Karma? Apa benar itu yang terjadi padaku? Disaat aku benar-benar tidak berdaya seperti ini.
Bagaimana mungkin aku meghadapi sebuah pernikahan tanpa cinta? Pernikahan yang tidak pernah ku impikan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya. Tidak mampu menentang takdir yang ditentukan oleh keluarga. Pria yang akan menikahiku...aku tidak tahu siapa dia? Seperti apa sifatnya? Bagaimana karakternya? Aku hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku sebenarnya masih menunggu seseorang dari masa laluku. Seorang pria yang sangat ku cintai sekaligus pria yang telah ku lukai hatinya. Nando Saputra, mantan kekasihku yang telah memutuskan pergi dariku setelah aku dengan tega mengusirnya begitu saja.
Sekarang rasa menyesal kembali menghatuiku saat ku tahu sebuah fakta yang lebih mengerikan...dia Nando, pria yang selama ini ku rindukan adalah adik dari pria yang menikahiku. Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amy Zahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Luka yang Kembali
Hari itu Nando menerima pesan dari teman-temannya. Rafa, Kenzi, Ale, dan Egi mengundangnya ke sebuah cafe yang cukup populer di kalangan anak muda.
Mereka ingin merayakan selesainya tugas besar pertama perkuliahan S2.
Aku mengizinkannya pergi. Kupikir, setelah sekian lama Nando hanya berkutat dengan rumah dan kampus, bertemu teman-teman bisa membuatnya lebih bersemangat.
Namun hatiku tak tenang. Ada sesuatu yang bergetar aneh sejak ia melangkah keluar rumah.
Cafe itu ramai. Lampu temaram, musik akustik live mengalun lembut. Nando berjalan masuk bersama Rafa, sementara suara riuh tawa mahasiswa memenuhi udara.
Tiba-tiba langkahnya terhenti.
Di pojok ruangan, sebuah meja kayu dengan kursi panjang menghadap dinding bata ekspos.
Nando tak mengerti kenapa, tapi matanya terpaku ke sana. Dadanya terasa sesak, napas tertahan.
Kilasan itu datang begitu saja—cepat, tajam, menyayat.
Nando duduk di meja itu. Di hadapannya… Aura. Rambut hitamnya tergerai, matanya dingin, bibirnya melontarkan kata-kata tajam.
"Kita selesai, Nando. Aku tidak mau lagi denganmu. Jangan pernah cari aku lagi."
Suara itu menghantam kepalanya, membuatnya terhuyung. Tangannya meremas pelipis, nyeri menusuk seperti ribuan jarum menembus otak.
Rafa buru-buru menahan pundak.
“Nando, bro, lo kenapa?!”
Nando terengah, keringat dingin mengalir di pelipis. Bayangan itu terus berulang, kalimat itu menusuk lebih dalam. Aura… meninggalkannya. Dengan wajah tanpa rasa bersalah.
Marah. Panas. Dada ini terbakar.
Kenapa? Kenapa dia tega?
Ingatan itu seolah menjadi pelengkap puzzle yang menghilang. Kini Nando tahu alasan mereka berpisah. Bukan dirinya atau Ali. Tapi Aura sendiri yang mengusirnya.
Aku menerima telepon dari Rafa dengan suara panik.
“Kak, Nando tiba-tiba drop di cafe! Kepalanya sakit, terus dia marah-marah sendiri. Tolong cepat datang!”
Aku langsung berlari. Begitu sampai di sana, nafasku tercekat. Nando duduk di kursi, tubuhnya gemetar, matanya merah penuh amarah. Rafa, Ale, dan Kenzi berdiri di sampingnya kebingungan, sementara Egi berusaha menenangkannya.
Beberapa pengunjung menatap penasaran.
Aku mendekat, ingin menyentuh bahunya.
“Nando…”
Namun, matanya menatapku tajam. Bukan tatapan lembut yang biasa. Tapi tatapan penuh luka.
“Kamu… kamu yang ninggalin aku di sini… dengan kata-kata itu…” suaranya bergetar, tapi penuh kemarahan.
Aku terdiam. Dunia seakan runtuh di sekelilingku.
Jadi… dia mulai mengingat dan yang pertama ia ingat… adalah saat aku mencampakkannya di masa lalu.
Aku menatap sekeliling dan baru sadar bahwa cafe inilah saksi bisu dari keangkuhanku di masa lalu.
Sebuah kebodohan yang sangat aku sesali diseumur hidupku dan Nando mengingatnya? Tempat ini, telah membangkitkan ingatan Nando yang menyakitkan.
“Nando, dengar aku dulu…” kataku dengan suara gemetar.
“Apa yang harus aku dengar, Aura?!” Ia bangkit, hampir terhuyung. “Aku ingat! Aku ingat bagaimana kamu buang aku, seolah aku nggak berarti apa-apa. Aku ingat rasa sakit itu!”
Teman-temannya saling berpandangan bingung. Bella yang kebetulan datang menyusul—karena ia juga bagian dari kelompok kampus—segera meraih lengan Nando, memeluknya erat.
“Tenang, Nando. Aku di sini,” bisik Bella.
Aku tercekat. Tanganku yang ingin meraih Nando terhenti di udara. Rasa bersalah, cemburu, dan ketakutan bercampur menjadi satu.
Aku ingin menjelaskan. Aku ingin mengatakan semuanya tidak seperti yang dia ingat. Tapi tatapan matanya… begitu dingin, penuh kebencian.
Dan untuk pertama kalinya, aku takut.
Takut Nando benar-benar menjauh dariku.
Aku menatap Nando yang masih dalam pelukan Bella. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat tapi matanya menatapku dengan api yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Sakit… rasanya sakit sekali. Tatapan itu seolah mengiris hatiku.
“Nando… tolong dengar aku dulu,” suaraku nyaris berbisik, tapi memohon. Aku melangkah mendekat.
Nando menggeleng keras, menepis tanganku.
“Kenapa aku harus dengar kamu, Aura?! Aku ingat jelas… kamu yang buang aku! Kamu yang hancurkan aku!”
Setiap kata-katanya menamparku. Aku ingin menjelaskan, ingin berkata bahwa ada alasan, bahwa semua tak sesederhana itu. Tapi suaraku tercekat, tertelan oleh tatapan penuh luka itu.
“Aku… aku salah waktu itu, Nando. Aku bukan sengaja mencampakkanmu. Aku…” napasku tersengal, air mata menetes tanpa bisa kutahan.
“Ada tekanan, ada keadaan yang nggak bisa aku lawan. Aku—”
“Ada keadaan?!” Nando memotong dengan suara meninggi. “Kamu bahkan nggak pernah kasih aku kesempatan buat tahu! Kamu pergi, ninggalin aku dengan luka itu sendirian!”
Aku terisak, hampir berlutut di hadapannya.
“Nando, aku masih cinta sama kamu… sampai sekarang. Aku nggak pernah benar-benar berhenti…”
Hening sejenak, sebelum suara Bella memecah udara.
“Cukup, Kak Aura.”
Suara itu tegas, dingin, menusuk ke arahku.
Aku menoleh. Bella masih memeluk Nando erat, seolah dialah pelindungnya. Matanya menatapku dengan tajam, penuh tuduhan.
“Kalau Kak Aura memang cinta, kenapa waktu itu tega ninggalin dia? Kenapa sekarang, setelah semua yang terjadi, Kakak masih berusaha masuk lagi ke hidupnya?”
Aku terdiam, lidahku kelu. Semua orang di café itu menatap kami. Rafa, Ale, Kenzi, dan Egi hanya bisa membisu, bingung harus bagaimana.
Bella mengelus punggung Nando, menatapku dengan tatapan penuh kebencian yang tersamar.
“Nando butuh ketenangan. Dia baru saja ingat luka lamanya, jangan ditambah lagi dengan kebingungan. Kalau Kak Aura benar sayang, biarkan dia tenang. Jangan paksa dia lagi.”
Aku terpaku. Kata-kata Bella menancap dalam dadaku. Seolah aku orang asing yang datang merusak segalanya.
Sementara itu, Nando…
Ia hanya diam. Tapi diamnya penuh makna. Tatapan matanya masih dingin, tak lagi lembut padaku.
Aku ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa aku juga korban keadaan. Bahwa aku terjebak dalam permainan Ali, dalam tekanan keluarga, dalam takdir kejam. Tapi suaraku hilang.
Aku hanya bisa berdiri kaku, melihat Nando memilih untuk bersandar di bahu Bella.
Dan saat itu, aku tahu… aku yang kalah.