NovelToon NovelToon
Pernikahan Status

Pernikahan Status

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Juwita Simangunsong

Enam bulan pernikahan yang terlihat bahagia ternyata tak menjamin kebahagiaan itu abadi. Anya merasa sudah memenangkan hati Adipati sepenuhnya, namun satu kiriman video menghancurkan semua kepercayaannya. Tanpa memberi ruang penjelasan, Anya memilih pergi... menghilang dari dunia Adipati, membawa serta rahasia besar dalam kandungannya.

Lima tahun berlalu. Anya kini hidup sebagai single mom di desa kecil, membesarkan putranya dan menjalankan usaha kue sederhana. Namun takdir membawanya kembali ke kota, menghadapi masa lalu yang belum selesai. Dalam sebuah acara penghargaan bergengsi, dia kembali bertemu Adipati—pria yang masih menyimpan luka dan tanya.

Adipati tak pernah menikah lagi, dan pertemuan itu membuatnya yakin: Anya adalah bagian dari hidup yang ingin ia perjuangkan kembali. Namun Anya tak ingin kembali terjebak dalam luka lama, apalagi jika Adipati masih menyimpan rahasia yang belum terjawab.

Akankah cinta mereka menemukan jalannya kembali? Atau justru masa lalu kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juwita Simangunsong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Bram tertawa pelan, menanggapi candaan lelaki muda di hadapannya. Cangkir kopi yang sudah hampir habis ia putar-putar di atas tatakan. Namun, tawa itu tiba-tiba meredup saat matanya sekilas menangkap siluet mobil hitam yang berhenti tak jauh dari kafe.

Siluet seseorang di balik kaca.

Dahi Bram mengernyit. Sekilas sangat sekilas ia merasa mengenal tatapan itu. Tatapan tajam, penuh kemarahan yang ditahan. Tatapan yang dulu sering ia lihat, saat seseorang itu masih berdiri di sisinya, sebelum semuanya berubah.

“Adipati?” gumam Bram, nyaris tak terdengar.

“Kenapa? Lo kenal dia?” tanya si lelaki muda di depannya, menoleh ke arah yang sama.

Bram menggeleng cepat, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Bukan. Mungkin cuma mirip,” ujarnya santai, meski tangannya refleks meremas ujung celana panjangnya sendiri. Matanya tak lagi melihat ke arah mobil yang kini telah perlahan melaju menjauh. Ia mencoba membuang rasa tak nyaman di dada.

Tapi jauh di lubuk hati, Bram tahu...

Mata itu terlalu familiar untuk hanya sekadar ‘mirip'.

***

Aku masih duduk di sofa, memeluk bantal kecil dengan tangan yang dingin. Bayangan punggung Adipati saat pergi tanpa suara tadi terus berputar di pikiranku. Kenapa dia pergi begitu saja?

Andre berdiri tak jauh dari jendela, mengamati langit malam yang tak seberapa cerah.

“Aku rasa dia kesal,” kata Andre tiba-tiba, suaranya tenang tapi terdengar cemas.

Aku mengerutkan kening. “Kesal karena apa?”

Andre menoleh padaku. “Mungkin... karena kita ketawa tadi. Dia bisa aja mikir kita lagi ngetawain dia.”

Aku menghela napas pelan. Ya Tuhan. Padahal bukan itu maksudnya. Aku hanya butuh sedikit tawa untuk menahan tangis yang hampir tumpah.

Andre berjalan mendekat dan duduk di sampingku. Aku bisa merasakan sorot matanya mengamati aku dengan seksama sebelum akhirnya bertanya, “Anya... lo beneran nggak mau kasih tahu Alvino kalau Adipati itu... papanya?”

Pertanyaan itu seperti duri yang menusuk dada. Aku memeluk bantal lebih erat, mencoba menahan getar di suaraku.

“Belum, Dre... Aku belum siap. Vino juga belum.”

“Tapi lo nggak takut? Kalau suatu hari dia tahu dari orang lain, bukan dari lo?”

Aku menunduk. “Makanya aku jaga banget semua ini. Aku pengen, saat waktunya tepat, aku sendiri yang cerita. Bukan karena keburu ketahuan... bukan karena terpaksa.”

Andre diam sejenak. Lalu dengan lembut menggenggam tanganku. “Gue ngerti, Nya. Gue cuma... takut semuanya makin rumit. Vino udah makin gede. Dia bukan anak kecil lagi.”

“Justru itu, Dre,” aku menatap mata sahabatku itu. “Semakin besar, dia semakin banyak mikir. Dan Vino tuh anaknya gampang kecewa. Aku tahu banget dia. Sekali ngerasa dibohongi, dia bisa nutup diri... dan aku nggak mau itu terjadi.”

Andre mengangguk pelan, lalu tersenyum simpul. “Oke. Gue ikut apa kata lo. Selama lo yakin, gue di sini buat jagain lo dan Vino.”

Aku tersenyum tipis. “Makasih, Dre. Lo satu-satunya orang yang selalu ngerti gue, bahkan saat gue sendiri nggak ngerti perasaan gue.”

Andre tiba-tiba berdiri, merentangkan tangan dengan gaya dramatis. “Tenang. Selama lo nggak nyuruh gue nyamar jadi Adipati, gue masih kuat.”

Aku nggak bisa nahan tawa kecil. “Lo? Nyamar jadi Adipati? Dingin aja lo gagal, apalagi kalau disuruh pasang wajah tajam penuh luka.”

“Hey! Gue juga bisa keliatan misterius, oke? Liat nih, ekspresi tanpa emosi. Dingin kayak kulkas!”

Tawaku pecah. Meskipun hati masih nyeri, Andre selalu punya cara untuk bikin aku merasa nggak sendirian.

“Ayo deh, gue buatin teh manis. Siapa tahu bisa nelan sedikit rasa pahit malam ini,” katanya sambil berjalan ke dapur.

Dan aku... hanya bisa tersenyum. Dalam diam, aku tahu luka ini belum sembuh. Tapi bersama Andre, setidaknya aku nggak harus berdarah-darah sendirian.

***

Pagi itu langit tampak cerah, tapi hati Adipati tetap diselimuti mendung yang tak terlihat. Seperti biasa, pria tampan itu duduk di meja makan sambil menyantap sarapan yang disiapkan oleh para staf rumah tangganya. Kali ini dia memilih untuk pulang kerumah yang dulu dia tempati bersama Anya. Jasnya sudah rapi melekat di tubuh, dasi hitam elegan melingkar di lehernya. Namun, sejak beberapa menit lalu, ia tak benar-benar menyentuh makanannya. Tangannya hanya memegang ponsel, dan matanya terpaku pada satu foto.

Foto itu diambilnya semalam saat bermain ayunan dirumah Anya.

Ia dan seorang anak laki-laki kecil duduk di atas ayunan. Bocah itu tertawa, matanya bersinar cerah. Dan Adipati untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir tampak benar-benar hidup dalam senyumnya.

Senyum yang pagi ini muncul kembali, pelan, namun sarat makna.

Wati, asisten rumah tangga yang sedang membereskan meja, memperhatikan gerak-gerik majikannya. Ia memiringkan kepala sedikit, bingung.

“Pak... maaf, saya lihat Bapak senyum-senyum dari tadi. Lagi lihat apa, ya?” tanya Wati polos tanpa ragu.

Adipati mengangkat pandangannya sebentar, lalu memiringkan ponselnya, menunjukkan layar itu pada Wati.

“Ini foto Alvino dan saya.” jawabnya pelan. “Alvino adalah anak saya. Semalam kami main di taman rumah mertua saya, dia minta naik ayunan.”

Wati terpaku. Ia mencoba menyerap ucapan majikannya, tapi tetap saja tak percaya. “Maaf, Pak... Bapak bilang... anak? Selama ini saya nggak pernah lihat ada anak di rumah ini.”

Seketika, ekspresi Adipati berubah. Senyum itu lenyap. Matanya menjadi dingin. Rahangnya mengeras.

“Ya, tentu saja kamu tidak pernah lihat,” ucapnya datar namun tegas. “Karena dia memang tidak tinggal di sini.”

Wati langsung bungkam. Kata-kata itu menyimpan luka yang jelas terdengar, meski disampaikan dengan suara rendah. Ia merasa bersalah, tapi belum sempat berkata apa pun, suara dari arah dapur menyusul.

“Wati,” tegur Arthur, sang juru masak. Pria paruh baya itu menoleh sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Kalau tidak diminta bicara, jangan asal tanya. Ada hal-hal yang bukan urusan kita.”

“Maaf, Pak... Saya nggak bermaksud lancang,” gumam Wati pelan, menunduk dalam.

Adipati tidak menanggapi lagi. Ia hanya memandangi kembali layar ponselnya. Wajah Alvino di foto itu senyumnya, matanya yang berbinar seakan hidup kembali di hadapannya.

Dalam diam, ia menghembuskan napas panjang. Rindu yang tak bisa ia sampaikan, cinta yang hanya bisa ia simpan.

“Kamu anak Papa sayang... tapi dunia seperti memisahkan kita. Maafkan Papa ya Al.”

***

Ketika Adipati tengah menikmati sarapan paginya tiba-tiba ponselnya berdering. Suara lembut dari nada dering klasik miliknya mengisi keheningan ruang makan yang luas dan sepi.

Ia melirik layar, lalu menatapnya sebentar. Nama Mami terpampang di sana.

Adipati menghela napas, meletakkan garpu di samping piring, dan menjawab panggilan itu sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi makan.

Mami di ujung telepon, suara lembut tapi terdengar sedikit cemas "Nak, kamu kenapa belum juga pulang ke rumah utama? Sarapan sendirian terus, Mami jadi khawatir."

Adipati suara dingin, tatapannya kosong menatap jendela "Untuk apa pulang, Mi? Kalau cuma buat dibohongi terus."

Hening menyergap. Di seberang sana, Mami tampak menahan napasnya, mencoba meredam emosi yang perlahan menyeruak.

Mami berusaha menjelaskan, lirih "Mami nggak ada maksud apa-apa, Nak. Mami cuma pengen semuanya tenang. Nggak ada yang Mami sengaja tutupi."

Adipati menatap tajam ke arah kursi kosong di seberang meja "Ya sudah, Mi. Sekarang biarkan aku yang urus semuanya sendiri. Aku nggak mau terus-terusan dibatasi. Ini keluarga aku. Dan aku akan dapatkan hak aku sebagai Papa-nya Alvino."

Mami terdiam. Napasnya terdengar berat, dan saat akhirnya bicara lagi, suaranya nyaris tak terdengar. Mami dengan pasrah berkata "Kalau itu yang terbaik buat kamu... Mami cuma bisa mendukung. Tapi hati-hati, Nak. Jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri di tengah semuanya."

Adipati mengakhiri telepon tanpa berkata apa-apa lagi. Ia letakkan ponselnya di atas meja, menatap kembali sarapannya yang kini tak lagi terasa menggugah selera.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!