Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rooftop
Saat pintu lift terbuka di lantai paling atas, hembusan angin malam langsung menyambut mereka. Max melangkah lebih dulu ke rooftop, dan Laura mengikutinya. Begitu ia menjejakkan kaki di sana, matanya membelalak.
Pemandangan kota terhampar luas di hadapannya, gemerlap lampu-lampu membentuk lautan cahaya yang tampak hidup di bawah langit malam yang cerah. Angin bertiup lembut, membelai wajahnya, dan langit penuh bintang terasa begitu dekat—seolah jika ia menjulurkan tangan, ia bisa meraihnya.
“Wow…” desis Laura nyaris tak terdengar. “Rasanya… langit bisa kugapai dari sini.”
Max tersenyum di sampingnya, menikmati ekspresi takjub Laura lebih dari apa pun.
Rooftop itu tidak kosong. Di sudut yang paling strategis, menghadap langsung ke hamparan kota, telah disiapkan dua kursi elegan dengan meja kecil di antara mereka. Di atas meja itu, beberapa lilin menyala perlahan, cahayanya berkelip lembut tertiup angin, menciptakan atmosfer yang hangat dan romantis.
Laura terdiam cukup lama, matanya menyapu pemandangan lalu beralih pada meja yang tertata indah itu. Ia lalu menatap Max, tak tahu harus berkata apa.
“Max… ini…”
Max menoleh padanya, senyum penuh arti terbit di wajahnya. “Sederhana, tapi aku harap cukup membuatmu merasa istimewa malam ini.”
Laura mengangguk pelan, suaranya seperti tercekat oleh perasaan yang bahkan belum sempat ia beri nama.
Suara lembut gesekan biola mulai mengalun di udara malam, mengiringi gemerlap lampu kota yang seolah ikut berdansa di kejauhan. Seorang pemain musik berdiri tak jauh dari mereka, memainkan melodi romantis yang mengalun pelan—membungkus rooftop dalam suasana magis.
Max menoleh pada Laura, lalu tanpa banyak kata, ia berdiri dan mengulurkan tangan padanya. Senyum menggoda tergambar di wajahnya.
“Come,” katanya pelan, hanya satu kata, nyaris berbisik—tapi cara dia mengatakannya membuat jantung Laura berdebar tak karuan.
Laura mengedipkan mata, gugup. “Aku tidak bisa dansa, Max.”
Max tak menurunkan tangannya. Tatapannya tak berpaling, tetap terkunci pada wajah Laura.
“Tak perlu bisa,” ujarnya, suara dalamnya seperti alunan musik itu sendiri. “Kamu cuma perlu ikut aku.”
Laura menatap tangannya, lalu ke wajah Max yang kini tersenyum kecil—penuh keyakinan dan kelembutan, seolah berkata dia tak akan membiarkannya jatuh.
“Percaya padaku,” bisiknya.
Dan entah karena suara itu, atau karena cara Max melihatnya, Laura akhirnya meletakkan tangannya di telapak Max. Hangat. Kokoh.
Max menariknya perlahan ke tengah rooftop, mendekapnya dengan satu tangan di pinggang dan satu lagi menggenggam tangannya.
“Cukup rasakan,” gumam Max di dekat telinganya, mengarahkan langkah mereka mengikuti irama.
Malam itu, Laura berdansa. Bukan karena dia bisa, tapi karena Max membuatnya merasa seolah dia lahir untuk itu.
Langkah kaki Laura ragu, kadang terlambat, kadang terlalu cepat. Setiap kali Max menggerakkan tubuhnya dengan lembut, Laura berusaha mengikuti, namun tetap saja…
“Astaga, maaf, aku menginjak kakimu lagi!” seru Laura sambil menahan tawa kecil, wajahnya bersemu.
Max hanya tertawa pelan, santai, seolah itu tak masalah. “Kamu terlalu tegang,” bisiknya, “relax, Lau.”
“Aku bukan penari,” keluh Laura dengan nada geli.
“Kamu juga bukan penyanyi, tapi kamu bersenandung tadi waktu kita di mobil.” Max mengedipkan sebelah matanya. “Dan kupikir itu menyenangkan.”
Laura terkikik, lalu tiba-tiba menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Max…” ujarnya pelan, “kamu pernah mengajak klien kamu yang lain ke sini?”
Max mengerutkan kening, lalu mengangkat bahunya dengan tenang. “Tidak pernah,” jawabnya jujur. “Ini… baru pertama kali.”
Mata Laura terangkat menatapnya lagi. “Kenapa aku?”
Max tak langsung menjawab. Ia menarik Laura lebih dekat dan berkata, “Entahlah… Mungkin karena kamu membuat segalanya terasa berbeda.”
Hening sejenak, hanya musik dan detak jantung mereka yang terdengar. Hingga Laura kembali bersuara, mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan pertanyaan random.
“Kamu suka apa, Max? Maksudku… selain makanan penutup dan membuat orang terkesan.”
Max tertawa pelan. “Aku suka malam. Suka kopi hitam tanpa gula. Dan… aku suka saat seseorang menatapku seperti kamu menatapku sekarang.”
Laura langsung mengalihkan pandangan, wajahnya memanas. “Kamu selalu tahu caranya membuat orang gugup."
“Bagian dari pekerjaanku,” Max tersenyum menggoda. “Bagaimana denganmu. Apa yang kamu suka, Lau?”
Laura tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku suka aroma kayu bakar. Suka pelukan yang diam-diam. Suka diam yang nyaman. Dan…” ia menatap Max, “aku suka saat seseorang benar-benar mendengarkan.”
"Lalu, apa lagi?"
Laura menunduk, kemudian menjawab dengan suara yang lebih lirih, “Aku ingin punya tempat sendiri. Rumah kecil di dekat danau… menanam bunga, menulis buku, atau mendesain sesuatu. Bukan hal besar, tapi cukup untuk membuatku merasa… utuh.”
Max menggenggam tangannya lebih erat. “Itu bukan hal kecil, Lau. Itu luar biasa.”
Laura hanya tersenyum.
Max menatap Laura, matanya lebih dalam daripada sebelumnya, mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Apakah semua keinginanmu sudah tercapai, Lau?" Max bertanya pelan, suaranya menggantung di udara malam yang sejuk.
Laura tak tahu harus menjawab apa. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia mengangkat wajahnya kembali, dan berkata dengan nada getir, “Karena tidak tercapai, makanya aku menginginkannya.” Suaranya sedikit serak, seperti ada beban yang berat menggantung di hatinya.
“Ironis, bukan?” lanjutnya dengan nada lebih rendah. “Aku punya suami, tapi aku dan Nick tidak pernah duduk, berbincang ringan seperti ini... dia terlalu sibuk dengan beban berat yang ia pikul karena ulahku.” Laura terdiam sejenak, seolah kata-kata itu terlalu sulit untuk diungkapkan. Rasa bersalah melanda hatinya seperti badai yang datang tiba-tiba.
Ia mengendurkan pelukannya, berusaha melepaskan diri dari Max, tetapi Max menahannya dengan lembut, membuatnya tetap berada dalam pelukan itu, melanjutkan langkah dansa mereka.
Max menatapnya dengan tajam, tidak melepaskan cengkeraman lembut di punggungnya. “Apakah suamimu pernah mengajakmu berdansa?” tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang tulus.
Laura menggelengkan kepala, “Selain sibuk, dia juga anti pelukan. Aku memakluminya. Kami tidak punya waktu untuk itu.”
Max mengerutkan kening, matanya fokus pada Laura dengan tatapan penuh perhatian. “Hmm...” Dia mengangguk pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. “Suamimu… dia terlihat seperti pria yang tahu caranya bersenang-senang, atau setidaknya, itu yang aku lihat saat kita bertemu di jamuan makan malam,” gumam Max, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Laura.
Laura merasa sekejap kerutan di keningnya, kebingungannya terlihat jelas. “Nick memang tampak seperti itu, tapi kenyataannya…” Ia menghela napas dalam-dalam, mencari kata-kata yang tepat. “Dia hanya berpura-pura.” Laura membela suaminya, dan ia semakin merasa bersalah. Ia sudah mengkhianati Nick dengan bersenang-senang bersama pria lain.
Max memperhatikan reaksi Laura, masih menggenggamnya dengan hati-hati. "Apakah kamu pernah mencoba untuk meminta lebih, Lau? Untuk sesuatu yang lebih... dari sekadar rutinitas?”
***
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?