‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 : Ada rasa nyeri merayap di hati
Nelli langsung merogoh saku celana bagian samping, mengeluarkan gulungan uang lima puluh ribuan sebanyak 20 lembar pemberian Amran. Sengaja pria itu membagi dua, dikarenakan dia paham terkadang sifat pelit bu Warni mendominasi, layaknya anak kecil tidak suka berbagi barang yang disukainya.
“Lihat ini! Banyak, banyak sekali kan macam lagu naik-naik bukit ke puncak gunung!” Kedua tangannya menggenggam lembaran uang. Di tersenyum mengejek. “Kalian mana punya, paling cuma uang gambar Monyet, iya nggak Dik?”
"Betul itu Buk, duit yang gambarnya mirip kayak mereka!” hina Nelli, wajahnya puas sekali melihat muka memerah Ijem dan Nafiya.
Bu Warni pintar memilih sekutu. Bila ingin mencari teman untuk mengejek seseorang – maka dekati lah si Nelli. Kalau Dahayu lebih banyak diam, sering menegur bila dia sudah kelewatan.
“Halla baru uang segitu saja pamer. Pastinya hasil dari jual diri putrimu itu! Makanya dia tak datang ke rumah kami mengemis kartu kesehatan mu!” Bibir Ijem naik sebelah kala mencibir.
“Uang haram kok dibanggakan, manalah berkah yang ada bakalan membawa petaka. Dasar melarat! Terlalu memaksakan diri agar setara dengan kehidupan orang berpangkat di perkebunan – menjijikan!” Mulutnya menghina, tapi matanya tidak beralih dari lemparan uang di pegang bu Warni. Hati Nafiya meradang, dia belum pernah memiliki uang sebanyak itu.
"Makanya punya anak gadis itu dijaga, Warni! Biar tak binal macam pelacur murahan, dan satu lagi _”
Cuih!
“Akh! Sialan kau Gila!” Ijem menjerit kala merasakan air berbuih di pipinya dan berbau masam.
“Mampus! Ha ha ha.” Bahunya berguncang hebat, dia terpingkal-pingkal setelah berhasil meludahi wajah Ijem.
“Kebetulan sekali bapak kalen (kalian) tidak ada. Bisalah kita baku hantam di sini,” bisik Mak Rita. Bila ada sang suami, pasti sudah di lerai. Kini mereka cuma para wanita berjumlah empat orang.
“Mamaknya gila, anaknya jual diri. Memanglah keluarga rusak, hilang sudah martabat demi gaya hidup ala-ala orang kaya!” Nafiya menjatuhkan tas belanjanya, dia maju mau menjambak rambut bu Warni.
Dahayu mencekal dan langsung memelintir kebelakang tangan kanan Nafiya, mendorongnya hingga jatuh di tanah berdebu.
"Bab* kau!” Dia meringis sakit, sikunya terasa nyeri.
“Nafiya!” Sosok yang disukai Dahayu, datang bak pahlawan. Dia berjongkok membantu pujaan hatinya berdiri.
"Mas lihat ini! Aku didorong tanpa sebab, padahal cuma mengingatkan tak boleh sombong, pamer uang yang belum tentu dari hasil pekerjaan halal." Dia mengusap air mata yang meluncur, tangan kanannya bertumpu di lengan pria pemilik hatinya.
Wisnu membantu Nafiya berdiri, sekilas menoleh menatap tajam manik berembun Dahayu.
Bandi meradang, dia tadi tengah berjalan dengan calon menantunya. Tiba-tiba melihat dari kejauhan kala Dahayu mendorong anak tirinya.
Tanpa bertanya, tangannya langsung terangkat. “Malu Ayah memiliki putri tak beradab dan bertingkah macam hewan seperti mu, Dahayu!”
Dahayu menghempaskan tangan pria pemberi luka dan rasa trauma itu. Hilang sudah segala rasa melankolis, tertinggal cuma benci serta dendam mendarah daging. “Siapa yang Anda sebut Ayah? Jangan sok mengaku-ngaku, kalau diri sendiri tak becus menjadi sosok itu! Seorang Ayah sejati – dia akan datang untuk bertanya duduk perkaranya terlebih dahulu, bukan langsung bernafsu ingin menampar.”
“Dasar anak durhaka kau!” Bandi memekik, jari telunjuknya menuding wajah darah dagingnya sendiri.
Tubuh bu Warni bergetar hebat, lembaran uang berjatuhan. Mak Rita segera memeluk sahabatnya, kedua tangannya menutup telinga agar sedikit meredam suara yang menyebabkan trauma.
Wisnu tidak terima kekasih hatinya disakiti, dipermalukan oleh wanita yang dia manfaatkan agar Nafiya cemburu buta. “Mas tak percaya, kau bisa sangat kasar kepada sesama wanita, Dayu.”
Dahayu langsung menoleh menatap sosok pria yang berdiri dekat sekali dengan Nafiya. Tadi saat Wisnu membantu kakak tirinya, ada rasa nyeri merayap di hati. ‘Apa kau memang sebaik itu ke semua wanita Mas?’
“Mas Wisnu hanya melihat dari kejauhan, lalu berlari dan langsung menghakimi, mengatakan saya kasar, apa itu adil?” tanyanya sembari menatap dengan binar mata sulit diterka.
Hampir dia tak bisa menjawab, bingung antara menyerang atau mempertahankan citra bijaksana di depan Dahayu. “Apapun itu, tak seharusnya menggunakan kekerasan. Terlebih ini tempat umum, malu dilihat dan jadi tontonan, Dahayu!”
“Lantas kalau ibu Mas Wisnu dipermalukan, di olok-olok, dan dirimu sendiri dituduh orang murahan yang rela menukar harga diri dengan segepok uang – apa engkau akan tetap diam?” balasnya mulai sengit.
“Kalau semua hal masih dibicarakan baik-baik, mengapa harus bertindak anarkis demi membenarkan apa yang menurutmu benar, Dayu?” ada getar aneh yang merayap dihatinya, baru kali ini wanita yang dia anggap membosankan ternyata berani menyanggah kalimatnya.
Dahayu tersenyum miring, matanya menatap dingin. “Sayangnya tak ada yang baik-baik saja bila itu menyangkut Ibuk. Mau dia muda, dewasa, bahkan tua sekalipun, kalau sudah lancang menghina, terlebih berniat menyakiti, maka hilanglah sudah rasa hormat saya, tanpa berpikir panjang, tak jua menilai sedekat apa diri ini dengan si polan – saya tetap maju melawannya!”
Sejenak Wisnu termangu, hatinya terkejut melihat sorot tegas yang belum pernah dia lihat.
“Sudahlah Nak Wisnu, jangan kau berdebat dengan wanita egois ini. Dia selalu membenarkan setiap tindakan kasarnya atas nama membela Ibunya. Padahal memang aslinya binal, tak bermoral,” hina Ijem, dia sedang mengelap bekas air ludah di pipi menggunakan sapu tangan sang suami.
Mak Rita maju, dia berkacak pinggang setelah memastikan sang sahabat aman di dekap Nelli. “Ku rasa ada kurang-kurangnya otakmu itu, Ijem. Kalian yang datang seperti Jelangkung tanpa diundang, lalu langsung menyerang menggunakan kata-kata tak beradab – begitu dibalas kok langsung merasa tersakiti. Daripada si Warni, yang lebih cocok diperiksa dokter ahli orang gila, ya kau Ijem dan putri jelek mu itu!”
"Kurang ajar ya kau! Baru saja jadi istri pekerja kasar, sudah sombong sekali!"
Ijem melempar sapu tangannya, tapi ditangkis Dahayu agar tidak mengenai wajah Mak Rita.
"Daripada dirimu. Demi bisa hidup enak – rela menggoda pria beristri yang sayangnya juga sama bejatnya denganmu. Kau dan si Bandi memanglah cocok – sama-sama gatal, nafsu binatang! Sehingga tak dapat membedakan mana pasangan halal, dan haram!" balas Dahayu telak.
Keadaan bertambah panas, kubu Dahayu adalah orang berlidah tajam, pantang mundur sebelum mengalahkan sang lawan. Dan mereka selalu membalas sesuai fakta, bukan cuma kata-kata bualan semata.
Bu Warni mulai tenang, tapi enggan menatap pria yang dulu sangat dia cintai sehingga dirinya menderita gangguan mental. Dia berjongkok hendak memungut lembaran uang.
Namun, suara tegas seseorang menghentikan aksinya.
"Jangan lakukan itu, Buk! Engkau lebih berarti, berharga dari nominal yang berceceran di tanah!"
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍