Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Pesawat telah mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Thalita dan Nathan duduk berdampingan, masih terdiam dalam hening yang menggantung di antara mereka. Sesaat sebelum berdiri, Thalita menoleh dan berbisik lembut di telinga Nathan.
“Kita sudah harus berpisah di sini, sayang.”
Nathan menggenggam tangan Thalita lebih erat, lalu mengangguk pelan sambil tersenyum. “Iya, aku tahu. Di sini kamu harus kembali jadi tunangan Shaka seperti biasanya. Jangan beri celah sedikitpun untuk dicurigai.”
Thalita menarik napas panjang. “Orang tuaku masih di luar negeri. Aku bakal kembali ke apartemen dulu. Aku baru akan pulang ke rumah kalau mereka sudah kembali ke Jakarta.”
Nathan hanya menjawab dengan anggukan singkat, menyembunyikan kegelisahan dalam dirinya. Mereka lalu berdiri, mengambil barang bawaan masing-masing, dan mulai berjalan menuju pintu keluar pesawat. Tak ada pelukan, tak ada kata perpisahan dramatis—hanya tatapan yang menyimpan janji dan rahasia. Kini mereka kembali ke dunia nyata, ke peran yang harus dimainkan dengan hati-hati.
Di depan bandara, mobil Shaka baru saja berhenti. Ia turun dan langsung berjalan ke area kedatangan internasional. Pandangannya menyapu sekeliling, mencari sosok yang ia tunggu. Tak lama kemudian, ia melihat Thalita muncul dari pintu kedatangan, mendorong koper kecil berwarna silver.
Begitu mata Thalita menangkap sosok Shaka di antara barisan penjemput, wajahnya langsung berbinar. Ia berlari kecil, lalu memeluk Shaka erat tanpa banyak bicara. Pelukannya seperti ingin meyakinkan Shaka bahwa tak ada yang berubah selama ia pergi.
Namun, dalam pelukan itu, mata Shaka menatap ke arah lain—tak sengaja ia melihat seorang pria muda berjalan santai, menarik koper besar di tangannya. Pria itu melirik ke arah mereka sekilas, lalu kembali berjalan tanpa menoleh lagi.
Shaka memandangnya sejenak. Wajahnya terasa asing. Ia tak mengenal pria itu, jadi tak merasa perlu menyapa. Fokusnya kembali pada Thalita yang masih berada dalam pelukannya, seolah tak ingin melepaskan.
Shaka baru menyadari—pria yang tadi melintas, yang kini berjalan menjauh dengan koper di tangannya, adalah pria yang sama saat ia mengantar kepergian Thalita ke Paris beberapa minggu lalu. Wajah itu tak asing, hanya saja waktu itu Shaka tidak terlalu memperhatikannya.
Dahinya mengernyit samar, matanya mengikuti langkah pria itu hingga menghilang di balik keramaian bandara. Pelukan Thalita masih erat di tubuhnya, namun pikiran Shaka perlahan terpecah.
"Siapa dia sebenarnya?" batin Shaka dalam diam. Namun ekspresinya tetap tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Ia pun menoleh pada Thalita dan tersenyum singkat, mengajak gadis itu berjalan menuju mobil sambil menarik koper milik Thalita.
Shaka mengantarkan Thalita hingga ke apartemennya. Setelah membantunya membawa koper masuk, ia memandangi sejenak ruangan yang sudah lama tak ia kunjungi. Semuanya tampak rapi, seperti tak banyak yang berubah.
Thalita tersenyum sambil melepas jaketnya. “Terima kasih, Shaka. Aku butuh istirahat sebentar sebelum mulai beres-beres.”
Shaka mengangguk ringan. “Iya, kamu istirahat saja. Aku juga harus kembali ke kantor, masih banyak laporan yang harus dicek.”
Thalita mendesah pelan, lalu tersenyum manja sambil memeluk leher Shaka dari belakang.
“Kau terlalu sibuk dengan pekerjaan, Shaka. Apa kamu nggak kangen sama aku?” bisiknya manja di telinga Shaka.
Shaka menoleh sedikit, menatap wajah Thalita yang begitu dekat. Ia tersenyum tipis, tangannya menyentuh lembut pipi wanita itu.
“Aku kangen, sayang,” jawabnya tenang. “Tapi kamu baru sampai, kamu butuh istirahat.”
Thalita mencibir manja. “Kamu selalu punya alasan.”
Shaka tertawa kecil, lalu mencium kening Thalita. “Kalau aku tetap di sini, kamu malah nggak bisa tidur. Besok kita bisa ketemu lagi. Sekarang tidur yang cukup, ya?”
Thalita akhirnya mengangguk, meski masih terlihat enggan. Ia melepas pelukan perlahan dan mengantar Shaka ke pintu dengan langkah pelan.
Shaka melangkah masuk ke dalam lift, tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana sementara pikirannya masih berputar tentang pekerjaan yang menumpuk. Tapi, wajah Thalita yang manja tadi sempat membuat pikirannya melayang—ada sesuatu yang tidak biasa.
Begitu lift sampai di lantai dasar dan pintu mulai terbuka, langkah Shaka terhenti seketika. Pandangannya langsung menangkap sosok pria tinggi dengan koper di tangannya. Pria itu tampak santai berjalan sambil menatap layar ponselnya.
Shaka mengenali wajah itu. Wajah yang ia lihat beberapa jam lalu di bandara. Pria yang keluar dari gerbang kedatangan internasional bersama Thalita—dan sekarang, pria yang sama muncul di apartemen Thalita?
Alis Shaka langsung berkerut. Ia melangkah keluar lift dengan langkah mantap, berdiri tegak di tengah lorong, menatap pria itu penuh selidik.
Nathan juga melihat ke arah Shaka, lalu tersenyum tipis. “Kita ketemu lagi, ya?”
Shaka tidak langsung membalas. Pandangannya menelisik tajam, seolah ingin menembus pikiran lawannya.
“Kamu tinggal di sini?” tanya Shaka akhirnya, suaranya datar tapi menyimpan tekanan.
“Iya,” jawab Nathan santai. “Baru pindah, Kenapa?”
Shaka menyipitkan mata. “Kebetulan sekali. Kamu juga kebetulan satu pesawat dengan tunanganku. Sekarang juga tinggal di apartemen yang sama.”
Nathan terkekeh ringan. “Paris itu kota romantis, bung. Banyak kebetulan yang terjadi di sana. Jangan cepat curiga, nanti kamu capek sendiri.”
Nada suara Nathan yang tenang tapi menyindir membuat dada Shaka menghangat. Ia menahan emosinya, tapi tatapannya semakin tajam.
“Aku nggak suka kejutan yang terlalu sering,” ucap Shaka dingin. “Terutama dari orang yang aku nggak kenal tapi terlalu sering muncul di sekitar orang yang penting buatku.”
Nathan hanya mengangkat bahu. “Mungkin dunia ini sempit.”
Shaka mendekat setengah langkah. “Kalau kamu macam-macam sama Thalita, aku nggak akan tinggal diam.”
Nathan balas menatap tanpa gentar. “Kalau kamu cukup percaya sama dia, harusnya kamu nggak ngomong kayak gitu.”
Seketika ketegangan memenuhi lorong apartemen itu. Dua pria berdiri saling menatap seperti dua ksatria yang siap bertarung, meski dengan senjata berbeda: Shaka dengan kuasa dan pengaruhnya, Nathan dengan ketenangan yang mencurigakan.
“Semoga kamu betah disini,” ucap Shaka akhirnya sebelum melangkah pergi. Tapi pikirannya tak lagi tenang. Rasa curiga kini membakar dadanya, dan ia tahu... ini bukan kebetulan biasa.
Sesampainya di kantor, Shaka melangkah masuk dengan langkah tegap. Sekretaris setianya, Gio—pria muda berkacamata dengan sikap profesional—segera berdiri dari balik meja dan mengikuti dari belakang sambil membawa beberapa dokumen penting.
“Laporan dari tim hukum sudah saya siapkan, Tuan,” ucap Gio sambil menyerahkan map tebal berwarna hitam. “Dan ada pesan dari Dika, ia bilang ingin melapor langsung soal pergerakan Hendra pagi ini.”
Shaka mengambil map itu tanpa berkata banyak, lalu melangkah masuk ke ruang kerjanya. “Panggil dia. Suruh masuk sekarang.”
“Segera, Tuan,” jawab Gio cepat. Ia membalik badan dan langsung menghubungi Dika melalui interkom.
Beberapa menit kemudian, Dika masuk. Sementara itu, Gio berdiri di luar ruangan, siaga di balik meja seperti biasa—tenang, tajam, dan loyal.
Di dalam, Shaka membuka map dan melempar pandangan tajam ke arah Dika. “Hendra mulai mendekati investor kita di luar negeri. Kalau ini dibiarkan, dia akan pikir kita lemah.”
“Langkah pertama apa, Tuan?” tanya Dika tegas.
Shaka menyipitkan mata. “Guncangkan fondasi dia. Mulai dari partner lokalnya. Dan pastikan semua orang tahu siapa yang mereka hadapi.”
Dari balik pintu kaca, Gio bisa melihat aura dingin dan penuh kuasa dari sang atasan. Ia tahu, ketika Shaka sudah menggerakkan catur perangnya, tidak akan ada jalan mundur.
Shaka menutup map hitam di mejanya, lalu menatap pintu kaca dengan ekspresi tak terbaca. Ia menekan tombol interkom.
“Gio, masuk.”
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka dan Gio melangkah masuk dengan rapi. Tubuh tegaknya berdiri di hadapan Shaka sambil menanti perintah.
“Ada yang harus kamu selidiki,” ujar Shaka dingin, menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitamnya.
Gio mengangguk, “Perintah, Tuan?”
Shaka menatapnya lurus. “Seorang pengusaha muda. Nathan. Aku tidak tahu banyak tentang dia, tapi dia muncul dua kali di saat yang tidak seharusnya. Waktu Thalita berangkat, dan waktu dia pulang dari Paris.”
Gio mulai mencatat cepat di buku kecilnya.
“Aku ingin semua informasi tentang dia. Siapa dia sebenarnya, apa latar belakang keluarganya, apa bisnisnya, siapa rekan bisnisnya, dan—” Shaka menghentikan ucapannya sejenak, matanya menyipit, “—apa hubungannya dengan Thalita.”
Gio mengangguk lagi, kali ini dengan lebih dalam. “Akan saya urus, Tuan. Saya akan pastikan laporan lengkap sudah ada di meja Anda sebelum sore.”
“Bagus,” ucap Shaka singkat. “Dan satu lagi... lakukan ini diam-diam. Jangan sampai Thalita atau orang lain mencium apa pun.”
“Dimengerti, Tuan.”
Gio pun segera keluar dari ruangan, langkahnya cepat dan mantap. Ia tahu, kalau Shaka sudah turun tangan langsung seperti ini, maka situasi sudah lebih dari sekadar kecurigaan biasa.
Dan bagi Gio, menjalankan tugas seperti ini bukan sekadar loyalitas—itu kehormatan.
Begitu pintu tertutup setelah Gio dan Dika keluar, ruangan itu kembali sunyi. Hanya dentingan jam dinding dan hembusan pelan dari pendingin ruangan yang menemani kesunyian.
Shaka bersandar di kursinya, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Ada banyak hal berputar di kepalanya — Thalita, Nathan, dan entah mengapa… Maura.
Pikirannya melayang ke mata Maura yang selalu tampak jujur, wajah lelah gadis itu saat pagi meninggalkan apartemennya, dan bagaimana Maura menahan sakit, tapi tetap tak mengeluh.
Entah dorongan dari mana, ia segera meraih ponselnya, mencari nama yang sudah disimpan,Maura.
Ditekan tombol panggil.
Bunyi nada sambung terdengar di telinganya. Sekali… dua kali… Shaka menghela nafas, seolah sedang menimbang apa yang sebenarnya ingin ia katakan.
Akhirnya, suara di seberang menjawab.
“Halo?” suara Maura terdengar lembut, agak ragu.
Shaka diam sejenak. Lalu berkata, “Kamu lagi di mana?”
“Aku di rumah, bersama Oma hari ini libur kuliah , kenapa?” tanya Maura pelan.
Shaka menatap ke luar jendela kantornya. “Nggak apa-apa. Aku cuma... pengen denger suara kamu.”
Terdengar hening sejenak di seberang. Lalu Maura menjawab, suaranya lembut, “Aku juga mikirin kamu.”
Shaka mengusap pelipisnya, senyum tipis muncul meski wajahnya masih serius. “Istirahat yang cukup ya. Nanti aku kesana malam ini.”
Maura tak menjawab langsung. Lalu, “Oke. Aku tunggu.”
Panggilan berakhir, tapi suara Maura masih terngiang di telinga Shaka. Untuk pertama kalinya hari itu, ia menatap layar laptop dengan pandangan yang sedikit lebih tenang.
Tapi hatinya tahu—permainan belum selesai. Dan Nathan bukan sekadar gangguan biasa. Dan juga kedatangan Thalita akan mengurangi waktu nya bersama maura .