kali Danny dan Ken memberitahu dirinya kalau Nila ada main di belakangnya, tapi Steven tidak pernah percaya. Steven selalu luluh dengan penjelasan dari Nila dan rajukan-rajukan manjanya.
tetep semangat selalu kakak 😘😘😘