“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. PINTUNYA TERBUKA DIKIT
Kuliah selesai.
Akhirnya.
Arshen melangkah keluar ruang kuliah, menyusuri koridor kampus yang sudah mulai sepi. Matahari sore mengintip dari sela kaca tinggi, memantulkan bayangannya ke lantai.
Dan di depan gedung, dia masih di sana.
Elara.
Duduk di bangku yang sama sejak tadi siang. Tubuhnya tegak, tapi wajahnya menunduk saat dua mahasiswi melintas sambil berbisik. Yang satu bahkan menghindar, langkahnya tergesa.
Arshen melihat Elara melirik mereka sekilas, lalu buru-buru menunduk lagi. Mepet ke dinding, seperti anak kecil yang baru dimarahi dan mencoba berkata lewat bahasa tubuh. ‘Aku masih di sini. Jangan lupa aku.’
Arshen hanya berdiri. Diam. Sampai akhirnya Elara menoleh ke arahnya dan tersenyum.
Dengan polosnya, gadis itu menghampiri. Tangannya langsung menggandeng Arshen seperti biasa. Tanpa izin, tanpa tanya.
“Hebat, ‘kan? Aku nunggu Arshen sampai selesai kuliah,” katanya pelan, seperti anak TK yang minta pujian karena berhasil membuat pelangi.
Arshen tidak menjawab. Hanya berjalan. Dan Elara mengikutinya.
Kaki mungilnya beberapa kali tersandung. Tali sepatunya terlepas, tapi tidak ia hiraukan. Arshen tahu lutut yang luka siang tadi masih menganga. Rok pendeknya tidak banyak menutup.
Arshen berhenti. Menarik tangannya. “Kita duduk dulu.” Ia menuntunnya ke bangku kosong, lalu jongkok. Perlahan mengikat tali sepatu Elara satu per satu.
Dia tidak bilang apa-apa. Tapi Elara mengamati, matanya berbinar. Lalu tangannya terangkat hendak meraih dagu Arshen untuk menciumnya. Tapi tak jadi. Seolah ada bagian dari dirinya yang tahu, Arshen tidak suka.
Sebaliknya, dia hanya mengusap kepalanya lembut. Penuh sayang.
Arshen berdiri. Melangkah pergi. Elara mengikuti lagi. Tertatih, tapi tetap di belakangnya.
Arshen tidak tahu sampai kapan gadis itu akan terus seperti ini. Menghantui hidupnya dengan wajah orang yang dulu pernah ia cintai. Tapi jiwanya kini entah di mana.
Sudah sore. Waktunya ritual pulang.
Yuda berdiri di area parkir bersama Bara, menunggu motor bisa keluar bareng seperti biasanya. Semakin hari, momen itu terasa seperti tradisi. Bukan karena mereka sehati, tapi karena jam pulang memang selalu bersamaan toh mereka teman seperjuangan.
Bara memutar lagu dari ponselnya, disambungkan ke speaker kecil di jok motor. Lagu pop indie mengalun, asik. Yuda ikut bersenandung pelan, mencoba rileks.
Tiba-tiba…
Lagunya berubah. Dangdut!!!
LAGU HAMIL DULUAN!!!
Yuda menoleh pelan ke arah Bara, yang pura-pura tak bersalah. Bara bahkan mulai menggerakkan pundak mengikuti irama.
Yuda tahu lagu itu. Siapa yang tak tahu? Tapi demi harga diri, ia diam. Mulutnya terkunci. Bukan karena tak hafal, tapi karena ia bukan pecinta dangdut garis keras. Lagu itu membuatnya menunduk, menghindari tatapan mahasiswa lain.
Lalu pemandangan itu muncul lagi, seperti drama sore yang terus diulang tapi tetap membuat orang terpaku.
Arshen. Helm sudah terpasang, jaket bomber dikancing. Tepat saat dia mau ke motornya…
Elara.
Gadis itu memeluknya dari depan. Dagu kecilnya menempel di dada Arshen yang tertutup jaket tebal. Posisi itu manis. Manis yang membuat sesak, seperti adegan slow-mo dalam film, meski latarnya menyakitkan.
Yuda menarik nafas pelan, tapi dramanya belum selesai.
Dua orang muncul dari arah belakang. Dua pria berseragam putih, mirip suster tapi versi cowok. Mereka langsung memegang tangan Elara, berusaha menarik tubuh kecil itu.
Elara menangis. Air matanya jatuh. Dia berteriak pelan, memanggil nama Arshen.
Tapi Arshen tetap tenang. Ia mundur selangkah, menurunkan standar motor, menginjak kopling, dan motor pun melaju perlahan. Semua ini sudah biasa. Sudah terlalu sering. Sudah bukan kejutan lagi.
Yuda menoleh ke Bara. Bara juga diam. Mungkin kali ini dia pun kehilangan kata-kata.
...***...
Yuda memarkir motor di basement apartemen. Siap menaruh motornya dan lanjut rebahan total di kamar. Tapi matanya menangkap sosok yang tak asing.
Arshen.
Ternyata dia jongkok di pojokan, dikelilingi kucing-kucing liar yang tampaknya sudah jadi langganan. Tangannya sigap menuang makanan kucing dari bungkus biru, lalu berdiri sambil membawa keresek bening yang warnanya mencolok—oranye, wortel?
Yuda berdiri diam beberapa detik, hanya ingin tahu. Dan seperti biasa, karena Arshen terlalu tenggelam dalam dunianya, dia kaget sendiri saat menyadari Yuda menatap.
“SETAN, YUD!” serunya sambil memelototi.
Yuda nyengir sambil agak takut sama kucing disana. “Lo yang kayak hantu nongol di basement gini.”
Tanpa basa-basi, Arshen langsung jalan. Tapi Yuda—kalau sudah kepo—tidak bisa diam. Dia ikut.
Sampai akhirnya mereka keluar dari basement, muter ke belakang gedung. Tempat yang bahkan tidak semua penghuni apartemen tahu. Ada taman, penuh kandang kayu. Dan isinya…
“Kelinci?!”
Ada mungkin sepuluh ekor. Ada yang putih, abu-abu, hitam, belang. Mereka loncat-loncat kecil, sebagian makan, sebagian ngumpet di pojokan kandang.
Dan Arshen, pemuda cyber dingin itu jongkok lagi, memberi makan satu per satu, menaruhnya lembut, sesekali mengusap kepala mereka penuh kasih.
Yuda benar-benar tak menyangka. “Sejak kapan lo suka kelinci?” tanyanya.
“Dari dulu,” jawab Arshen datar, masih sibuk membagi wortel.
Yuda memperhatikan kelinci-kelinci itu. Ada satu yang kecil banget, bulunya coklat karamel. Lucu parah. “Itu anak pertamanya?” tanyanya iseng.
Arshen mengangguk.
“Yang itu anak keduanya?”
Anggukan lagi.
“Yang item itu pasti anak terakhir.”
Yuda mulai senyam-senyum sendiri. “Yang gede itu pasti ibunya. Yang coklat muda, bapaknya. Yang di pojokan, pamannya. Yang lagi tidur itu bibinya.”
Arshen berhenti sejenak, lalu menoleh dengan tatapan mendelik. “Mereka satu keluarga. Gak ada paman dan bibi. Gak ada hubungan rumit di sini.”
Yuda ngakak pelan. “Segitu seriusnya sama silsilah kelinci,” gumamnya.
Arshen berdiri sambil membersihkan tangannya. “Ini bukan sinetron, Yud.”
Tapi di balik omelannya, Yuda bisa melihat sisi lembut dari pemuda yang biasanya lebih banyak ngomongin coding, server, dan mie. Sisi yang ternyata bisa luluh juga sama makhluk berbulu.
...***...
Begitu Yuda masuk apartemen, aroma wangi dari dapur langsung menyambutnya. Aneh. Biasanya sepi, lampu remang, dan suara ranjang berderit.
Tapi kali ini?
Mereka duduk manis di meja makan. Berdua. Ayah dan Bunda. Dan, ya ampun sedang makan martabak.
“Yudaaa, sini!” ujar Nadhifa langsung menyambut seperti Yuda baru saja pulang perang.
Yuda menaruh tas di sofa, nyamperin, dan duduk.
“Cobain ini,” kata Nadhifa sambil menyodorkan sepotong martabak berwarna ungu. “Rasa baru,” tambahnya bangga. “Blueberry!”
Yuda sempat bengong. Warna ungunya mencolok, sama seperti semangat Nadhifa yang ingin menyuapinya. “Dikit aja,” ucap Yuda sambil membuka mulut setengah pasrah.
Begitu masuk mulut…
“Manis banget,” kata Yuda jujur, alis terangkat. “Enakan yang coklat.”
Di seberang meja, Renzo angkat tangan, ngajak tos. “Setuju,” katanya kalem. “Coklat masih nomor satu.”
Yuda tertawa kecil dan tos pelan dengan Renzo.
Nadhifa langsung manyun. “Yaaah … kalian kompak kalau nyalain rasa yang aku pilih,” keluhnya.
Yuda pura-pura batuk supaya tidak tertawa.
Nadhifa masih mengunyah martabak blueberry dengan ekspresi berusaha menikmati. Lalu matanya nyasar ke Yuda. “Yuda, bantuin dong habisin ini.”
Yuda cepat menggeleng. “Masih kenyang, Bund.”
“Mas, kamu bantuin aku, ya?” ujar Nadhifa terdengar manja.
Renzo hanya angkat alis. “Aku udah kenyang lihat kamu makan.”
Yuda langsung minum air putih lalu refleks kepikiran…
Tadi mereka baru pulang. Tapi bajunya sudah agak berantakan. Kerudung Nadhifa tak dipeniti sedikit berantakan. Biasanya, mereka masuk kamar dulu, lalu keluar dengan nafas ngos-ngosan dan mata mengantuk.
Tapi sekarang—baru makan?
Yuda melirik jam. Ah, mungkin adu gulatnya sudah tadi. Yuda langsung berdiri. “Ya udah, aku ke kamar dulu ya…” Sebelum visual itu makin jelas di kepalanya.
Renzo mengangguk, Nadhifa masih berjuang dengan martabak ungu itu. Dan Yuda berdoa keras, semoga kali ini kamar mereka dikunci rapat agar dia tidak melihat.
...***...
02.10 a.m
Yuda haus. Banget.
Dia membuka pintu kamar pelan-pelan, seperti pencuri. Suhu dingin langsung menyapa dari jendela lorong apartemen yang agak terbuka. Yuda menguap sebentar dan menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
Kulkas jadi tujuan. Tapi baru beberapa langkah, pintu kamar Renzo dan Nadhifa terbuka sedikit. Sedikit banget. Tapi cukup untuk…
Ya Allah!
Yuda langsung freeze.
Siluet dua orang. Gerakan. Suara samar. Bukan nonton film. Bukan tidur. Bukan nyari baju. Suara ranjang. Desahan. Nafas. “Ah, Mas…”
Mati dia.
Yuda langsung menghindar ke samping lemari, lalu jongkok. Mengambil botol air mineral dari dus dekat kulkas. Lalu berjinjit cepat, seperti misi penyusupan level hardcore. Begitu sampai kamar, Yuda masuk, menutup pintu pelan banget.
Setengah detik kemudian…
Dia langsung mengangkat tangan kanan ke bahu kanan, ke kiri, dada, lalu dahi.
“Astaghfirullah…”
Baru sadar, itu bukan gerakan istighfar. Itu … tanda salib.
“ISTIGHFAR!” Yuda langsung menegaskan diri sendiri, keras, sambil nutup mata. “Astaghfirullah … Astaghfirullah…”
Tiba-tiba…
“Kamu kenapa, Yud?!”
Suara Nadhifa. Lembut. Masih dari dalam kamar yang pintunya tadi terbuka sedikit.
Yuda menarik napas. “Nginjek kerikil, Bund!” ucapnya cepat.
Lalu hening.
Hening yang berarti aman.
Setidaknya mereka berhenti.
Tapi…
Telinga Yuda tidak aman. Sudah kena efek suara 8D yang tak bisa dihapus dari memori.
Dia menyelimuti diri, pura-pura tidur, dan berdoa semoga besok pagi dia tidak harus sarapan bersama mereka yang rambutnya basah.