Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
“Anjing gila? Mengapa dia mengejar Lembu?” Nirma tidak jadi mengambil gelas teh di atas meja. Ia menatap betis kiri Santo yang menggunakan gips.
Byakta yang duduk di kursi kayu beralaskan anyaman rotan, menatap lucu ekspresi bingung Nirma. “Namanya juga Anjing gila, Buk. Mana ada yang bisa menerka tindakannya. Sama halnya macam orang kehilangan akal sehat, seringkali melakukan hal diluar akal manusia normal.”
“Iya juga sih.” Nirma mengangguk-angguk.
“Sepertinya itu Anjing milik orang kaya, dari warna bulu terlihat begitu terawat. Namun, saya bingung menebak jenis kelaminnya Jantan apa betina, soalnya dia menggunakan ikat kepala macam bando berwarna merah menyala, tapi dari posturnya macam Jantan.” Santo terlihat seperti sedang berpikir keras.
“Bisa jadi yang punya sama gilanya macam hewan peliharaannya. Sudah tahu bila itu Anjing tak waras, mengapa di lepas. Mana tampilannya macam biduan lagi,” Ayek yang sedari tadi duduk di lantai semen bersama para temannya, ikut menyeletuk.
“Saya masih ingat betul, sebelum jatuh pingsan setelah terlempar dalam parit penuh tumpukan kayu, Anjing itu malah duduk di bahu jalan sambil menjulurkan lidahnya, macam orang mengejek. Bila suatu saat nanti bertemu dengannya, saya pastikan akan membuat perhitungan!” Santo terlihat menahan emosi, rahangnya mengetat.
“Harus itu! Pemiliknya pun wajib dihukum juga! Perbuatannya sudah merugikan orang lain!” kelakar juragan Byakta, rautnya terlihat biasa saja.
Nirma dan lainnya mengangguk setuju.
Kamal dan Intan kembali hendak baku hantam. Sampai trio cebol kewalahan menjaga mereka.
“Intan yang canteknya macam anak Angsa, tak boleh galak-galak. Nanti, Kamal enggan berteman denganmu. Ayo kembalikan mainan pedangnya.” Ayek mencoba menarik mainan pedang berwarna hijau milik Kamal yang direbut oleh Intan.
“MOH!” Intan menoleh ke arah pria tua baik hati. “Ek Tua!”
“Iya, Nak.” Belum juga dirinya beranjak, jeritan sang putra sudah menggelegar.
“YAH!” Kamal tidak terima, dia merangkak menuju ayahnya.
Tuk.
Intan memukul kepala teman barunya menggunakan pedang.
“Dahlah, capek kali aku menjaga mereka. Belum jua remaja langsung tua yang ada.” Rizal pergi menjauh.
“Pakai ini Dek, biar jadi lawan seimbang kalian!” Danang memberikan Kamal kayu kecil panjang.
“Astaghfirullah.” Nirma geleng-geleng kepala, dalam benaknya memikirkan hari-hari dimana bila ia telah menjadi tetangga Meutia.
“Yah!”
“Ek Tua!”
Kamal dan Intan dibiarkan duduk di lantai, mereka saling serang, satu menggunakan kayu, satunya lagi memukul dengan pedang.
“Dulu kecilnya kita macam tu tak ya?” Rizal berjongkok seraya menyanggah pipi menggunakan tangan, menonton pertunjukkan.
“Tak lah. Begitu Mamak kita beranak, langsung wujud kita sebesar ini!” Ayek menggembungkan pipi, netranya menatap perang yang sedang terjadi.
“Paok kali kau! Dah mau kelas 6 SD pun tak pintar-pintar. Selama Bu guru menerangkan perihal berkembang biak ala manusia, apa yang kau tangkap rupanya?” Danang memukul lengan Ayek.
Belum sempat Ayek menjawab, suara Wak Sarmi terdengar nyaring.
“Masya Allah, ternyata ada cucu nenek berkunjung!” Wanita berpakaian baju kurung serta bawahan celana itu bergegas menurunkan cangkul dan keranjang yang ia gendong belakang.
Kamal berhenti menyerang Intan, secepat yang ia bisa merangkak mendekati mantan pengasuhnya.
Wak Sarmi langsung membawa Kamal dalam dekapan, mencium bertubi-tubi kepala bayi berbaju kodok warna biru. “Ya Allah, Nak. Nenek rindu sangat!”
Nirma mendekati Wak Sarmi, merangkul pundaknya. “Kami pun rindu dengan Nenek.”
“Sudah lama datang, Nir?” Sebelah tangannya menerima salam dari trio cebol, lalu ia mengangguk sopan pada juragan Byakta.
“Belum lama, Wak.” Nirma kembali duduk, ia menarik tangan Wak Sarmi agar bergabung dengannya.
“Yah!” Kamal kembali marah dengan raut memerah, saat dilihatnya Intan sudah duduk dalam pangkuan ayahnya sambil mengunyah roti kering.
“Belum juga setahun, tapi telah mengerti arti cemburu. Tahu betul bila miliknya adalah haknya, tak boleh diganggu!” Wak Sarmi menggelengkan kepala, yang disambut tawa lainnya.
“Kami pun nyaris menyerah, Wak. Sedari tadi mereka adu tenaga,” ujar Nirma.
Obrolan hangat pun mengalir, Nirma, Wak Sarmi dan Kamal saling melepas rindu.
Sampai dimana juragan Byakta memberitahukan kabar bahagia yang membuat Wak Sarmi terpekik terkejut.
“Betulkah itu? Kalian sungguh akan menikah?” tanyanya, menggoyang lengan Nirma.
“Insya Allah. Wawak dan bang Santo serta Kak Ida datang ya?” pinta Nirma penuh harap.
“Pasti kami datang, tak bisa pun wajib diusahakan hadir!” Wak Sarmi begitu antusias, netra tuanya berbinar hangat.
“Alhamdulillah, akhirnya Kamal betulan memiliki orang tua lengkap yang akan terus berada disisinya selama 24 jam.” Buliran bening itu meluncur membasahi pipi. Wak Sarmi mengulurkan tangan mengusap kepala Kamal yang duduk dipangkuan ayahnya, bayi tampan itu benar-benar tidak mau kalah dari Intan.
Tidak lama setelahnya, Nirma dan lainnya pamit pulang dikarenakan hari sudah mulai memasuki waktu maghrib.
Rombongan itu naik mobil yang dikemudikan oleh Ron.
.
.
Malam hari di kediaman Mak Syam.
Teratak untuk acara aqiqah si kembar sudah terpasang di halaman rumah, kursi plastik pun berbaris rapi, para anak kecil termasuk Kamal bermain di bawah cahaya lampu terang.
Nirma sendiri sibuk mengunyah makanan yang dimasak khusus oleh ibu dan sang kakak. Ibunya Kamal itu benar-benar dijamu bak putri raja. Tidak boleh membantu pekerjaan rumah dan lainnya. Cukup duduk tenang dengan beberapa piring kudapan ada dihadapannya.
Malam ini juragan Byakta dan Ron tidur di rumah Agam Siddiq, seberang jalan hunian Mak Syam.
Selain keluarga inti belum ada yang mengetahui rencana pernikahan kedua putri bungsu Mak Syam, bahkan Meutia pun belum diberi tahu. Semua orang sibuk dengan pernak-pernik persiapan aqiqah Zeeshan dan Zain.
.
.
Esok hari.
Para warga telah duduk di kursi masing-masing, salam pembuka di haturkan pak kaum yang memang sudah biasa memimpin acara Tasyakuran. Setelahnya pembaca ayat suci Al-Qur'an, kemudian sambutan dari Agam Siddiq.
Tiba dimana pencukuran rambut si kembar. Keluarga inti mulai berdiri. Nirma yang sedari tadi duduk di bagian belakang, tertutup oleh Dhien dan Meutia, kini maju ke depan sambil menggendong samping Kamal.
Langsung saja sosoknya mencuri perhatian dan jadi buah bibir, kasak kusuk berdengung nyaring layaknya kepakan sayap Nyamuk.
“Dasar tak tahu malu. Muka tembok betul wanita perebut tunangan kakak kandungnya itu!” cibir wanita berselendang hijau.
“Kalau aku jadi Kak Mala, takkan sudi bertatap muka dengan adik durhaka macam si Nirma!” sahut ibu-ibu bermake-up tebal.
“Mampus kan sekarang dia kenak karma! Lihat itu anaknya sumbing! Puas betul ku tengok cara Semesta menghukum wanita hina itu!” hina calon ibu muda yang tengah mengandung.
Bohong bila Nirma tidak mendengar hujatan itu, ia hanya berpura-pura tuli saja. Namun, lama kelamaan pertahanan dirinya runtuh sudah.
“Dek kita main di belakang saja ya, Nak!” bisiknya tepat ditelinga sang putra seraya melangkah mundur kebelakang, masuk kedalam rumah.
Nirma keluar dari pintu belakang rumah, berjalan ke barisan pohon pinang, lalu menurunkan Kamal dari gendongan.
“Ya Allah ….” Bibirnya bergetar hebat, tubuhnya luruh, sekuat tenaga menahan laju air mata.
Sementara di tempat acara yang masih berlangsung.
Dhien turun dari panggung teras, mendekati manusia bermulut pedas tadi. “Sesuci apa kalian jadi manusia? Sampai tega mencaci maki bayi tak berdosa. Orang macam kalian ini pantasnya dipendam, daripada hidup pun tak ada gunanya, cuma bikin semak saja!”
Ketiga sosok penghujat tadi saling menatap satu sama lain, getar samar menjalar dari ujung kaki sampai kepala.
“Apa perlu saya seret Giren dan Anggun kesini, Juragan?”
.
.
Bersambung.