Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH DUA
Hening menyelimuti ruang tunggu. Kini Caca duduk bersebelahan dengan Alfin. Matanya menatap kosong ke ujung lorong. Alfin yang dengan setia menemani Caca, dan Felin sebagai sahabatnya.
Alfin tak ingin sejengkal pun meninggalkan rumah sakit, ia tak tega melihat dua wanita yang dia sayangi itu merasa sendiri.
Ditengah keheningan, Caca melontarkan pertanyaan pada Alfin, yang Caca pikir dia mengetahui banyak hal tentang Felin dan Faza.
"Katakan, Pak... Apa yang sebenarnya terjadi dengan Kak Felin? Bukankah kemarin hubungan mereka baik-baik saja? Aku sempat lihat di Instagram, Pak Faza bahkan membukakan udang untuknya," tanya Caca dengan suara terdengar bergetar.Mungkin dia menahan rasa sakit yang tak lagi dapat ditahan.
Caca menatap Alfin yang sedang menghela napas berat. Dia akhirnya membuka suara, meskipun tampak ragu.
"Ceritanya terlalu rumit, Ca. Ini bukan sepenuhnya salah Faza, tapi keadaan yang memaksanya. Faza sekarang bukan lagi pria lajang. Dia sudah menikah. Aku tahu dia sangat mencintai Felin, tapi aku juga kenal Faza. Dia pria yang bertanggung jawab, dia tidak akan pernah mengabaikan tanggung jawabnya,dan tentu dia memilih istrinya ketimbang Felin. Karena istrinya adalah tanggung jawabnya.Walau berat, aku yakin dia tidak punya pilihan lain."
Caca terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Karena tanggung jawab...?" Kata-kata Pak dosennya itu, kini berputar di benaknya. Tapi kata-kata Pak Alfin tak berhenti sampai di situ.
"Mungkin karena rasa frustrasi dan rasa kecewa karena patah hati itu lah, Felin kehilangan kendali atas dirinya. Aku tahu luka seperti itu berat, tapi aku tidak pernah menyangka semuanya akan sampai ke tahap ini... Kecelakaan itu...hingga membuat Felin sekarang koma," lanjut Alfin, suaranya meredam di akhir kalimat. Perasaan sesak langsung menyelimuti dada Caca.
"Jadi, Pak Faza memilihku hanya karena rasa tanggung jawabnya saja..? Kenapa...? Apa alasannya hanya itu...? Bukankah dia mencintai Kak Felin? Tapi kenapa dia melepaskannya dan malah mempertahankan pernikahannya denganku?" Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Caca, rasanya tak ada jawaban yang masuk akal.
Kinu rasa bersalah itu mulai menghantam hati Caca, mencengkeram kuat seperti duri yang tajam.Caca merasa menjadi wanita paling kejam—saudara kandung yang tanpa sadar menghancurkan hati saudaranya sendiri.
Caca mencoba memalingkan wajah dari tatapan Alfin yang tampak ingin memahami apa yang tengah bergejolak dalam dirinya. Melihat perubahan pada wajah Caca,Alfin mulai hawatir.
"Ada apa, Ca?" tanyanya, dengan mata menyipit penuh rasa ingin tahu. Caca menggeleng. Tidak ada gunanya Caca mengungkapkannya pada Alfin—lukanya terlalu dalam dan rasa malu telah menyakiti kakak sendiri terlalu menghimpit dadanya.
Namun, sebuah kekhawatiran mendesak di dalam hati Caca, memaksanya mengajukan pertanyaan lain.
"Dimana Pak Faza sekarang? Apa Pak Alfin tahu?" tanya Caca, suara penuh keraguan. Alfin hanya menggeleng dengan ekspresi ragu, lalu menjelaskan.
"Saya tidak tahu, tapi dia terlihat pergi dengan tergesa-gesa, seperti tengah mengejar sesuatu." Kata-katanya mengiris pikirannya, memunculkan bayangan yang Caca harap tidak benar.
Caca terdiam. Tiba-tiba, tanpa kendali, air mata mengalir begitu saja dari sudut matanya. Rasanya, kenyataan ini terlalu berat untuk dia hadapi, terlalu menyakitkan. Entah bagaimana, hidupnya seolah menjadi serpihan kaca yang berserakan, melukai dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
"Kak Felin...maafkan Caca..." gumamnya pelan, seolah ingin menahan air mata yang jatuh berserakan di matanya. Caca membayangkan senyum manja Felin yang dulu, kini tergantikan dengan tubuh lemah yang terbaring di ranjang rumah sakit. Apakah semua ini benar-benar harus terjadi padanya? kenapa cinta harus sekejam itu?
"Pak Alfin,menurut Pak Alfin,jika posisi Pak Alfin berada pada istri Pak Faza, mengetahui jika pasangan bapak mencintai orang lain, jalan apa yang Pak Alfin ambil?"
Alfin menyipit sejenak, menatap Caca sekilas,
"tergantung," ujarnya dengan suara yang berat, seolah setiap kata yang keluar membawa bobot yang tidak terlihat.
"Jika pernikahan itu didasari rasa cinta, dalam artian saling mencintai dan membutuhkan satu sama lain, maka egoisnya saya sebagai istri akan tetap mempertahankan pernikahan tersebut." Jeda sejenak, ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan.
"Tapi jika hanya mencintai sepihak, mungkin saya akan berpikir ulang untuk bertahan dan saya akan memilih melepaskan," ucap Alfin seketika, menunjukkan emosi yang natural di wajahnya. Suaranya tenang namun tajam, seperti pisau yang langsung menyentuh jantung Caca.
"Kamu harus tahu Ca, laki-laki bisa pura-pura mencintai. Mereka bisa mendekati banyak wanita, bahkan bisa meniduri wanita mana saja, tapi di dalam hatinya tetap hanya ada satu wanita,"
Ucapan Pak Alfin seketika menampar wajah Caca. Dengan serat Caca menelan ludah, dadanya terasa sesak. Kata-katanya terus menggema.
"Jadi jangan mudah tertipu dengan sikap manis seorang pria," lanjutnya. "Jika kamu tahu dia tidak benar-benar mencintaimu, jelas tujuannya hanya nafsu. Bukan cinta."
Wajah Caca memucat, seketika itu pula, Caca memikirkan hubungannya dengan Faza.
"Nafsu, bukan cinta." Ucapan itu seperti sebuah mantra gelap yang terus berputar di kepala Caca. Benarkah demikian? Apa semua hal manis yang pernah Caca terima selama ini hanyalah ilusi belaka? Caca tampaknya mulai merasa kehilangan pijakan, seolah dunia tempatnya berdiri sedang bergeser pelan-pelan.
Apa selama ini Caca yang terlalu naif, terlalu berharap? Ucapan Pak Dosennya itu, seakan sedang merobek keyakinannya yang selama ini dia genggam erat, memaksanya untuk melihat sesuatu yang begitu pedih dan nyata.
Caca terperangkap dalam badai dilema yang memuncak, seakan ingin menelanjangi semua kekuatan hidup dari raganya yang rapuh. Mengembara di lautan kehancuran, dia hanya ingin meleleh dan menghilang tak bersisa dari bumi.
Matanya memanas tetapi tak satu pun tetes air mata yang mampu jatuh untuk meluapkan kesedihan terdalamnya. Pada puncak keputusasaan, bagaikan gelap menyapa terang, Faza hadir seakan-akan membawa guntur yang mendadak membelah langit.
Dia menghampiri Caca dan matanya seolah berbicara lewat kilatan sepatu yang mengkilap di wajah Caca yang menunduk lesu. Perlahan, dengan segala kekuatan yang tersisa, Caca mengangkat wajahnya, memandang pria yang tanpa ampun telah menghancurkan segala benteng pertahanannya.
"Pak Faza..." lirihnya.
Tanpa tedeng aling-aling, Faza langsung melancarkan serangan pertanyaan yang mampu membuat jantung Caca berhenti berdetak.
"Katakan, apa Felin itu kakakmu?" tanyanya dengan nada yang menusuk ke inti jiwa. Caca, dalam ketakutan dan kekakuan, hanya mampu mengangguk, suaranya tersekat di tenggorokan.
"Ya,dia kakakku..." bisiknya yang terasa seolah tergores langsung ke jantungnya. Faza, menghela nafas berat, rasanya bagai ditelanjangi rasa sakit atas realitas pahit yang tak pernah ia bayangkan, bahwa dirinya kini terperosok ke dalam labirin.
"Apa sebenarnya maksudmu menyembunyikan semua ini dariku?" Kata-kata Faza mengalir lembut, namun setiap suku kata yang terlontar terasa menohok, penuh dengan kegetiran dan kekecewaan yang tidak bisa disembunyikan.
Caca terpaku di tempatnya, bibirnya terkunci tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Namun lagi-lagi Faza melintarkan pernyataan yang menyakitkan.
"Apa kamu memang sengaja merencanakan ini semua,dari awal...? Bodohnya Aku, mempercayaimu, Caca!" Suara Faza rendah, serat dengan kehancuran.
Kalimatnya tak lagi bertanya lebih tepatnya menuduh dengan nada penuh amarah yang terpendam. Tangannya gemetar, mencoba meraih jawaban dari kehampaan.
Di tengah lorong rumah sakit yang sunyi itu, Caca hanya bisa membalas dengan senyuman getir. Matanya yang sayu menatap Faza dengan kekosongan, serasa membawa ribuan kata namun tak satu pun mampu terucap. Tanpa menjelaskan apa pun, dia berbalik dan berlari sekuat tenaga.
Langkah kakinya bergema, meninggalkan Faza dalam kebimbangan dan luka yang mendalam. Caca terus berlari, menembus lorong demi lorong, berusaha melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan. Hatinya terasa terkoyak, dan ia tahu, tak ada kata yang bisa memperbaiki kehancuran yang telah terjadi.
Dia hanya ingin menjauh, menjauh dari segala yang bisa membangkitkan rasa sakit itu.
Caca berhenti di tepi pantai yang sunyi, teriakan penuh penyesalannya menggema, membelah kesunyian malam.
"Ini semua salahku... Aku yang menghancurkan semuanya, aku yang egois!" Terduduk lemah di atas batuan, tangannya memeluk lutut, Caca terus menyalahkan dirinya sendiri membiarkan menjilat jemari kakinya yang putih.
Dengan senyum yang sarat akan penderitaan, dia meratap, "Tuhan, aku rela jika Engkau mengambil nyawaku... Aku bukan lagi Caca yang dulu—yang sabar dan rela mengorbankan segalanya demi orang-orang yang kucintai. Sekarang, aku seperti iblis yang telah menyakiti hati mereka... mereka yang sangat berharga dalam hidupku." Mendadak, Caca bangkit dari duduknya, berjalan gontai mendekati air yang membisik.
Langkahnya perlahan mengarah ke dalam laut,berjalan terus berjalan,hingga air dingin memeluk tubuhnya yang kian larut dalam kesedihan, dia terus berjalan sampai laut membawa semua laranya tenggelam.
♥️♥️♥️♥️♥️
Atas apapun alasan itu!!!