Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan
Dengan perasaan campur Aduk, Enzi segera mengambil kunci mobilnya dan menuju ke rumah sakit. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mencekiknya, apalagi kemacetan jalanan yang membuat emosinya semakin tak terkendali. Dia segera menghubungi Arvin dan memintanya untuk menunggunya di tepi jalan di depan apartemen nya, karena dia akan melewati apartemen Arvin.
Kemarahan Enzi telah sepenuhnya digantikan oleh penyesalan dan rasa bersalah yang besar. Dia mengemudi dengan kecepatan gila, pikiran kacau balau antara menyangkal kebenaran dan mengingat setiap kekejaman yang telah ia lakukan pada Ana.
Dia lari karena aku. Dia meninggal karena aku.
Sampai di depan Apartement Arvin, Enzi segera berhenti dan berpindah ke kursi penumpang, dia sudah tidak bisa menahannya lagi.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Zie? " tanya Arvin yang kebingungan dengan sikap Enzi yang sedikit aneh hari ini.
"Aku tidak bisa menjelaskan apapun, kita ke rumah sakit sekarang. "
Melihat keadaan Enzi saat ini, Arvin tidak banyak bicara dan hanya mengikuti intruksi dari Enzi. Walau dia sedikit banyak tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi rumah sakit, untuk apa mereka ke sana?
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat mereka langsung diarahkan ke ruang identifikasi, Enzi melihat keramaian kecil. Di sudut ruangan, dengan mata sembab dan tatapan penuh amarah, berdiri Fabian yang terlihat sangat terpukul.
Fabian yang melihat Enzi baru datang langsung menatap Enzi dengan tajam. Matanya yang merah bengkak memancarkan kebencian yang dalam pada pria itu. Dia menunggu momen ini.
Saat Enzi berjalan melewatinya, Fabian bergerak. Dengan cepat dan brutal dia memukul Enzi.
"Bajingan!"
Fabian menerjang, mencengkeram kerah kemeja Enzi yang mahal, memelintir kain itu hingga Enzi tercekik. Kekuatan cengkeramannya didorong oleh rasa duka dan amarah yang luar biasa.
"Kau yang membunuhnya! Kau yang membuatnya takut selama ini, kau yang membuatnya gila, hingga dia harus lari di tengah malam!" desis Fabian, suaranya parau, dipenuhi rasa sakit. "Kau memaksanya! Kau menghinanya! Kau menukar dia dengan sampahmu itu! Kau tidak layak menjadi suaminya! Kau monster, Enzi!"
"Apa kesalahannya padamu! " Fabian melepaskan cengkraman itu dan mendorong Enzi dengan tawa sinis, " heh, salahnya hanya satu, dia mencintai pria bajingan sepertimu. "
Fabian mengumpat dan memaki dengan kata-kata paling kotor yang pernah didengar Enzi. Beberapa staf rumah sakit dan polisi segera berusaha memisahkan mereka.
Enzi tidak melawan. Sama sekali tidak. Dia hanya berdiri kaku, menerima setiap kata-kata kotor itu sebagai kebenaran. Rasa bersalahnya begitu besar hingga dia tidak punya kekuatan untuk membela diri. Air mata Fabian adalah cerminan dari api yang kini membakar hati Enzi.
"Fabian... Aku..." Enzi mencoba berbisik, tetapi tidak ada kata yang keluar.
Fabian mendorong Enzi dengan kekuatan terakhir. "Jangan berani sebut namanya! Kau tidak pantas! Aku bersumpah, kau akan membayar semua ini! Kematiannya akan membuatmu menyesal seumur hidup. Hidupmu akan terus dibayang-bayangi dengan rasa bersalah. "
Asisten Fabian segera menenangkan atasanya itu dan membawanya pergi dari sana agar tidak membuat keributan. Setelah Fabian ditenangkan oleh staf, seorang petugas polisi menghampiri Enzi dan membawanya ke ruang jenazah.
"Mohon maaf, Pak Enzi. Korban harus segera diidentifikasi. Kondisinya tidak memungkinkan untuk identifikasi visual biasa," ujar petugas itu dengan suara prihatin.
Enzi berjalan, tubuhnya terasa berat, seolah setiap langkahnya menyeret beban seluruh alam semesta di pundaknya, Arvin yang sejak tadi menyaksikan keributan itu hanya bisa diam terpaku. Dia masih mencerna semua kejadian yang ada di harapanya. Jika dugaannya benar, apakh dia ikut andil atas semua yang terjadi ini? Udara di dalam ruangan itu terasa dingin, berbau kimia dan kematian.
Petugas itu menarik kain penutup yang menutupi jenazah di atas meja.
Enzi melihatnya, dan semua darah seolah meninggalkan tubuhnya.
Jenazah di hadapannya bukan lagi wujud seorang wanita. Itu hanyalah sisa tragis dari lalapan api, tidak berbentuk, tidak bisa dikenali. Wajah, rambut, kulit yang halus... semuanya hilang. yang tersisa hanya seonggok mayat yang hangus
"Tidak," bisik Enzi, matanya membelalak, air mata pertamanya pecah, tetapi air mata itu cepat mengering karena kengerian. "Itu bukan Ana. Itu bukan istriku. Itu tidak mungkin."
Nalurinya berteriak penolakan. Dia ingin lari, mengatakan bahwa pihak kepolisian salah. Ana istrinya yang patuh itu, tidak mungkin berakhir seperti ini.
Arvin yang juga melihat itu hanya bisa diam mematung. Tidak menyangka, nasib Ana pada akhirnya akan berakhir seperti. Padahal dia baru saja ingin bebas dari belenggu suaminya. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Arvin, tubuhnya ikut membeku dalam perasaan bersalah yang dalam.
Petugas itu, yang terbiasa dengan reaksi seperti ini, berbicara perlahan. "Kami mengerti, Pak Enzi. Tapi semua bukti mengarah pada Nyonya Ana. Mobilnya, plat nomornya, dan tinggi badannya sesuai. kami juga menemukan ini, tas yang sepertinya di lempar keluar, agar siapapun yang menemukannya bisa mengidentifikasi dirinya jika terjadi sesuatu. "
Petugas itu menunjuk ke pergelangan tangan jenazah. Meskipun sebagian besar telah rusak, masih terlihat sebuah jam tangan dan juga sebuah tas kecil yang berisi dompet dan ponsel Ana yang sedikit terbakar.
"Ini," kata petugas itu. "Apakah semua ini milik istri Anda? karena saat kami menghubungi Anda tadi, kami menggunkan ponsel ini. "
Enzi mendekat, menahan mual. Melihat semua yang di tunjukkan oleh petugas, dari jam tangan, ponsel dan juga dompet yang berisi kartu Identitas Ana
Tangannya gemetar saat mengambil kartu identitas itu.Disana masih jelas tertulis nama Anasera walau sedikit hangus di ujung kartu itu. Rasa bersalah menghantamnya seperti gelombang Tsunami. Semua janji yang ia langgar, semua kata kasar yang ia ucapkan, semua rasa sakit yang ia sebabkan semuanya kini menjadi penyesalan yang tidak bisa di perbaiki lagi
Dia telah berjanji untuk menjaganya. Dia telah bersumpah untuk mencintainya. Dan apa yang sudah dia lakukan, dia menyakitinya, dia menekannya,dia menghianatinya dan kini dia telah membunuhnya.
Enzi jatuh berlutut di lantai yang dingin, pandangannya terkunci pada sisa-sisa tragis yang dulunya adalah istrinya.
"Ana..." erangnya, membiarkan rasa sakit dan penyesalan yang tak terlukiskan merenggut kesadarannya. "Maafkan aku... kumohon, maafkan aku."
Di mata Enzi, semua sudah berakhir. Dia tidak hanya kehilangan Ana, dia telah kehilangan jiwanya, membawanya ke dalam kehancuran dengan tangannya sendiri. Tidak ada keraguan lagi. Mayat di hadapannya adalah jasad istrinya yang sudah tak berbentuk dan sangat mengerikan, semua karena keangkuhan dan keegoisannya. Ana telah pergi meninggalkannya selamanya dengan sebuah penyesalan dan kesalahan yang tidak bisa dia perbaiki.
"Maafkan aku, Ana. Maafkan aku, ku mohon kembalilah, jangan tinggalkan aku. "
Biar Enzi hidup dalam penyesalan nya.
😁🤣
dobel up thor sekali" tak tiap hari jg🤭🥰🥰 thank you thor 🙏🥰