Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 27 | Aww My Sweetheart
Tensi yang sebelumnya memanas diantara Anala dan Elliot, mereda begitu saja setelah kedatangan Nathael. Mau tak mau, mereka saling mengalah demi mempertahankan image ayah dan ibu yang harmonis didepan anaknya.
Ketiganya sudah berada nyaman dengan posisi masing-masing. Nathael ditengah dan kedua orang tuanya yang mengapit disisi lain. "Selamat malam Ma." katanya manis pada Anala, lalu beralih pada Elliot. "Selamat malam, Pa."
Setelah itu ia tertidur damai sementara dua orang dewasa disebelahnya masih sibuk perang mata tanpa suara—setidaknya sampai Nael benar-benar terlelap. "Dasar buaya!" ejek Anala cukup dengan gerakan bibir.
Elliot merotasi bola matanya lalu tersenyum mengejek. "Suka nggak sadar diri, ratu iblis." balasnya tak mau kalah dan bahkan jauh lebih parah. Tentu dengan balasan kata yang tak ada habisnya membuat rasa kesal makin menumpuk di hati Anala.
"Sana deh kamu tidur di sofa." usirnya pelan tapi penuh penekanan. Ia bahkan bangkit dari posisi tidur dan menunjuk Elliot dengan mata nyalang dan kening berkerut.
Tapi justru Elliot nggak peduli. Ia malah memunggungi Anala dan bicara santai. "Nggak mau. Disini masih cukup muat buat kita bertiga." Anala membelalak lalu turun dengan langkah hati-hati menuju sisi Elliot. Dia berkacak pinggang dengan wajah judes. "Aku nggak mau tidur bareng kamu!"
Elliot menoleh sekilas, helaan napasnya terdengar pelan bersamaan dengan matanya yang terpejam dengan sengaja. "Nggak peduli pendapat kamu karena ini rumahku." suara datar tanpa perasaan itu membuat Anala makin pundung. Ia memegang tangan Elliot, memaksa mata mereka untuk bertatapan. "Oh jadi sekarang gitu? mentang-mentang ini rumah kamu, jadi seenaknya?"
Elliot melirik tangannya yang dipegang Anala, lalu muncul garis halus disekitar keningnya. Batinnya berisik, tapi justru nggak mampu disampaikan dengan lantang. Apaan sih yang salah dari omong kosong itu, sertifikat rumah kan atas nama kamu.
Pikirannya itu dipendam sendirian, ia bangun dari posisi tidurnya dan duduk ditepi ranjang. Matanya lurus pada Anala. "Kamu masih mau lanjutin perdebatan nggak jelas itu? Kamu nggak mikir kalau Nael akan terganggu."
"Makanya cepetan kamu pindah ke sana, aku nggak mau seranjang sama suami orang!" tangannya menunjuk sofa, tapi pupilnya bergetar seperti menahan sesuatu yang akan meledak.
Elliot menegang sesaat sebelum akhirnya mengernyit layaknya orang habis kena fitnah. Tangannya mencengkram sprei cukup kuat sebelum bicara. "Dari tadi omongan kamu makin ngaco. Sekarang kamu bahkan anggap aku sebagai suami orang, bukan suami kamu?"
Anala menelan ludah saat tatapannya bertemu dengan mata tajam Elliot. Ia tak sanggup lama, segera mungkin dia menunduk mengalihkan pandangan. "Udahlah El, aku nggak mau bahas ini lebih jauh lagi. Selamat karena sebentar lagi kamu punya anak kedua."
Anala melangkah kembali ke posisinya, namun Elliot menahan tangannya. Mata mereka bertemu namun Anala segera membuang tatapan itu. Sementara Elliot makin tak mengerti. Ia bangkit dan cengkramannya makin kuat. "Kamu hamil?"
Anala nyaris mati tersedak. Air ludah saja terasa sulit untuk ditelan. Alisnya beradu menatap Elliot, ia menggigit bibirnya bentuk penguatan diri. "Gimana aku mau hamil kalau kamu aja nggak pernah nyentuh aku!" ia menyentak kasar tangan Elliot dan melanjutkan langkah menuju sisi lain ranjang. "Setidaknya kasih aku sedikit waktu buat nerima kenyataan ini."
Namun Elliot tidak membiarkan Anala beranjak lebih jauh. Dia kembali menarik tangan itu, kepalanya menggeleng dengan mata yang terlihat sayu. "Apa yang kamu bicarakan? apanya yang anak kedua?"
Padahal yang sakit hati disini Anala, tapi kenapa Elliot justru menatapnya seratus kali lebih sakit. Ia menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan. Senyumnya dipaksakan agar terlihat kuat didepan pria ini. "Ya anak kedua— kan istri kedua kamu lagi hamil."
"Hah?!!"
Elliot terus melongo dengan setiap ucapan yang keluar dari mulut Anala. Matanya sampai mengerjap beberapa kali untuk memastikan kalau dia nggak salah pendengaran. Tatapannya terus mengamati ekspresi Anala dengan lebih dekat, tapi wanita tidak terlihat sedang bercanda. "Hah?!" ulangnya lagi, masih belum connect.
Refleks tangan Anala mengepal dengan kuat. Dia benci dengan respon jelek Elliot. "Ha Ho Ho mulu! apa dia belum ngasih tau kamu? kalau gitu maaf udah mengacaukan kejutannya." ia menyentak tangannya lagi, dan kali ini dibarengi dengan tatapan horor siap membunuh.
Tangan Elliot terulur menangkup kedua pipi Anala dengan gerakan pelan dan lembut. "Hei. Aku nggak punya istri lain!" matanya menusuk makin dekat, binaran indah itu membuat Anala meneguk ludah dengan kasar. Apalagi suaranya yang lembut saat bicara.
Anala pun tak melepaskan tatapannya dari Elliot, terus mencari celah kebohongan namun tak bisa ia temui. Perlahan air mata mulai menggenang di pelupuknya, bibirnya bergetar sebelum bicara. "Terus Maria itu siapanya kamu? simpanan kamu doang?" setiap kata yang keluar, matanya semakin penuh dengan cairan. "Aku liat dia makai cincin yang sama dengan nota yang kamu beli kok."
Elliot mengerjapkan matanya, darahnya berdesir melihat mata indah itu dipenuhi genangan. Ia tak memberi jawaban apapun, namun tangannya bereaksi lebih cepat untuk menyeka bulir yang perlahan jatuh menetesi pipi Anala.
"Kenapa diam? kamu nggak punya alasan lagi? harusnya kamu bilang sejak awal biar aku nggak berharap semuanya bisa membaik seperti dulu." makin banyak dia bicara, makin sesak terasa dihatinya. Semakin ia tahan semakin keras pula tubuhnya bergetar. "Aku bukannya nggak bisa terima, tapi aku juga butuh waktu. Aku—bingung gimana menghadapi ini semua."
Elliot sadar tubuh Anala bergetar tapi dia tidak berani melewati batas. Dia ingin memeluk namun hati kecilnya tak berani mengacaukan jarak yang diatur Anala. Sebagai gantinya ia memegang kedua bahu Anala, menatapnya penuh keteduhan. "Siapa yang bicara omong kosong ini didepan kamu?"
Bibirnya berusaha kuat untuk tetap tertutup, tapi ujung-ujungnya sudah tak mampu bersembunyi—bergetar pelan, seperti menahan teriakan yang ingin pecah. "Maria sendiri yang bilang ke aku. Pokoknya sekarang tolong tidur di sofa dulu, aku nggak bisa tidur kalau kamu di sebelahku."
Sesekali ia menggigit bibir bawahnya, menahan isak yang mendesak keluar. Namun gigitan itu justru menyisakan warna merah semakin pekat, mencolok di kulit pucatnya. Elliot berdecak kesal, setiap kali Anala bicara omong kosong dengan bibir bergetarnya, menyisakan sayatan di hatinya.
Tanpa perlu memikirkan hal rumit lainnya dia berdecak sekali lagi untuk meyakinkan hatinya melewati batas sialan yang membelenggu hatinya. "Ck. kurang ajar." ia mengangkat tubuh Anala seperti karung beras, membawanya pergi dari kamar itu.
Anala tersentak kaget hingga tangisnya berhenti mendadak karena rasa panik. Ia menepuk nepuk punggung Elliot sambil meracau. "Elliot, kamu mau ngapain?!" Elliot tak berniat untuk berhenti, dia terus melangkah. "Diem dulu, nanti Nael bangun."
"Mau apa sih?" tanya Anala lagi dengan nada yang sengaja dikecilkan. Namun percuma, tak ada jawaban yang diberikan Elliot. Mereka hanya keluar dari kamar menuju ruangan sebelah, tempat Elliot biasanya bekerja ketika dirumah.
Anala ditaruh dengan hati-hati diatas meja kerja. Matanya merotasi ruangan itu, tapi ia masih tak paham apa tujuannya. "Kenapa kamu bawa aku kesini?" ia melihat Elliot yang sedang memeriksa sebuah lemari, tidak tau entah apa yang sedang dia cari.
"Elli, kamu denger aku nggak sih?!"
Pria itu membawa sebuah kotak misterius, dan menyodorkannya pada Anala. "Apa ini?" tanya Anala dengan dahi berkerut. "Buka aja biar kamu tau" tangan Elliot diletakkan dikedua sisi tempat Anala duduk.
Setelah menatap Elliot, tangan Anala mulai membuka kotak itu dengan gerakan ragu. Begitu terbuka, matanya langsung melotot dengan ekspresi cengo tak kalah jeleknya. "Ini... apa?" matanya shock sampai lupa berkedip.
"Perhiasan."
Di dalam kotak itu ada beberapa jenis perhiasan yang belum pernah Anala lihat sebelumnya. Ia memandang Elliot, masih terus menuntut jawaban. "Ya aku tau, maksudnya buat siapa perhiasan sebanyak ini?"
"Buat istriku lah, gitu aja kamu masih nanya." suaranya lempeng, benar-benar nggak merasa ada yang perlu ditanyakan lagi. Sementara Anala sudah memandangnya dengan horor, ia menutup kembali kotak itu dan menyipit tajam pada suaminya. "Istri yang mana?"
Elliot mengeram kesal sampai tangannya tanpa sadar menangkup kedua pipi Anala. "Ck. bacot! istriku cuma kamu, mana mungkin ada yang lain." mata Anala sontak melebar, namun hanya sesaat.
Ia mengalihkan pandangan ke lantai, sementara tangannya masih memegang kotak perhiasan itu. "Tapi kemaren aku liat cincin Maria mirip sama produk yang ada di nota kamu."
"Mungkin kebetulan mirip." tangannya mengeluarkan kotak cincin dari balik laci meja yang kini diduduki Anala. Ia membuka kotak itu, dan menunjukkannya. "Ini dari nota yang kamu lihat itu. Aku beli buat kamu, bukan untuk orang lain."
Jantung Anala berdebar dengan cincin dan juga ucapan Elliot yang meyakinkan hatinya bahwa Anala adalah satu-satunya. "Jadi—"
Belum sempat ucapannya selesai, Elliot sudah memotongnya. "Iyaa." katanya lalu mengeluarkan cincin itu dan meraih jari manis Anala. Namun matanya tiba-tiba membesar saat melihat ada cincin kawin mereka ditangan Anala.
"Kamu makai cincin ini lagi?" tanyanya penasaran. Anala langsung mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Sontak mata Elliot langsung melebar, senyumnya mencuat hangat dan tulus. "Kalau gitu aku pasangin dijari yang lain."
Setelah cincin itu terpasang, ia kembali fokus pada Anala, senyumnya merekah dengan indah. "Happy anniversary, istriku." kalimat itu berakhir dengan kecupan lembut ditangan Anala.
Deg... deg... deg.
Tubuh Anala rasanya menegang, jantungnya berpacu hebat hingga debarannya mungkin terdengar ke telinga Elliot. Matanya dipenuhi binaran, begitupun dengan wajahnya yang memerah. Tatapan dan senyuman yang manis itu membuat hatinya luluh lantah.
Ia melebarkan tangannya dan membenamkan dirinya pada pelukan Elliot. Tangisnya pecah, namun bukan lagi tangis kesedihan melainkan tangis yang membuatnya bersyukur ribuan kali. "Apa-apaan kamu, El. Kamu bikin aku baper."
Elliot hanya terkekeh mendengar racauan itu, tangannya mengusap punggung Anala dengan lembut. Dia bisa merasakan detak jantung yang berpacu sama keras dengan miliknya. Wangi strawberry segar mengudara lewat aroma rambutnya. "Aku bisa bikin kamu baper ribuan kali, asal kamu janji nggak akan pernah ninggalin aku lagi."
Tangis Anala makin menjadi. Ia membenamkan wajah sepenuhnya pada dada bidang Elliot. Yang terasa hanya anggukan kepalanya dan suara samar dari wajahnya yang terbungkam didada Elliot. "Aku nggak akan biarin Maria lepas gitu aja, aku akan bikin perhitungan sama dia!"
Meski samar, Elliot bisa mendengarnya. "Nggak perlu La, aku akan beresin itu semua sampai nggak ada lagi salah paham yang tersisa antara aku dan juga Maria."
Anala melepaskan pelukannya, lalu menatap Elliot lebih serius. Mata dan hidungnya masih memerah bekas tangisan yang lalu. "Nggak El, ini urusan aku sama dia. Aku akan kasih dia pelajaran!"
Elliot tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, lakukan apapun yang kamu mau. Aku akan urus sisanya."