Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Perkumpulan Keluarga
...•••Selamat Membaca•••...
Pagi mulai menjamah langit Moskow dengan warna kelabu dan dingin yang menyusup hingga ke tulang. Cahaya matahari tak pernah benar-benar hangat di kota ini, terlebih di lantai enam rumah sakit, di mana Maula masih berbaring, dikelilingi ketenangan.
Rayden nyaris tak tidur semalaman. Ia hanya sesekali merebahkan kepala di sisi ranjang, tetap menggenggam tangan Maula seolah takut kehangatan itu akan lenyap jika ia lengah.
Jam digital di dinding menunjukkan pukul 06.13 pagi. Perawat datang untuk melakukan pemeriksaan rutin. Mereka bergerak tenang, dengan langkah ringan dan suara nyaris tak terdengar.
“Selamat pagi, Pak,” sapa suster Nina, seorang perempuan berusia empat puluhan dengan bahasa Inggris beraksen Rusia yang lembut. “Kami akan mengecek beberapa parameter. Tak perlu khawatir.”
Rayden mengangguk singkat. Matanya masih lekat pada Maula, yang kini tampak lebih segar. Warna pipinya mulai kembali, meski tubuhnya masih lemah dan suhu tangannya dingin.
Suster mengecek suhu tubuh, tekanan darah, dan refleks pupil. Kemudian, seorang dokter spesialis kandungan datang yaitu Dr. Vera Ivanovna, perempuan paruh baya dengan kacamata bulat dan sorot mata penuh ketegasan.
“Saya dokter Vera. Kami akan segera lakukan USG transabdominal untuk melihat kondisi janin,” ucapnya sambil memberi aba-aba pada asistennya yang membawa portable ultrasound.
Rayden memegang tangan Maula erat. Mata mereka bertemu.
“Kamu siap?” bisik Rayden.
Maula mengangguk pelan. “Aku harus tahu kondisi anak kita.”
Gel cold ultrasound menyentuh perut Maula, yang masih rata. Alat ditempelkan perlahan dan layar menyala dengan bayangan hitam-putih yang bergerak. Hening. Semua menahan napas.
Beberapa detik yang terasa seperti selamanya, suara beep lembut akhirnya terdengar.
Maula menutup matanya, menahan tangis. Rayden menunduk, mencium dahinya penuh syukur.
“Dia kuat… seperti kamu,” bisik Rayden.
Maula menoleh, tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Aku rasa dia dapat itu dari kita.”
Setelah pemeriksaan selesai dan ruangan kembali tenang, Rayden membantu menyeka sisa gel di perut Maula dengan tisu hangat, gerakannya lembut seperti menyentuh porselen.
“Aku nggak nyangka kalau anak ini bisa bertahan, dan kita juga tidak menyangka kalau pil hamil yang aku konsumsi tak mencegah anak ini hadir dalam rahimku.” Rayden mengusap lembut kepala Maula.
“Tuhan mempercayakan dia untuk kita.”
Maula mengangguk, lalu memejamkan mata, lelah kembali menuntut. Tapi kali ini, wajahnya damai.
...***...
Rayden bangkit perlahan, menyelimuti tubuh Maula lebih rapi, lalu membuka jendela sedikit. Udara pagi masuk, segar dan dingin, namun kini tak terasa menusuk.
Di luar, salju tipis mulai turun.
Dan di dalam ruang ICU, untuk pertama kalinya setelah semua kekacauan, ketenangan terasa nyata. Ada kehidupan yang pulih, cinta yang membeku lalu kini mencair, dan harapan baru yang berdetak lemah namun pasti di dalam rahim perempuan yang telah berjuang begitu keras untuk hidup.
...***...
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis yang terbuka setengah. Ruangan bersih dan nyaman itu kini menjadi tempat baru Maula menjalani pemulihan.
Maula terbaring dengan posisi setengah duduk, pipinya sedikit bersemu, rambutnya yang sudah disisir rapi oleh Rayden tadi, dikepang tipis ke samping. Di sisi ranjang, Rayden duduk dengan ekspresi tenang.
Terdengar suara langkah terburu-buru dari lorong. Pintu kamar dibuka dan seketika itu juga, udara berubah.
“Sayang!” suara Maureen pecah begitu melihat wajah Maula yang tersenyum kecil ke arahnya.
Maureen langsung memeluk Maula dengan hati-hati, sambil menangis terisak. Leo menyusul dari belakang, menyentuh kepala putrinya dengan lembut, lalu mengecup keningnya yang tidak tertutup perban.
“Kamu kuat sekali, sayang, kamu luar biasa,” ucap Leo sambil menahan air mata.
“Eliza!” seru Maula pelan, melihat sang nenek berdiri di belakang dengan gaun putih elegan dan selendang tipis yang selalu ia pakai.
“Eliza siapa? Nena kamu ini,” jawab Eliza, suaranya renyah dan matanya berkaca-kaca. “Tahu nggak Nena hampir mati jantung waktu tahu kamu masuk ICU? Tapi sekarang... lihat kamu! Cantik banget kayak bunga bangkit dari tanah beku!”
Mereka semua tertawa.
Marlo, si adik yang dari tadi berdiri di belakang sambil memeluk bantal rumah sakit, akhirnya berseru, “Maula! Mau tahu siapa yang semalaman nangis kayak bayi? Suamimu, Rayden!” Ia menunjuk iparnya sambil tertawa jahil.
Rayden melemparkan tatapan geli. “Kamu juga, Marlo. Aku dengar kamu bisik-bisik malam-malam di depan pintu ICU, mengajak barter nyawa.”
Marlo langsung salah tingkah. “Kan... kan... aku... emang sayang kakakku.”
Maula tertawa pelan, lalu menggenggam tangan adiknya. “Aku juga sayang kamu, Marlo. Kalau kau bersedia membuatkan aku kerupuk bayam.”
“Oke. Ralat. Aku tidak sayang kamu.” Mereka semua kembali tertawa.
Lalu, bel berbunyi dari luar ruangan. Suster membukakan pintu. Kali ini yang datang membuat semua menoleh dengan heran dan girang sekaligus.
Dua sosok flamboyan muncul di pintu yaitu Axelo dan Geera dari Las Vegas.
“Ciaooo bella!” seru Axelo sambil membuka tangan lebar, mengenakan jas abu-abu muda dengan kemeja hitam berkilau. Di sampingnya, Geera mengenakan setelan rok hijau toska dengan topi kecil yang tampak seperti siap ke acara fashion week.
“Paman!” seru Maula, wajahnya langsung bersinar.
Axelo menghampiri dan mencium punggung tangan keponakannya. “Kamu sudah membuat kami hampir beli jet pribadi dari panik kemarin! Tapi syukurlah kamu kembali. Masih ingat om favoritmu ini?”
“Om favoritku? Hmm… antara kamu dan Rayden nih yang suka adu gaya,” canda Maula.
Geera tertawa renyah, menyodorkan bunga peony putih dan boneka beruang kecil. “Sayangku, kamu harus cepat pulih ya. Karena kita harus ke Paris setelah ini. Tante punya list tempat ngopi terbaik untuk kamu kunjungi begitu kamu sembuh.”
“Paris nanti dulu, aku aja belum bisa jalan sekarang,” kata Maula sambil tertawa pelan.
“Tapi kan kamu bisa mimpiin dulu. Itu modal awal healing,” kata Geera sambil menyentuh pipi Maula.
Semua orang di ruangan tertawa lagi. Bahkan Rayden, yang biasanya diam, kini ikut tersenyum lebar sambil memandangi istri dan keluarganya. Tak ada lagi ketegangan, hanya energi penuh kasih yang mengisi udara.
Eliza menarik kursi ke sisi ranjang dan duduk. “Lusa kita masak bareng ya. Aku yang pegang sup ayam, Maureen bikin sambal tomat, dan Leo... hmm, paling cuma bantu makan.”
“Hey!” seru Leo, disambut tawa meriah.
Sementara itu, Marlo membuka kotak kecil berisi kartu-kartu gambar yang dibuatnya semalaman. “Ini buat terapi kamu, Mau. Tiap kartu punya tugas. Hari ini... kamu harus senyum minimal sepuluh kali!”
Maula mengambil kartu pertama, yang tertulis: “Tertawalah sampai sakit perut.”
Ia menatap semua yang kini mengelilinginya, menyadari bahwa dirinya tidak pernah sendiri. “Tugas pertama... selesai,” katanya, sambil tertawa bahagia.
Ruangan itu dipenuhi suara. Tawa, pelukan, candaan ringan, dan aroma harapan baru.
Di luar, matahari naik perlahan. Di dalam, hidup baru bagi Maula sedang dimulai bersama orang-orang yang mencintainya lebih dari apapun.
Leo memainkan lagu jazz lembut dari ponsel yang terhubung ke speaker kecil. Lagu klasik Nina Simone mengalun, “Feeling Good”.
“Cocok banget ini... kayak suasana di rumah Las Vegas waktu Maula umur sembilan tahun,” kata Leo, duduk santai sambil menyeduh teh melati dalam teko porselen. “Ingat nggak? Kamu ngambek karena disuruh makan brokoli.”
“Dan Paman Axelo datang menyelamatkan dengan pizza keju jam sepuluh malam,” sahut Maureen sambil tertawa.
“Of course, darling!” Axelo mengangkat cangkirnya. “Pahlawan keponakan selamanya.”
Geera duduk di sebelah Maula, sedang memoles kukunya dengan cat bening. “Kalau kamu sudah cukup kuat, aku ajarin spa kuku sendiri. Jadi cewek itu harus tetap cantik meski di rumah sakit.”
Maula tersenyum, memiringkan kepalanya ke bahu Geera. “Tante selalu tahu caranya bikin aku lupa sama trauma.”
Marlo masuk membawa nampan penuh macarons, yang katanya dibeli dari toko kue paling enak se-Moskow. “Ayo ayo, ini pesta penyambutan kembali Maula ke dunia manusia! Ada rasa hazelnut, lemon, dan... yang ini aku nggak tahu, kayak rasa parfum Tante Geera.”
“Hey!” Geera mencubit lengan Marlo, dan semua pun tertawa.
Di sisi lain ruangan, Rayden duduk di kursi malas, matanya terus menatap Maula. Tapi kali ini bukan dengan cemas, melainkan dengan kekaguman murni. Seakan dia masih tidak percaya wanita itu benar-benar hidup dan tersenyum kembali.
Rayden bangkit dan berjalan pelan ke arah jendela tempat Maula duduk. Ia berlutut di hadapannya, lalu mengusap lembut kaki istrinya yang berselimut selimut tipis.
“Kamu tahu,” bisiknya pelan, “aku masih belum tidur nyenyak. Karena setiap kali aku menutup mata, aku takut semua ini cuma mimpi.”
Maula menyentuh wajah Rayden dengan ujung jarinya, senyum kecil terbit di wajahnya.
“Kalau ini mimpi... aku nggak mau bangun juga.”
Rayden menarik selimutnya lebih erat, lalu mengecup telapak tangan Maula. “Aku janji, mulai sekarang... gak akan ada air mata dari aku kecuali air mata bahagia.”
“Deal,” bisik Maula, lalu mencium kening Rayden dengan sangat lembut.
Sementara itu, Eliza, si Nena tercinta, memotret mereka diam-diam dengan kamera analog kecil. Ia tersenyum sendiri melihat hasil fotonya.
“Ini bakal jadi kenangan seumur hidup,” ucapnya lirih, lalu berkata lebih keras, “Ayo semuanya, kumpul! Kita foto keluarga!”
Mereka semua menata diri. Leo berdiri paling belakang dengan Axelo, Maureen duduk di sisi kanan Maula, Geera di kiri, Marlo duduk bersila di lantai memeluk kaki Rayden.
Rayden merangkul Maula dari belakang, dagunya bertumpu di bahu istrinya, sementara Maula memeluk tangan suaminya dengan tenang.
Klik.
“Lihat sini!” kata Marlo tiba-tiba, “Kita bikin satu versi foto gaya bebas!”
Marlo mendongakkan kepala ke atas sambil membuat ekspresi dramatis ala bintang opera. Geera mencubit pipi Axelo, Leo dan Maureen berpegangan tangan seperti pasangan muda, Eliza memamerkan peace sign, dan Maula… hanya tertawa, tertawa sampai air matanya keluar. Tertawa dalam pelukan Rayden.
Untuk sesaat, waktu berhenti.
Di tengah trauma, bekas luka, dan penderitaan panjang, mereka masih punya satu sama lain.
Dan hari itu, di ruangan kecil yang penuh tawa dan cinta, mereka menemukan sesuatu yang lebih berharga dari kesembuhan. Yaitu harapan baru.
...•••Bersambung•••...