NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KINGSGUARDS : HANIE - CHAE BOM' THE LEGENDARY TRAINER

"Salam Hormat, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya. Hari ini, kalian akan berhadapan dengan legenda hidup."

Suara komandan yang tegas memecah keheningan di lapangan latihan militer Istana Hamel. Ratusan prajurit muda, wajah mereka penuh semangat dan kecemasan, berdiri tegak dalam barisan sempurna. Di hadapan mereka, berdiri seorang wanita yang menarik napas, rambut hitam legamnya tergerai indah, sebagian besarnya tersembunyi di balik tudung putih jubahnya, namun telinga serigala hitamnya yang khas tidak bisa disembunyikan. Matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah mereka. Dialah Chae Bom.

Sosoknya adalah perpaduan keanggunan seorang penyihir dan ketangguhan seorang pejuang. Jubah panjang berwarna putih tulang yang dikenakannya tampak kontras dengan sabuk dan sarung tangan kulit cokelat tua yang melingkari tubuhnya. Ada aura kekuatan yang terpancar dari dirinya, seakan-akan sihir dan baja telah menyatu dalam dirinya.

"Inilah Chae Bom, sosok yang namanya dikenal dari ujung ke ujung Benua Hanie. Seorang Master Sihir terhebat dari Akademia Toura, dan juga, arsitek di balik pasukan elit terhebat Kerajaan Hamel," lanjut komandan itu, suaranya dipenuhi rasa hormat. "Beliau akan melatih kalian. Ingat, kegagalan bukan pilihan. Jangan sia-siakan kesempatan emas ini."

Chae Bom melangkah maju, kakinya yang dibalut kulit tebal seakan tidak menyentuh tanah. Langkahnya penuh percaya diri. Senyap. Hanya gesekan jubahnya yang terdengar.

"Aku bukan gurumu," katanya, suaranya terdengar jernih dan tegas, memantul di dinding benteng. "Aku adalah pelatihmu. Dan di lapangan ini, hanya ada satu aturan: Buktikan nilaimu."

Seorang prajurit muda di barisan depan, matanya memancarkan rasa ingin tahu bercampur kekaguman, memberanikan diri untuk bertanya, "Nona... Guru, kami telah mendengar banyak tentang Anda. Bolehkah kami tahu, apa yang membuat Anda begitu ditakuti di medan perang?"

Chae Bom menyeringai tipis. Itu bukan senyum keramahan, melainkan seringai seorang pemangsa. "Ketakutan bukanlah sihir, nak. Ia adalah hasil dari pelatihan yang melebihi batas, dari pemahaman bahwa keinginan untuk hidup adalah sumber sihir dan kekuatan fisik terhebat."

Ia mengangkat tinjunya ke udara, gerakannya cepat dan halus. Seketika, aura magis berwarna perak membungkus tinjunya, memancarkan cahaya yang memukau.

"Aku memiliki dua kekuatan," katanya, matanya menatap tajam, "Satu, adalah sihir yang mengalir di pembuluh darahku. Dan yang kedua, adalah disiplin yang tertanam di tulangku. Aku tidak akan membiarkan kalian memilih salah satu. Prajurit terbaik harus menguasai keduanya."

Prajurit muda lainnya, yang tampak lebih kurus namun memiliki mata yang cerdas, mengajukan pertanyaan dengan hati-hati. "Kami telah menguasai dasar-dasar pedang, Pelatih. Namun, sihir... itu terasa asing bagi sebagian besar dari kami."

Chae Bom menanggapi dengan lugas. "Sihir ada di udara. Sihir ada di dalam diri kalian. Kalian hanya belum tahu cara membangkitkannya. Untuk hari ini, lupakan pedang kalian. Aku akan tunjukkan bahwa kekuatan sihir pertama yang harus kalian kuasai bukanlah sihir api atau es, melainkan sihir yang membersihkan pikiran kalian dari keraguan."

Dia meletakkan tangannya ke dada, tepat di atas liontin emas di lehernya. Angin tiba-tiba berembus kencang, jubah putihnya berkibar liar. Para prajurit muda terkesiap.

"Lihat sekeliling," perintah Chae Bom. "Istana ini, bebatuan ini, bahkan rumput di bawah kaki kalian-mereka semua memiliki energi. Tugas pertamaku: Aku akan melatih kalian untuk merasakan energi itu. Jika kau gagal merasakannya, bagaimana kau bisa mengendalikannya?"

Seorang prajurit di barisan belakang, yang tampaknya paling angkuh, bersuara dengan nada menantang. "Jika kami gagal, Pelatih? Apa hukuman untuk kami?"

Mata merah Chae Bom beralih cepat ke arah suara itu. Senyap sesaat, yang terasa sangat lama.

"Hukuman?" dia mengulang, suaranya sedikit lebih rendah, dan dingin. "Kegagalan adalah hukuman itu sendiri. Di medan perang, kegagalan berarti kematian. Di sini, kegagalan berarti kau tidak pantas mengenakan seragam Kerajaan Hamel. Tapi untuk hari ini..."

Dia tersenyum tipis, sebuah janji yang mengerikan.

"Jika kau gagal merasakan energi yang kuberikan, kau akan berlari mengelilingi seluruh perimeter benteng ini sebanyak sepuluh kali tanpa berhenti. Setelah itu, kita akan ulangi dari awal."

"Tidak ada belas kasihan. Tidak ada alasan. Sekarang, rentangkan tangan kalian. Dan mulai bernapas. Rasakan."

Chae Bom mulai melangkah di antara barisan, mengamati setiap wajah dengan mata elangnya. Pelatihan yang keras, yang akan membentuk mereka menjadi prajurit sejati, baru saja dimulai. Di bawah bimbingan wanita serigala legendaris itu, para prajurit muda Istana Hamel akan segera mengerti mengapa nama Chae Bom selalu diucapkan dengan rasa hormat dan gentar.

.

.

.

.

.

.

.

Saat matahari mulai merangkak naik, mewarnai langit Istana Hamel dengan semburat jingga dan emas, sesi pelatihan tahap kedua dimulai. Chae Bom, dengan jubah putihnya yang kontras dengan debu lapangan, berdiri di tengah, dikelilingi oleh para prajurit muda yang sudah terlihat kelelahan namun mata mereka tetap tajam.

"Kalian telah merasakan energi di sekitar kalian," kata Chae Bom, suaranya tenang namun menuntut. "Sekarang, kalian akan belajar cara mengambilnya dan mempertahankannya."

Dia mengangkat satu tangan, dan tanpa mengucapkan mantera, bola cahaya biru pucat mulai terbentuk di atas telapak tangannya. Cahaya itu berdenyut, memancarkan kehangatan yang lembut.

"Ini adalah 'Penyimpanan Mana Dasar'," jelasnya, bola cahaya itu kini mengambang tenang di samping kepalanya. "Langkah pertama untuk menggunakan sihir dalam pertempuran. Energi yang kalian ambil harus kalian kunci dalam diri, seperti air yang kalian tampung dalam wadah."

Seorang prajurit muda, yang dikenal karena kekuatan fisiknya tetapi kesulitan dalam latihan sihir kemarin, melangkah maju. Raut wajahnya penuh frustrasi.

"Pelatih," katanya, suaranya sedikit bergetar karena emosi. "Aku telah mencoba berkali-kali. Aku bisa merasakannya, tetapi begitu aku mencoba menahannya, energi itu menghilang seperti asap. Aku merasa sihir ini... hanya menghabiskan waktu kami. Bukankah lebih baik kami fokus pada pedang dan perisai?"

Chae Bom menatap prajurit itu, tanpa menghakimi, namun dengan ketegasan yang tak tergoyahkan. Bola cahaya di sampingnya berkedip sekali.

"Pendapat yang jujur," balasnya. "Tapi itu adalah pendapat yang dangkal. Kau melihat sihir sebagai dekorasi, bukan sebagai senjata. Dan kegagalanmu, adalah hasil dari konflik di dalam dirimu sendiri."

Dia berjalan mendekat, kini berdiri tepat di hadapan prajurit yang berkonflik itu.

"Tunjukkan tanganmu," perintahnya.

Prajurit itu menurut. Chae Bom meletakkan dua jarinya pada denyutan nadi di pergelangan tangan sang prajurit.

"Kau memiliki kekuatan fisik yang besar," katanya pelan. "Aku bisa merasakan otot-ototmu keras dan tegang. Ini adalah konflikmu. Ketika kau mencoba mengambil energi sihir, pikiranmu secara naluriah menolaknya. Kau percaya bahwa kekuatan sejati haruslah sesuatu yang bisa kau genggam, yang bisa kau pukul, seperti pedang."

Dia menarik tangannya. "Sihir adalah penyerahan diri, bukan paksaan. Kau harus membiarkan energi itu masuk, bukan merebutnya."

"Tapi, di medan perang, Pelatih," sela prajurit lain, wajahnya cemas, "kita harus agresif! Bagaimana mungkin kita menyerahkan diri?"

Chae Bom tersenyum dingin. "Itu adalah keindahan dari kombinasi kekuatan ini. Kau agresif dengan pedangmu, tetapi kau harus tenang seperti danau untuk sihirmu. Roseline, wakil pemimpin Benua Hanie, ia tidak akan pernah mencapai kekuatannya jika ia hanya menguasai satu aspek saja."

Tiba-tiba, Chae Bom membuat gerakan cepat ke samping. Dengan kecepatan kilat, ia mengeluarkan pedang pendek dari balik jubahnya.

Sring!

"Baiklah," katanya, nadanya kini beralih menjadi tantangan. "Aku akan membuktikan maksudku. Prajurit yang berpendapat bahwa sihir adalah buang-buang waktu, maju satu langkah."

Prajurit yang pertama kali berbicara itu melangkah maju, postur tubuhnya kaku, siap membela diri.

"Sekarang, serang aku dengan kekuatan terbaikmu. Gunakan pedang, tinju, apapun. Aku akan menggunakan sihir, dan aku berjanji, aku tidak akan melukaimu, hanya melumpuhkanmu."

Prajurit itu ragu sejenak, namun mata merah Chae Bom memicunya. Dia berteriak dan menerjang maju, melepaskan pukulan tangan kosong yang kuat dan terlatih ke arah perut Chae Bom.

Chae Bom tidak bergerak. Tepat sebelum pukulan itu mendarat, bola cahaya biru pucat dari tadi terbang ke depan, bukan untuk menyerang, melainkan untuk menciptakan perisai energi tipis yang hampir tidak terlihat.

Blargh!

Pukulan prajurit itu mengenai perisai, dan bukannya Chae Bom yang terhuyung, melainkan prajurit itu sendiri. Ia terlempar mundur dua langkah, tangannya terasa kebas. Perisai sihir itu tidak hanya menahan, tetapi juga membalikkan sebagian energi kinetik pukulan itu.

"Lihat," kata Chae Bom, meletakkan pedangnya kembali. Bola cahaya biru itu kembali ke tempatnya. "Aku bahkan tidak perlu berdarah untuk mengalahkan kekuatan fisikmu. Sihir, yang kau anggap membuang-buang waktu, baru saja melumpuhkanmu. Dan kau bahkan tidak menyadarinya sampai kau terkena dampaknya."

Dia mendekati prajurit yang kini berdiri membungkuk karena terkejut.

"Konflikmu bukanlah antara pedang dan sihir, tetapi antara ego dan potensi. Lepaskan ego bahwa hanya kekuatan fisik yang utama. Biarkan sihir masuk. Jika kau tidak mampu menjinakkan konflik di dalam dirimu, kau tidak akan pernah bisa menjinakkan musuh di luar sana."

Wajah prajurit itu memucat, rasa frustrasinya tergantikan oleh pemahaman yang baru. Ia mengangguk pelan, rasa hormat yang mendalam terlihat jelas di matanya.

"Aku mengerti, Pelatih," katanya. "Aku akan mencobanya lagi."

"Bagus," kata Chae Bom. "Kekalahan pertamamu bukanlah dengan musuh, melainkan dengan keraguanmu sendiri. Sekarang, kembali ke posisimu. Kita akan coba lagi. Kali ini, jangan berpikir tentang 'memaksa' energi masuk. Pikirkan tentang 'menyambutnya' pulang."

Sesi pelatihan berlanjut, dan di bawah pengawasan ketat sang legenda dengan telinga serigala, para prajurit muda itu mulai menyadari bahwa pertempuran terbesar mereka harus dimenangkan terlebih dahulu di dalam hati dan pikiran mereka sendiri.

.

.

.

.

.

.

.

.

Latihan telah usai. Matahari sore mulai condong ke barat, meninggalkan bayangan panjang di lapangan batu. Para prajurit muda, kelelahan tetapi wajah mereka cerah dengan semangat baru, telah diperintahkan untuk beristirahat. Chae Bom, dengan jubah putihnya yang kini berdebu, mengawasi mereka dari pinggir lapangan, aura kekuatannya tetap tidak berkurang.

Saat ia sedang menyesap air dari wadah kulit, suara berat dan penuh wibawa mendekat. Itu adalah komandan benteng, sosok pria dengan baju zirah yang kokoh dan garis wajah yang tegas.

"Pelatih," sapa komandan itu, nadanya formal namun bersahabat. "Pelatihan yang luar biasa, seperti biasa. Mereka sekarang tahu arti kekuatan yang sesungguhnya."

Chae Bom menoleh, telinga serigalanya sedikit bergerak. "Mereka memiliki potensi, Komandan. Hanya perlu dibentuk dengan disiplin yang lebih keras. Selebihnya, tergantung pada pengawasan Anda."

Komandan itu tersenyum kecil. "Tentu saja. Namun, setelah melihat Anda menunjukkan kekuatan sihir dan fisik tadi... Saya jadi teringat masa-masa indah."

Ia menarik napas panjang. "Bagaimana kalau kita ulangi sedikit masa lalu itu? Saya ingin menawarkan pertarungan tanding."

Chae Bom mengangkat sebelah alisnya. Matanya yang merah menatap tajam ke arah komandan.

"Pertarungan tanding?" ulangnya, nada suaranya sedikit geli. "Anda yakin, Komandan? Saya ingat terakhir kali Anda menawarkan hal ini, Anda harus dirawat di Sayap Penyembuhan selama tiga hari."

Komandan itu tertawa, suara tawanya memancarkan rasa humor yang keras. "Ah, kenangan yang buruk. Tapi saya sudah belajar sejak saat itu, Guru! Saya telah mengembangkan teknik baru, menggabungkan gerakan tombak dengan pertahanan lapis ganda. Saya yakin, kali ini... hasilnya akan berbeda."

Chae Bom tersenyum tipis, senyum yang jarang terlihat, tetapi selalu memiliki sedikit nada mengejek. "Saya ragu. Kekuatan Anda terletak pada tekad, Komandan, bukan pada kecerdikan. Anda tidak benar-benar ingin merasakan Serangan Angin Kencang saya untuk 'sekali lagi', bukan?"

Komandan itu melangkah lebih dekat, raut wajahnya berubah menjadi lebih serius. "Aku tidak hanya ingin menguji diriku, Guru. Para prajurit muda ini... Mereka harus melihatnya. Mereka telah melihat sihir secara individu, dan kekuatan fisik secara individu. Tetapi mereka perlu melihat kombinasi sempurna dari keduanya, yang hanya bisa Anda tunjukkan. Ini akan menjadi pelajaran terakhir terbaik mereka hari ini. Tolong, demi mereka."

Chae Bom menghela napas, seolah membiarkan dirinya dibujuk. Ia tahu, komandan itu akan selalu menggunakan alasan 'demi pelatihan prajurit' untuk memuaskan rasa penasaran dan tantangannya sendiri.

"Baiklah, Komandan," ujar Chae Bom, kini memancarkan aura kesiapan. "Permainan Anda. Tapi jangan salahkan saya jika baju zirah Anda berderit lebih keras dari biasanya besok pagi."

Komandan itu berbalik cepat, wajahnya bersemangat. Ia berteriak kepada para prajurit yang sedang beristirahat: "Perhatian! Semua prajurit muda! Kembali ke lapangan! Kalian akan menyaksikan demonstrasi tanding antara saya dan Pelatih Chae Bom! Ini adalah pelajaran yang tidak ternilai, jadi perhatikan setiap gerakan!"

Para prajurit segera membentuk lingkaran di sekitar area terbuka lapangan. Komandan mengambil posisi, menghunuskan pedang panjangnya. Chae Bom, sebaliknya, tidak mengeluarkan senjata. Ia hanya berdiri tegak, jubahnya sedikit berkibar tertiup angin.

"Saya tidak akan menggunakan pedang saya," kata Chae Bom. "Anda terlalu lambat untuk itu, Komandan. Ini hanya akan membuang-buang waktu saya."

Komandan itu tidak tersinggung. Ia mengangguk dan menyerang dengan gerakan cepat yang mengejutkan, pedangnya mengincar sisi tubuh Chae Bom. Whuush!

Namun, tepat sebelum pedang itu menyentuh target, Chae Bom bergerak. Itu bukan langkah menghindar, melainkan luncuran yang secepat kilat. Ia bergerak ke samping, dan di saat yang sama, ia mengangkat tangan. Tanpa mantera, tanpa peringatan, tanah di bawah kaki Komandan tiba-tiba bergetar dan retak.

Blar!

Sebuah ledakan energi yang terkonsentrasi meletus dari retakan itu, tidak berupa api, melainkan dorongan gaya yang tak terlihat. Komandan itu tidak siap. Perisainya yang kuat dan baju zirahnya yang berat, bukannya menjadi pelindung, justru menjadi beban. Ia terlempar ke udara. Brugh! Ia mendarat dengan keras beberapa meter jauhnya, menjatuhkan pedangnya.

Para prajurit muda terkesiap. Seluruh pertarungan tanding itu berakhir dalam waktu kurang dari lima detik.

Chae Bom berjalan mendekat, aura sihir di sekelilingnya mereda. Ia mengulurkan tangan.

Komandan itu meraihnya, dibantu berdiri. Ia terbatuk sekali, debu beterbangan dari baju zirahnya. Wajahnya yang tegang kini dipenuhi kekaguman.

"Benar-benar luar biasa, Guru," kata Komandan itu, menggelengkan kepalanya. "Aku bersumpah aku telah mempercepat serangan pedangku, tapi... aku bahkan tidak bisa melihat pergerakanmu. Anda tidak melemah sedikit pun."

Chae Bom tersenyum tipis, senyum yang lembut namun penuh percaya diri.

"Aku juga masih cantik, Komandan. Jangan lupakan itu," candanya.

Komandan itu tertawa terbahak-bahak.

"Tentu saja, Guru. Itu adalah dua kebenaran yang tidak pernah berubah di Benua Hanie."

Chae Bom menepuk bahu komandan itu sekali, lalu berbalik menghadap para prajurit.

"Kalian lihat," katanya, suaranya kembali tegas. "Bahkan yang terkuat sekalipun akan jatuh jika ia hanya mengandalkan satu keahlian. Komandan itu adalah benteng, tapi benteng yang diam mudah dihancurkan. Pelajari sihir untuk menambah kecepatan kalian, dan pelajari pertempuran untuk menambah kekuatan sihir kalian. Itulah jalan prajurit elit yang sebenarnya."

Ia memberi hormat singkat kepada Komandan. "Tugas saya di Istana ini telah selesai. Jaga para prajurit muda ini, Komandan."

Dengan langkah anggun dan jubahnya yang berkibar, Chae Bom meninggalkan lapangan, meninggalkan jejak kekuatan dan keajaiban.

...

...

Kehadirannya yang singkat di Istana Hamel sekali lagi mengukirkan bab baru dalam legenda hidupnya, memastikan bahwa setiap prajurit yang pernah dilatihnya tidak hanya menghormati kekuatan, tetapi juga memahami esensi sejati dari seorang pejuang yang seimbang antara sihir dan fisik.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!