“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28 : namamu Ikram Rasyid
Diam-diam Arinta mencubit kulit perut, saat lainnya fokus melihat wajahnya, dia mencoba mencari jawaban tepat. “KTP bang Yunus tertera kalau statusnya sudah menikah. Itu bukti konkret! Sementara milikmu hanya sebuah foto tanpa keterangan apapun. Ck ck … segitu tergila-gilanya kah kau kepada suamiku? Apa mungkin dirimu salah satu wanita yang ditolak olehnya, sehingga tak tahu malu mengarang cerita, mengakuinya sebagai suamimu?”
Meutia maju satu langkah, jarak mereka kian tipis. Menatap tegas wanita mencoba menekannya. “Kau bilang dia suamimu, tapi tindakanmu sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang istri. Dirinya tengah sekarat membutuhkan pertolongan cepat. Namun, kau bukannya panik dikarenakan keadaan memprihatinkan, melainkan sibuk menghalangi para orang ingin menolong. Sehat kah hubungan kalian?”
Arinta bergeming, bibirnya terasa berat untuk terbuka. Kata-kata tajam ini sama sekali tidak terduga.
“Kurasa bukan cuma status istri yang perlu dipertanyakan. Akan tetapi juga gelar ibu – daripada menenangkan anakmu, kau lebih sibuk mempertahankan pria tadi seolah dia dalam bahaya. Sedangkan putramu berteriak-teriak, menangis histeris kau memilih tuli. Atau jangan-jangan, dia juga bukan asli kepunyaanmu?” ia menyerang lawan di titik terpentingnya.
Bisik-bisik lirih terdengar. Beberapa orang sedari awal sudah di sana, setuju oleh perkataan Meutia. Arinta seperti wanita tidak memiliki naluri keibuan, membiarkan putranya menangis sampai sesenggukan.
Arinta mendengus, memandang remeh. “Jangan kau alihkan pembicaraan kita. Kau serang aku agar mendapatkan simpati orang. Yang kutanyakan bukti valid tentang pengakuan mu tadi. Sepertinya memang omong kosong, kau cuma berkhayal.”
“Baiklah, anggap saja aku membual – tapi diriku penasaran mendengar pengakuan pria yang kau sebut suami itu. Mari kita menemuinya dan bertanya langsung.” Bibir Meutia menyunggingkan senyum culas.
Kali ini Arinta bereaksi sangat kentara. Tangannya memilin ujung pashmina, dia kesulitan mengontrol perasaannya sendiri.
Dhien memberikan Denis kepada ibunya. “Kau tenangkan putramu ini! Jangan pintarnya cuma membuatnya saja, tapi tak mau mengurusnya!”
Denis masih tersedu-sedu, sampai suara tangisnya tersendat-sendat. Cairan bening meluncur dari hidung, dia memeluk erat leher ibunya.
Arinta menenangkan alakadarnya, menepuk sebentar punggung sang putra. Dia melangkah cepat mengikuti kedua wanita yang berjalan tergesa-gesa.
Diam-diam, Arinta menghubungi kedua orangtuanya. Meminta mereka datang segera, tanpa memberi tahu lebih banyak apa yang sudah terjadi.
***
Meutia dan Dhien memutuskan menunggu diluar, mereka tidak ingin mengganggu petugas kesehatan klinik resort.
Kedua tangan Meutia mengepal erat, dia berusaha mengontrol perasaannya. Ingin rasanya berlari menerjang pintu, lalu memeluk pria yang sudah sangat lama tak dilihatnya itu.
Namun dirinya sadar, saat ini kondisinya tidak memungkinkan.
Sayup-sayup terdengar suara prianya, sama persis seperti dalam ingatan. Tak ada perubahan. Nadanya tetap tenang, lugas. Dibalik hijab, Meutia meremat dada. Sedih, haru, bahagia, bingung saling berpadu.
“Bagaimana perasaan Anda kini, pak? Apa masih terasa sakit saat bernapas?” tanya dokter muda, setelah selesai memeriksa sambil menanyai tentang nama dan juga keluhan.
Yunus menggeleng pelan. Kepalanya rebah di atas bantal putih, dia menoleh ke samping pada tiga sosok yang terasa familiar tapi sama sekali tidak diingatnya.
“Maaf, apa boleh saya tahu siapa kalian?” suaranya terdengar lemah.
“Kami anggota keluargamu,” beritahu Byakta Nugraha.
Kakinya bergeser ke tepi ranjang, lalu menggantung agar memudahkannya duduk. Mata Yunus menyipit, kepalanya kembali sakit kala dipaksa mencoba menggali memori tersembunyi.
“Jangan dipaksakan, Pak!” dokter memperingati.
Dzikri Ramadhan berkata seraya menatap bersahabat. “Apa kau mengalami hilang ingatan?”
“Iya. Saya mengalaminya Amnesia Anterograde. Sedikitpun tidak dapat mengingat masa lalu,” intonasinya terdengar seperti seseorang mulai putus asa.
“Apa sebelumnya bapak sudah memeriksakan diri ke Dokter spesialis neurologi, atau Dokter spesialis bedah saraf?” tanya dokter, dia berdiri di ujung ranjang pasien.
Yunus menggeleng, dia tersenyum sendu yang mana berhasil membuat geram ketiga pria memandang nya.
“Tulis surat rujukan ke rumah sakit kota!” Byakta langsung bertindak. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku, menekan tombol mencari kontak seseorang.
“Ron, siapkan mobil ambulance!” titahnya dengan wajah mengeras.
Sang dokter langsung paham, cepat-cepat menulis surat yang diminta.
“Maaf, tapi saya tidak memiliki uang sama sekali,” akunya lirih. Ekspresinya antara malu dan tidak berdaya.
Diluar ruangan pemeriksaan. Tubuh Meutia luruh, dia membekap mulut dan menggigit bibir. Buliran air mata berjatuhan, betapa sakit hatinya mendengar kejujuran itu.
Ibunya Intan menatap nyalang wajah wanita yang sedari tadi terlihat gelisah. Ingin rasanya dia memberi perhitungan, tapi tindakan itu malah akan memicu permasalahan lainnya. ‘Awas saja kau, tunggu sampai suamiku membaik. Kubuat dirimu menyesal telah memperlakukan dia seperti gelandangan!’
“Jangan pikirkan biaya, anggap saja ini pertolongan keluarga,” ucap Agam Siddiq.
“Apa benar kalian keluargaku? Lantas status saya apa? Terus, apa masih memiliki orang tua?”
Agam Siddiq mendekati sang adik ipar. Menepuk pundak yang terasa tulang menonjolnya, dia mengetatkan rahang. Berusaha tenang meskipun hatinya mulai meradang. “Namamu Ikram Rasyid, bukan Yunus maupun lainnya. Cuma – Ikram Rasyid.”
“Ikram Rasyid? Aku seperti terbiasa dengan sebutan itu, benarkah namaku?” kalimat terakhir hanya dia gemakan dalam hati.
Ada banyak pertanyaan yang sudah menggantung di ujung lidah, tapi Dzikri urung. Dia kasihan melihat sosok memprihatinkan pria yang dulu tegap, gagah, bersahaja – kini terlihat jauh dari kata itu.
“Papa, pa pa ….”
Yunus langsung bereaksi, tadi dia sejenak lupa kalau ada Denis dan Arinta yang diamanahkan oleh Ambu.
“Sebentar ya, Nak. Papa Denis sedang diperiksa dulu.” Arinta mengeraskan suara, tangannya menepuk-nepuk bokong putranya.
Pintu ruangan lumayan luas itu dibuka lebar oleh Byakta.
Tanpa dipersilahkan, Arinta menerobos masuk sambil menggendong Denis.
“Pa pa!” Denis menangis meminta digendong.
Yunus tersenyum menenangkan dan mengambil batita itu dari dekapan ibunya.
“Anak baik, anak sholeh – jangan menangis lagi ya, nanti Denis kesulitan napas, Nak.” Yunus mengusap punggung batita yang meringkuk di pelukannya.
Agam, Dzikri, Byakta, menatap nanar. Namun mereka cukup bijaksana untuk tidak menjatuhkan penghakiman secara sepihak. Ada sebab pasti ada akibatnya – keyakinan itu berakar kuat. Mereka percaya kalau Ikram memiliki alasan dibalik kedekatannya dengan anak kecil.
Arinta tersenyum samar, dia merasa di atas angin. Adanya Denis, memudahkan langkahnya membawa kembali pria yang berjanji akan menikahinya suatu hari nanti.
“Bang Yunus ….”
“Iya. Kenapa Arinta?” tanyanya tanpa menatap lawan bicaranya.
Kondisi Abang sudah baikan, kan? Ayo kita pulang!”
.
.
Bersambung.
gak ngotak buanget inii perempuan!!!!!
gak punya maluuu!!!!
jelas2 udah ketemu keluarganya
masih mau memanipulasi!!!!!
bebbbbaaallllllllll buangeeeettt!!!!!
Banting Dhiennnnn 🦵 🦵 🦵 🦵
mimpi saja kau!😤😤😤
jadi papa2an ,Meutia
mengatas namakan balas Budi,geram rasanya!!!
gak usah fikirkan tentang itu
kamu kelurga sultan
gak dr keluarga miskin remahan rengginang
di kiranya yg Nemu kamu sebatang kara atau orang gak punya
jiiiiannnn disepelekan!!!!
Gak lihat kalau Yusuf lagi tidak baik-baik saja dan perlu perawatan dokter lebih lanjut. Mikir diri sendiri saja..... Arinta egois sama seperti Ambunya
yg nemuin ikram memang sengaja gak dibawa berobat
biar apa????
biar jadi tumbal pertanggung jawaban 😏😏😏
dasar sekeluarga picik
jgn izinkan Yunus dbawa babang Agam. coba muncul dulu Tia, siapa tahu babang iKram akan ingat sama Wanita yg dia kejar2 stengah mati dmasa lalu🤭🤭
gak bakalan menang!!!
dia sudah kalah telak dgn kata2 mutiara Meutia 😃😃😃