NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:894
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25: Kemarahan Anthony

Nayara menghela napas panjang, lalu berjalan cepat—setengah berlari—menuju arah tangga. Langkah kakinya sedikit tergesa, namun setiap tapaknya menyimpan keraguan yang tak bisa disembunyikan. Pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban, terutama soal keputusannya menikah muda dengan putra sulung keluarga Steel.

Tangannya refleks meraih kalung couple yang tadi diberikan oleh Zevian. Permata kecil di kalung itu tampak berkilau saat terkena sorot lampu lorong yang redup. Jari-jarinya menggenggam liontin itu erat, seolah berharap kalung itu mampu menenangkan badai yang sedang menggelora di dalam dirinya.

"Tolong berikan saya kesempatan. Saya berjanji akan membantumu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita tidak tahu apa yang tersembunyi di balik semua ini. Saya memang bukan pria sempurna, tapi saya akan berusaha menjadi pria seperti yang kamu mau. Jadi tolong, ubah saya—anggap saja saya sahabatmu, bukan hanya suamimu. Buka sedikit hatimu untuk saya. Saya berjanji akan berubah seperti yang kamu harapkan..."

Ucapan Zevian di dalam mobil itu kembali terngiang-ngiang di telinga Nayara. Kalimat-kalimat itu melayang dalam benaknya, berputar seperti gema yang tak bisa dihapus.

Selama ini, Nayara adalah wanita dengan luka yang dalam terhadap kepercayaan. Trust issue yang sudah tertanam sejak lama membuatnya sulit membuka ruang bagi laki-laki—terlebih untuk pernikahan. Tapi kini, semua itu menjadi dilema besar. Dia tak cukup tega menghancurkan harapan seorang ibu yang sangat menginginkan putranya segera menikah.

Bayangan wajah kecewa Dira membuat hatinya terenyuh. Seolah ada tangan tak kasatmata yang menuntunnya untuk tetap melangkah dan yakin bahwa keputusan ini adalah bagian dari takdir Tuhan yang harus dia terima, entah sesulit apa pun jalan ke depannya.

Nayara akhirnya sampai di depan ruang kerja sang ayah. Ruangan itu terletak di sisi kanan lorong atas—tepat di ujung koridor yang sunyi dan terasa dingin. Dia menatap pintu kayu besar berwarna gelap itu beberapa saat, lalu menghela napas panjang. Napasnya berat, seperti membawa beban yang tak terlihat. Namun di balik semua keraguan, dia mencoba membulatkan tekad.

“Papa… ini Nay,” ucap Nayara pelan, sambil mengetuk pintu dengan lembut beberapa kali.

Sejenak, keheningan menyelimuti. Tak ada jawaban dari dalam ruangan. Tepat saat Nayara hendak mengetuk sekali lagi, terdengar suara ayahnya—dalam dan tenang.

“Masuk saja. Pintu tidak dikunci,” ujar Anthony dari dalam.

Nayara mendorong daun pintu perlahan. Ruangan itu langsung menyambutnya dengan aroma khas—perpaduan kayu tua dan wewangian halus yang sering digunakan ayahnya. Pencahayaan redup memeluk ruang kerja tersebut dengan nuansa hangat. Cahaya hanya berasal dari sebuah lampu meja kecil di sudut ruangan, cukup untuk menerangi sosok Anthony yang tengah duduk di sofa panjang berlapis beludru kelabu.

Sosok itu terlihat tenang, duduk santai dengan sebuah buku di tangan, seolah sedang menikmati ketenangan malam. Nayara mengenal betul kebiasaan sang ayah—dia memang menyukai suasana temaram seperti ini, terutama saat merenung atau berpikir tentang pekerjaan. Langkah Nayara terhenti sejenak di ambang pintu. Dia menatap ayahnya yang tak menunjukkan ekspresi terkejut ataupun heran.

"Papa, mereka sudah datang," ujar Nayara pelan sambil melangkah menuju sofa tempat Anthony duduk. Suaranya nyaris bergetar, mencoba mengumpulkan keberanian menghadapi sosok ayah yang selama ini terasa seperti tembok besar yang sulit ditembus.

Anthony menatapnya dari balik bayang remang ruangan. Nada suaranya datar, seolah tak ingin langsung meluapkan emosi, tapi setiap katanya menusuk hati.

"Sudah berapa lama kamu tidak pulang?" tanyanya dengan suara berat, penuh makna yang lebih dari sekadar pertanyaan. Nayara menunduk, matanya tak dapat menangkap dengan jelas wajah sang ayah di antara cahaya temaram itu.

"Papa, ayolah... kita bisa bahas itu nanti. Mereka sudah menunggu di bawah," ucap Nayara mencoba menenangkan suasana, suaranya lembut namun penuh tekanan yang tersembunyi. Namun, ucapan itu justru memancing kemarahan yang tersimpan di dada Anthony.

"DUDUK!! Begitu kah caramu berbicara kepada orang tuamu? Apakah itu yang kamu pelajari selama ini?" bentaknya tiba-tiba, memecah keheningan.

Hati Nayara tercekat, tubuhnya seolah membeku. Dia menghela napas panjang, lalu perlahan duduk di sofa di hadapan sang ayah, menundukkan kepala. Anthony memandangnya tajam, lalu mengulang pertanyaan yang sama dengan nada yang lebih dingin dan menusuk.

"Sudah berapa lama kamu tidak pulang?" Tanya nya lagi yang membuat Nayara terdiam. Kata-kata seperti tersangkut di tenggorokannya. Namun tatapan ayah yang membara membuatnya tergugah.

"JAWAB! Berapa lama kamu tidak pulang," suara Anthony meninggi, memaksa. Mendengar itu, Nayara tersentak, dadanya berdebar kencang. Dengan suara yang bergetar, ia akhirnya menjawab.

"Tujuh bulan..." Lirih nya yang langsung membuat Anthony memalingkan wajahnya sesaat, lalu melemparkan kata-kata yang tajam seperti pisau.

"Bagus sekali kan?! Sifatmu sungguh luar biasa. Di chat tidak pernah dibalas, telepon tak pernah diangkat, diajak bertemu selalu dihindari. Kamu menganggap papa ini apa, Nay? Apa kamu pikir Papa sudah tak pantas dihormati lagi? Apa sebenarnya yang kamu mau?" Ujarnya yang membuat Nayara merasakan seolah-olah dunia seketika runtuh. Bibirnya kaku, namun ia berusaha berkata.

"Nay sibuk dengan urusan kampus, Pa..." Jawab nya yang membuat Anthony memotong dengan tajam.

"Sibuk dengan urusan kampus? Tapi kamu masih sempat menjalin hubungan dengan pria dari keluarga itu?" Kalimat itu membuat suara Nayara tercekat, dan ia kehilangan kata-kata untuk membela diri.

"Itu be..." ucap Nayara dengan ragu, namun tak sempat melanjutkan Anthony sudah lebih dulu melanjutkan tanpa ampun.

"Kamu yang beda. Kamu bisa meluangkan waktu untuk orang asing, tapi tidak pernah untuk keluargamu sendiri. Kamu kecewa pada Papa karena mengira Papa yang mendorong Mama dari balkon itu, bukan? Pikiran itu yang membuat jarak di antara kita makin melebar. Kalau kamu punya pikiran seperti itu, terserah kamu. Papa tidak bisa menghalangi apa yang kamu pikirkan. Tapi ingat, sekeras apapun kamu menolak kenyataan, kamu tetap anak Papa. Darah daging Papa. Kamu pikir bagus bertingkah seperti ini? Apa yang kamu harapkan akan terjadi? Mau jadi apa kamu?" ujar antara berkata tanpa jeda.

Kata-kata itu terucap dengan nada tegas dan berat, penuh luka yang selama ini terpendam dalam hati Anthony. Ia sudah lama ingin berkata seperti ini, namun selalu kehilangan kesempatan karena Nayara yang terus menghindar setiap kali diajak berbicara.

Nayara duduk terpaku, matanya mulai berkaca-kaca, menahan segala rasa sakit yang mendadak mencuat begitu saja. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena takut, tapi karena luka lama yang kembali terbuka.

“Kamu pikir semua ini main-main, Nayara? Kamu pikir Papa senang harus jadi ayah yang dianggap asing? Papa sudah berusaha, sudah bertahan—tapi kamu? Kamu malah memilih untuk menghindar, menghilang begitu saja tanpa kabar!” ujar nya yang membuat Nayara menunduk, jantungnya seolah tercekat. Ia merasakan tatapan tajam ayahnya menembus kulit, menusuk jauh ke dalam hati.

“Apa kamu tahu rasanya setiap malam menunggu panggilan darimu, setiap pesan yang tidak pernah dibalas, setiap pintu yang selalu tertutup di hadapan papa?” Anthony melangkah mendekat, suara gemuruhnya memenuhi ruangan kecil itu.

“Dan sekarang, kamu datang dengan keputusan menikah, tanpa bicara pada Papa terlebih dulu? Kamu pikir papa bisa diam saja?” ujar nya sedangkan Nayara hanya bisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Dia ingin bicara, ingin menjelaskan, tapi kata-kata seakan terkunci rapat di kerongkongannya.

Anthony mengayunkan tangannya ke udara, seolah hendak mengusir semua kesedihan dan kekecewaan yang terpendam.

“Ini bukan soal ‘sibuk kampus’ atau ‘pacar baru’! Ini soal keluarga, soal rasa hormat, soal kepercayaan yang kamu hancurkan perlahan-lahan! Kamu bisa lari dari perjodohan melawan Papa, lalu sekarang? Datang bersama keluarga asing itu untuk menikah?” Suara Anthony pecah di ujung kalimat, napasnya terengah-engah, menunjukkan betapa dalamnya luka yang selama ini disimpan.

“Kamu anak Papa, Nay. Darah daging Papa. Jangan biarkan semua ini jadi sia-sia hanya karena kamu memilih untuk mengasingkan diri!” ujar nya namun lagi dan lagi Nayara hanya terdiam. Matanya tidak mampu menatap pria di hadapannya. Jiwanya penuh dengan luka yang belum sempat sembuh, dipenuhi keraguan yang terus menghantui. Dia memang kecewa pada Anthony.

Pria itu... pria yang telah mengambil sosok ibu dari hidupnya—setidaknya, itulah yang selama ini ia yakini. Sejak hari itu... sejak detik mengerikan itu. Namun, di satu sisi, hati kecilnya menolak untuk sepenuhnya menyalahkan sang ayah. Karena meskipun matanya melihat, pikirannya tak pernah benar-benar bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi hari itu.

“Suruh mereka pulang. Papa tidak akan menemui mereka,” ujar Anthony sembari berdiri dari duduknya. Suaranya dingin, tegas, tanpa ruang untuk dibantah. Ia melangkah menjauh dengan penuh keyakinan.

Namun seketika, bayangan wajah Dira muncul jelas di benak Nayara—tatapan penuh harap seorang ibu yang ingin melihat putranya menikah. Tatapan yang seolah menitipkan semuanya pada Nayara. Ia tidak bisa membiarkan harapan itu hancur.

“Papa, mereka akan kecewa kepada Naya...” ucap Nayara lirih. Tubuhnya bergerak cepat, bangkit dari sofa dan menahan langkah sang ayah. Dalam sekejap, Nayara luruh berlutut, memeluk kaki Anthony dengan erat, seolah ingin mengikat keputusan pria itu dengan rasa belas kasihan. Suaranya bergetar. “Aku mohon... jangan seperti ini...” lanjut nya.

Anthony mematung. Hatinya tercekat melihat anak yang selama ini menjauh, kini memohon padanya untuk tetap tinggal. Tapi harga diri, kemarahan, dan rasa kecewa yang sudah mengendap terlalu lama membuatnya enggan menunjukkan kelembutan.

“Kamu lebih takut membuat orang asing kecewa? Kamu takut mereka kecewa, tapi sifatmu itu yang membuat Papa kecewa, Nayara! Kamu tahu itu?!” bentaknya lantang. Suara itu menggema di ruangan yang remang, menghantam dada Nayara yang telah basah oleh air mata. Dia hanya bisa menangis, sesenggukan, menggigil di kaki sang ayah, namun Anthony tetap berdiri kaku... dingin... seolah tangisan itu tidak menyentuh hatinya sedikit pun.

“Papa... Nay mohon...” ucap Nayara lagi. Kalimat itu lirih, nyaris seperti bisikan antara napas yang tertahan dan tangis yang menyesakkan.

Sesaat Nayara terdiam. Bahkan dirinya sendiri tidak paham kenapa bisa sampai bersujud seperti ini. Bukankah semua ini terlalu berlebihan? Bukankah dia tidak benar-benar menginginkan pernikahan itu? Tapi... entah bagaimana, dorongan untuk mempertahankan harapan seorang ibu membuatnya tetap bertahan dalam posisi memohon.

Semua ini bukan demi cinta. Bukan demi Zevian. Tapi demi seseorang yang pernah memeluknya seperti anak sendiri. Dan demi sebuah janji yang diam-diam dia ucapkan pada dirinya sendiri—untuk tidak menjadi penyebab air mata seorang ibu yang telah cukup menderita karena kebohongan anaknya sendiri.

“Tidak usah terus menangis. Masuk ke kamar, selesaikan pendidikanmu. Setelah itu, pergi ke luar negeri dan lanjutkan pendidikanmu di sana. Tidak perlu ada urusan menikah-menikah seperti ini. Mulai hari ini, semua fasilitasmu Papa sita. Kamu tinggal di sini, dan selesaikan kuliahmu dengan baik!” tegas Anthony tanpa satu pun getar di suaranya.

Perkataannya tajam, menusuk tanpa belas kasih. Tubuh Nayara bergetar saat mendengarnya. Pelukannya di kaki sang ayah justru semakin erat, seperti ingin menahan semua yang perlahan menjauh darinya.

Namun Anthony tetap melangkah. Tegas. Tidak menoleh sedikit pun, seolah tangisan Nayara tidak berarti apa-apa.

Melihat punggung ayahnya perlahan menjauh, Nayara sontak berdiri dan berlari mengejarnya. Tanpa pikir panjang, dia memeluk pinggang Anthony dari belakang. Tubuhnya gemetar hebat, air mata masih mengalir tanpa bisa dihentikan. Dia sendiri tidak tahu mengapa begitu takut saat ini. Mungkin karena perasaan bersalah... atau karena beban berat yang terasa semakin menghimpit.

“Papa... Naya mohon...” suaranya parau, nyaris hilang tenggelam oleh isak tangis. “Nay memang kecewa pada Papa, tapi Nay tidak pernah benar-benar membenci Papa... Nay hanya tidak tahu bagaimana caranya melupakan Mama... Nay bingung, Nay kecewa... bukan benci...” lanjut nya yang membuat tubuh Nayara perlahan merosot, kembali memeluk kaki ayahnya dari bawah seperti anak kecil yang ketakutan kehilangan satu-satunya tempat berpulang.

Hatinya kalut. Semua kenangan masa lalu berputar di kepalanya seperti bayangan buruk yang tidak mau pergi. Dia ingin melupakan semuanya, tapi dia tidak bisa. Dan yang paling menyakitkan, satu-satunya sosok yang menjadi rumah... justru adalah orang yang selama ini ia hindari.

Anthony diam. Helaan napas berat terdengar. Perlahan, dia berbalik dan berjongkok, menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan Nayara. Tatapan matanya tidak lagi setajam sebelumnya. Dia menatap wajah anak perempuannya yang memerah karena terlalu lama menangis.

“Susah hidup dalam kebencian...” ucapnya pelan, namun penuh makna. “Papa tidak melarang kamu membenci Papa. Tapi hormatilah Papa, Nay. Carilah kebenaran yang kamu mau, tapi jangan pernah lupakan bahwa Papa adalah ayahmu.” lanjut nya pada Nayara masih terisak. Matanya menatap Anthony dengan bingung dan hampa.

“Bencilah Papa sesukamu... tapi jangan lupa, kamu ada di dunia ini karena Papa. Kamu menyayangi Mama, begitu juga dengan Papa. Setiap orang punya kesalahan, Nayara... Dan dirimu, kamu... bukan hanya ada karena Mama saja, tapi juga karena Papa.” ujar Anthony melanjutkan.

Kata-kata itu keluar pelan, tapi menampar kesadaran Nayara dengan keras. Anthony bangkit tanpa berkata lagi dan mulai melangkah pergi, meninggalkannya di sana.

Nayara terdiam beberapa saat. Hatinya seperti remuk, namun dalam kehancuran itu, muncul secercah rasa yang sulit dijelaskan. Rasa yang selama ini dia tekan... kerinduan akan kehangatan seorang ayah.

Dengan langkah pelan, dia berdiri. Sesekali menyeka air mata yang belum sepenuhnya berhenti mengalir, lalu mengikuti Anthony dari belakang. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan... tapi untuk pertama kalinya, dia tidak ingin menjauh.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!