Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara
ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
“Ayah!” teriak Vanaya, suaranya menggema, memantul di dinding marmer, menembus koridor panjang mansion yang sepi.
Pintu kamar Galih terbuka. Ia keluar dengan langkah terukur, pakaian sudah rapi, dasi di tangannya masih setengah terikat. “Kenapa kamu pagi-pagi sudah berteriak seperti di hutan?” katanya, suaranya datar namun matanya mengukur anaknya dari kepala hingga kaki.
Napas Vanaya memburu. Pipinya memerah, matanya menatap ayahnya seperti hendak membunuh “Ayah… jangan mentang-mentang Mama sudah tidak ada, lalu ayah seenaknya membelikan baju, tas, dan sepatu untuk Reza. Aku tidak terima!” suaranya bergetar
Galih menurunkan pandangan pada ponselnya, jemarinya bergerak pelan membalas beberapa pesan. Cahaya layar memantul di wajahnya, seolah kemarahan Vanaya hanyalah riak kecil di permukaan danau yang tenang.
“Ayah… dengar aku nggak, sih?” suara Vanaya memecah keheningan, sarat dengan nada kesal yang nyaris berubah menjadi jeritan.
“Dengar,” jawab Galih tenang, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
“Kalau dengar, kenapa nggak dijawab?” Vanaya menatapnya lekat
“Apa yang harus Ayah jawab? Uang jajan kamu tidak berkurang, fasilitas kamu juga tidak berkurang. Jadi apa masalahnya kalau Ayah membelikan baju, tas, dan sepatu untuk Reza?” ucap Galih, nada suaranya tetap tenang, seolah kata-kata Vanaya hanyalah percikan hujan di jendela yang sudah lama tertutup rapat.
Ia berjalan perlahan ke meja makan, menarik kursi dengan gerakan mantap, lalu duduk. Tangannya meraih sendok seperti seorang pria yang yakin urusan perut lebih penting diselesaikan sebelum urusan hati.
“Ayahhhhh!” teriak Vanaya, nadanya meninggi, menyeret sisa-sisa amarah yang tak tertampung.
“Sarapan dulu, nanti terusin marah-marahnya,” ujar Galih, tanpa menoleh, matanya fokus pada piring di hadapannya.
Dari sudut ruangan, Reza menyandarkan tubuh di ambang pintu. Senyum licik terbit di wajahnya. "Ini baru permulaan, pikirnya. Aku suka sekali kalian ribut pagi-pagi gara-gara aku."
Vanaya menolak duduk di meja makan bersama Galih. Keengganannya merembet pada Dimas; jika Vanaya tak sarapan, maka ia pun memilih menahan lapar. Bukan soal perut—ini soal harga diri.
Di ruang tamu, Vanaya mencoba menelepon ibunya. Tak diangkat. Nomor neneknya pun sama saja, hanya dering panjang tanpa jawaban. Ia menurunkan ponsel, menarik napas kesal. “Ayah, semakin ke sini semakin menyebalkan,” gerutunya.
“Iya,” sahut Dimas dari kursi kemudi, kedua tangannya mantap memegang setir. Matanya menatap lurus ke jalan, tetapi suaranya mengandung bara. “Ayah sekarang mulai perhatian sama anak pecundang itu.”
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Vanaya, nada suaranya campuran resah dan marah.
“Kita harus buat Ayah keluar kota. Kalau Ayah pergi, kita habisi si Reza,” jawab Dimas tanpa ragu.
“Lu yakin?” Vanaya menoleh, mencoba membaca keseriusan di wajahnya.
“Gimana dengan wasiat itu?”
“Aku yakin Ayah bohong. Mana ada wasiat seperti itu,” ujar Dimas, bibirnya melengkung sedikit, seolah menemukan celah.
“Jadi Ayah berbohong?” Vanaya menegaskan.
“Pernah lu lihat wasiatnya?” tanya Dimas.
Vanaya menggeleng.
“Fix… itu cuma ide konyol Ayah buat melindungi anak selingkuhannya,” Dimas menutup argumennya dengan keyakinan yang terdengar nyaris meyakinkan
..
Reza mengenakan baju baru, mahal dan rapi, sepatu mengkilap, serta jam tangan yang berkilau di pergelangan tangannya. Untuk pertama kalinya sejak kakeknya meninggal, Reza merasakan sentuhan pakaian yang benar-benar layak—bukan sembarang barang bekas atau pinjaman.
Bagus juga selera anjing tua itu, gumam Reza dalam hati, rasa sinis bercampur dengan sedikit penghargaan yang enggan diakuinya.
Ia menatap ayahnya yang tengah mengemudi, wajah Galih yang tampak serius namun tenang, seolah menyembunyikan badai yang siap meletus.
Mereka berdua duduk dalam mobil mewah, tanpa sopir, tanpa pengawal. Suasana di dalam kendaraan sunyi, berat, penuh rahasia. Langkah-langkah yang akan mereka ambil tidak boleh bocor kepada siapapun
Mobil mewah melaju pelan menembus hiruk-pikuk ibu kota, menuju sebuah hotel ternama yang berdiri kokoh di antara gedung-gedung pencakar langit.
Di dalam ballroom, puluhan wartawan sudah siap, berbaris rapi dengan kamera dan mikrofon yang terpasang di segala penjuru. Mereka menunggu, penuh antisipasi, meraba sebuah awal baru—era baru bagi keluarga Baskara, yang selama bertahun-tahun tenggelam dalam bayang-bayang kesunyian setelah dipegang oleh Galih Baskara.
Mobil berhenti dengan elegan di depan lobi, suara mesin yang mereda menjadi isyarat dimulainya sebuah babak baru.
Galih turun, menyerahkan kunci mobil kepada petugas parkir VIP dengan gerakan tenang, tak terburu-buru. Jas mahal melekat sempurna di tubuhnya, sepatu mengilap, jam tangan berkilauan di pergelangan.
Setiap langkah yang ia ambil bersama Reza menggetarkan ruang di sekelilingnya—wibawa dan kekuatan terpancar dari sosok mereka, menegaskan bahwa hari ini adalah titik balik yang tak bisa diabaikan.
Kilatan lampu kamera berkedip-kedip, menyapu wajah Galih dengan tajam, seperti sorotan mata publik yang haus akan kebenaran sekaligus gosip. Beberapa petugas keamanan, yang sudah menerima bayaran di muka, berdiri berjaga tanpa ekspresi. Hari ini, Galih sengaja tak membawa bodyguardnya—sebuah sinyal, atau mungkin tantangan, kepada dunia luar.
Galih dan Reza duduk berdampingan, menghadap barisan kamera dan mikrofon yang tertata rapi. Keduanya menampilkan wibawa yang terasah, tetapi di balik tatapan tenang itu, tersembunyi gelombang ketegangan yang tak terucap.
Para wartawan, yang sudah berjam-jam menunggu, bersiap dengan catatan dan rekaman mereka. Di udara, terasa getaran harapan sekaligus kecemasan—apa yang akan diungkapkan Galih kali ini?
Galih menyapu pandangannya perlahan, menembus barisan wartawan dengan sorot mata tajam yang menyiratkan keteguhan dan kemarahan yang terpendam.
Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengambil mikrofon. Kilatan lampu kamera semakin intens, menyorot wajahnya dan Reza—anak yang selama ini ia sembunyikan dari dunia, kini berdiri di tengah sorotan publik yang tak kenal ampun.
“Baiklah... rekan-rekan media,” suaranya dalam, berat, seolah menahan beban yang sudah lama dipendam. “Hari ini saya akan sampaikan kepada keluarga Sigit dan pihak Kampus Permata Bangsa...”
Ia menghela napas panjang, menahan gelombang emosi. “Saya, Galih Baskara, tidak terima perlakuan kalian terhadap anak saya. Sampai tetes darah terakhir, saya akan melawan. Keluarga Sigit, jangan semena-mena dengan kekuasaan kalian yang tak seberapa itu. Saya pastikan, dalam waktu tiga hari, perusahaan kalian akan hancur.”
Kata-katanya menggema, membekas dalam keheningan sejenak.
Kemudian, tanpa berkata lebih banyak, Galih berdiri. Dengan langkah mantap, ia melangkah keluar dari arena konferensi pers, diiringi para petugas keamanan.
Berjam-jam wartawan menunggu. Apa yang akan diungkapkan lebih jauh? Namun, Galih hanya berkata kurang dari semenit. Ia tak memberi jawaban, malah menabur lebih banyak pertanyaan—yang segera menyebar, menjadi api viral di jagat maya dan nyata.
...
“Brakkkk!”
Laras melempar pas bunga di mejanya hingga pecah berkeping-keping. Suara dentuman itu menggema, seakan mencerminkan kegundahan yang membara di dadanya.
Puluhan kali ia mencoba menghubungi Galih, namun panggilannya tak kunjung diangkat. Setiap detik yang berlalu membuat darahnya semakin mendidih.
“Brengsek! Berani-beraninya kau mengadakan konferensi pers tanpa persetujuanku,” gumamnya, rahangnya mengeras, matanya membara ketika menatap video yang viral di layar ponselnya.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Miranda.
“Lusa Mamah pulang. Galih sudah durhaka pada Mamah. Hajar dia!” suara Miranda terdengar kesal, penuh kemarahan atas kelakuan anaknya itu.