Galih adalah seorang lelaki Penghibur yang menjadi simpanan para Tante-tante kaya. Dia tidak pernah percaya Cinta hingga akhir dia bertemu Lauren yang perlahan mulai membangkitkan gairah cinta dalam hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAAB 32
Malam itu, kamar Galih terasa begitu sunyi. Lampu meja menyala redup, menyoroti wajahnya yang muram dan mata yang tampak lelah karena terlalu banyak berpikir. Ia duduk di pinggir tempat tidurnya, menatap kosong ke arah lantai.
Suara Tante Liana terus berputar di kepalanya.
"Tante akan bilang kalau ayahnya sudah meninggal dunia."
Kalimat itu bagai pisau yang terus menggores hatinya.
Di tangan Galih masih tergenggam ponselnya, layar masih menyala dengan pesan terakhir dari Tante Liana. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, Galih menghela napas berat. Kepalanya pusing serasa mau pecah.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk pelan. Alex masuk dengan membawa dua kaleng soda, lalu duduk di kursi putar dekat meja belajar.
“Lo belum tidur juga?” tanya Alex sambil menyerahkan satu kaleng soda ke Galih.
Galih hanya menggeleng pelan.
“Masih mikirin Tante Liana?”
“Bukan tapi anak yang ada di perutnya,” jawab Galih singkat.
Alex menghela napas panjang, membuka kalengnya.
“Bro, ini bukan sepenuhnya salah lo. Lo dijebak. Malam itu dia yang kasih lo minuman, dia yang buat lo nggak sadar. Dan kalo pun Lo ga mau tanggung jawab, Lo bukan orang jahat.”
Galih menatap kaleng soda itu tanpa membukanya.
“Tapi anak itu… tetap darah daging gue, Lex. Gue tahu dia nggak bohong soal itu. Gue bisa ngerasain semuanya dari sorot matanya.”
Alex terdiam. Ia tahu Galih sedang berada dalam dilema yang sangat dalam.
“Tapi lo juga nggak bisa hancurin hidup lo, Lih, Lo masih muda. Lo punya masa depan. Lo masih harus selesaiin kuliah Lo yang tinggal bentar lagi. Lo mau lepasin semua itu hanya demi kesalahan yang ngga Lo perbuat. Inget Lih, Ngga gampang Lo sampai dititik ini. Pesen gue jangan ancurin semua ini demi hal yang ga jelas kaya gini."
Galih menunduk. Ia tahu semua yang dikatakan Alex masuk akal. Tapi ada bagian dalam dirinya yang tak bisa mengabaikan kenyataan: bahwa di dalam rahim Tante Liana sekarang… ada seorang anak. Anaknya.
“Gue nggak tahu harus gimana, Lex…” ucap Galih lirih.
“Gue bener-bener nggak tahu.”
Hening kembali memenuhi kamar itu. Alex hanya menatap sahabatnya dengan prihatin.
“Semua keputusan ada ditangan Lo, Lih. Tapi inget, Apapun yang lo pilih, bro… pastiin itu keputusan yang nggak bakal lo sesali nanti.”
Galih mengangguk perlahan. Tapi batinnya tetap berkecamuk. Di dalam hatinya, perang besar tengah berlangsung. Antara rasa bersalah, ketakutan, dan tanggung jawab.
Dan malam itu, Galih duduk di kamarnya sampai matahari mulai terbit… masih mencari jawaban yang belum kunjung datang.
Pagi itu, sinar matahari menembus celah gorden kamar Galih. Suara alarm dari ponselnya membangunkannya. Dengan mata yang masih berat, Galih meraih ponsel itu dan melihat layar yang menyala:
"Hari ini: Jadwal jenguk dan bayar perawatan Ayah"
Galih menatap layar itu cukup lama. Biasanya, hari-hari seperti ini dia jalani dengan penuh semangat—satu-satunya waktu di mana dia bisa merasa menjadi "anak" yang benar. Tapi hari ini... pikirannya tidak tenang. Terlalu banyak hal yang mengganggu, terutama kabar dari Tante Liana.
Setelah bersiap, Galih meluncur menuju Rumah Sakit Jiwa Mentari. Di sana, udara terasa lebih sunyi dari biasanya. Perawat menyambut Galih dengan ramah, dan mengarahkan ke taman belakang—tempat ayahnya biasanya duduk di pagi hari.
Dari kejauhan, Galih melihat sosok ayahnya yang kurus, duduk di bangku taman dengan kepala sedikit menunduk. Di tangannya ada buku gambar dan pensil warna. Galih melangkah pelan menghampiri.
Saat ia duduk di sampingnya, Galih mencoba tersenyum meski hatinya berantakan.
“Pagi, Yah…”
Ayahnya tidak menjawab. Hanya terus menggambar sambil sesekali tertawa kecil sendiri. Galih menoleh ke gambar itu.
Kertas itu penuh dengan coretan, seperti gambar anak kecil. Tapi ada sesuatu yang jelas tergambar di sana. Tiga orang berdiri berdampingan, bergandengan tangan. Seorang pria, seorang wanita, dan seorang anak lelaki. Di atasnya, dengan tulisan goyah, tertulis: "Keluarga bahagia."
Galih tak kuasa menahan air matanya. Tangisnya pecah.
Ayahnya mungkin tak lagi mengenal siapa dia dengan pasti. Tapi melalui gambar itu, Galih tahu: ayahnya masih menyimpan mimpi tentang keluarga yang utuh. Tentang kebahagiaan sederhana yang tidak pernah mereka miliki.
Dan saat itu juga, seperti ada yang mengetuk keras hatinya. Galih memejamkan mata. Dalam benaknya terbayang anak yang sedang dikandung Tante Liana—anak yang bisa saja tumbuh tanpa tahu siapa ayahnya. Anak yang bisa saja merasakan luka yang sama seperti dirinya dulu.
“Aku nggak mau ada anak lain yang merasakan apa yang aku rasakan,” bisik Galih pada dirinya sendiri.
Ia menggenggam tangan ayahnya dengan erat.
“Yah… aku akan coba jadi laki-laki yang bertanggung jawab. Seperti harapan Ayah. Aku janji akan jadi orang yang bisa ayah banggakan”
Hari itu, Galih mengambil keputusan besar. Dia akan mengakui anak itu. Bukan karena terpaksa. Tapi karena dia tak ingin mengulang siklus luka yang sama. Karena dia ingin—untuk pertama kalinya dalam hidup—menjadi seseorang yang bisa melindungi orang lain, bukan hanya melindungi dirinya sendiri.