NovelToon NovelToon
Always Gonna Be You

Always Gonna Be You

Status: tamat
Genre:Romantis / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:4.2M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

Season 2


Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.

Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.

Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31. Tears In Heaven

Rakai

Minggu, Jam 20.25

Begitu keluar dari lift ia langsung mendapati keluarga Anggi tengah duduk berkumpul di ruang tunggu lantai tiga. Ada Mamah dan juga Adit. Ia pun langsung mendekat.

"Tante," sapanya sambil mengangsurkan tangan untuk menyalami mertua Rendra itu.

"Oh, nak Rakai, kapan datang?" Mamah menepuk-nepuk bahunya pelan.

"Baru Tan," ia pun beralih menyapa Adit. "Masih libur Dit?"

"Masih, Bang."

"Om kemana?"

"Lha iya ini dari hari Jum'at ada perjalanan dinas ke Morowali sampai minggu depan," Mamah yang menjawab. "Untung Adit masih di rumah, jadi bisa ngantar. Kalau enggak ya paling baru besok pagi kesininya."

Ia pun mengangguk-angguk lalu beralih ke arah Adit, "Bawa sendiri Dit? Lancar di jalan?"

"Iya. Alhamdulillah lancar Bang.".

"Rendra belum keluar?" tanyanya lagi.

"Belum. Masih di ruang operasi," Mamah yang menjawab sambil menghela napas. "Biasanya rata-rata satu jam udah keluar, ini sampai tiga jam belum ada tanda-tanda."

Terlihat Adit langsung merangkul Mamah sambil berusaha menenangkan, "Bentar lagi."

Kalimat Adit menjadi kenyataan ketika tak lama kemudian dua pintu ruang operasi yang terbuat dari kaca es terbuka disusul kemunculan Rendra yang melangkah keluar.

"Gimana?" Mamah bertanya dengan penuh harap.

"Alhamdulillah udah lahir Mah."

"Alhamdulillah," Mamah spontan memeluk Rendra. "Selamat Ren....selamat....," diikuti Adit yang menepuk-nepuk punggung Rendra.

"Sekarang dimana? Belum boleh keluar?" Mamah kembali bertanya dengan penuh suka cita.

"Anggi masih observasi pasca operasi di ruang pemulihan," Rendra melihat jam di pergelangan tangan kanan. "Kalau kata dokter tadi sekitar tiga puluh menitan lagi bisa pindah ke ruang perawatan."

"Alhamdulillah," Mamah kembali mengucap syukur. "Bayinya?"

"Dua-duanya laki-laki," jawab Rendra sambil tersenyum. "Tapi masih di ruang resusitasi karena salah satu terdeteksi detak jantungnya lemah," kemudian menelan ludah. "Karena sempat terlilit tali pusar sampai tiga lilitan."

"Yang penting semua sehat selamat, ibu sama bayinya," Mamah menepuk-nepuk lengan Rendra. "Sekarang kita tinggal kuat-kuatan berdoa."

Rendra mengangguk, kemudian mendudukkan diri di salah satu kursi yang ada. Membuatnya langsung menghampiri dan menepuk punggungnya keras, "Jadi bapak juga lu!"

Rendra hanya terkekeh pelan.

Tak lama kemudian seorang petugas berpakaian hijau keluar dari pintu ruang operasi untuk berkata, "Tuan Darmastawa, istrinya sudah bisa pindah ke ruang perawatan."

***

Anggi

Jam 21.05

Sekilas dari sudut mata ia menangkap bayangan di jam tangan Rendra yang kini tengah meremas tangan kanannya, 21.05.

Mendadak ingatannya melayang di waktu yang sama hampir 24 jam lalu, saat ia dan Mba Suko sedang menonton siaran televisi di ruang tengah menunggu kepulangan Rendra. Saat itu ia menonton sambil mengelus-elus perutnya yang besar. Namun kali ini -tangannya sambil memegang perut- tak lagi besar, telah mengempis. Tak ada lagi beban berat dan tendangan kecil yang membuat perutnya bergerak-gerak sendiri. Meninggalkan satu ruang kosong di sudut hatinya.

"Bang, kenapa bayi-bayi kita belum diantar kesini?" ia pun tiba-tiba merasa amat rindu dengan dua bayi mungil berkulit merah berselaput lapisan putih tebal yang tadi sempat ditempelkan di kedua pipinya sesaat setelah melahirkan. Tanpa sadar matanya mulai memanas.

"Sebentar lagi," Mamah yang berdiri di sisi lain tempat tidur tersenyum menenangkan.

"Iya, tunggu sebentar, nanti juga diantar," Rendra mengaminkan kalimat Mamah sambil mengusap rambutnya perlahan.

"Abang nggak salah ambil fasilitas kan? Aku minta yang room in biar bayi-bayi tidur disini sama kita," jauh-jauh hari ia sudah berpesan pada Rendra tentang fasilitas room in yang diinginkannya saat melahirkan.

"Iya, ini room in kok," Rendra tersenyum sambil menatapnya lembut. "Mami Arung dan Rimba yang cantik," kemudian tanpa ragu mencium dirinya di depan Mamah.

"Arung? Rimba?" ia mengernyit heran karena sejak awal kehamilan mereka berdua memang tak pernah ingin mengetahui jenis kelamin si kembar, sekaligus belum mempersiapkan nama. Rencananya mereka baru akan memilih nama-nama bermakna indah setelah acara 7 bulanan, namun keburu Rendra sibuk keluar kota dan ia malah melahirkan lebih awal.

"You like it?" Rendra merangkum pipi kanannya menggunakan telapak tangan yang lebar dan hangat, lalu mengusap lembut melalui ujung jempol. "Nama jagoan-jagoan kita."

Ia tersenyum mengangguk.

Kemudian Rendra berkata, "Arung Samudera."

"Kelana Rimba," lanjut Rendra lagi. "Nama dua anak laki-laki kita."

***

Rakai

Jam 21.30

Ia tengah duduk berdua dengan Adit di sofa, mencoba melewati malam sambil bermain ponsel. Sementara Mamah sudah tertidur di bed penunggu, dan Rendra tengah memeluk Anggi yang berbaring di atas tempat tidur sambil menggigil kedinginan sampai suara gemeletuk giginya terdengar hingga sofa tempat mereka duduk. Tadi perawat bilang akibat dari efek obat bius yang mulai menghilang.

Ia masih memandangi layar ponsel ketika seorang perawat memasuki ruangan dan memanggil nama Rendra, "Tuan Darmastawa, silahkan ikut saya sebentar."

Setengah jam kemudian Rendra kembali dengan wajah murung.

"Kenapa?" tanyanya ingin tahu.

"Barusan disuruh ke NICU, sign tindakan medis karena pas baru lahir APGAR Rimba cuma empat, dan nggak ada peningkatan sampai sekarang....."

Ia tak mengerti apa itu APGAR, namun kilatan awan gelap yang menyelimuti wajah Rendra, membuat hatinya tercekat. Ekspresi wajah yang hanya pernah dilihatnya sekali seumur hidup, yaitu saat Tante Pingkan meninggal.

"Kayaknya malam ini gua perlu...."

Ia buru-buru memotong kalimat Rendra, "I'm here." Sambil menepuk bahu Adit yang duduk tak jauh darinya, "Ya nggak Dit? Ada kita berdua."

Adit mengangguk, "Iya Bang. Jangan ragu kalau ada perlu. Aku disini kan emang buat disuruh-suruh," seloroh Adit jelas sekali sedang mencoba mengurai ketegangan di wajah Rendra.

Namun Rendra tak tertawa, hanya mengangguk pelan sambil menepuk bahu Adit, "Selama aku bolak balik, titip Anggi Dit. Tolong jagain."

Dan kalimat penuh penekanan Rendra menjadi titik awal dimulainya malam yang sangat panjang. Karena hampir setengah jam sekali Rendra harus bolak-balik dari lantai enam tempat Anggi dirawat menuju ke lantai tiga dimana ruang NICU berada.

Ketika ia mulai terkantuk-kantuk di atas sofa, sementara Adit tertidur di sebelah Anggi, seorang perawat membangunkannya, "Pak Rakai?"

Membuatnya terperanjat sambil mengucek mata.

"Pak Rakai dalam keadaan sehat?" tanya perawat tersebut cepat. "Tidak sedang flu atau batuk?"

Ia mengangguk dengan mata mengantuk, "Sehat Sus. Kenapa?"

"Baik, saya cek suhu dulu. Permisi," kemudian perawat mengarahkan termometer digital ke dahinya.

"36 derajat. Sekarang tolong ikut saya."

Dengan langkah berat dan terasa mengambang karena masih mengantuk, ia pun mengikuti perawat menuju ke lantai tiga. Lalu masuk ke sebuah pintu kaca tebal bertuliskan ruang NICU.

"Silahkan alas kakinya dilepas dan cuci tangan dulu," ujar perawat sambil menunjuk sandal khusus berwarna putih dengan cap logo dan nama rumah sakit, serta tempat dimana wastafel berada, lengkap dengan pengering.

"Bisa juga pakai cairan antiseptik," sambil menunjuk botol transparan berukuran besar berisi cairan bening yang menempel di salah satu sisi dinding di dekat pintu masuk.

Ia memilih mencuci tangan di wastafel, sekalian mencuci muka untuk mengusir rasa kantuk. Setelah selesai, kemudian perawat mengangsurkan plastik berisi pakaian warna hijau persis seperti yang biasa dipakai oleh para dokter bedah di ruang operasi.

"Tolong dipakai, lengkap dengan masker dan penutup kepala."

Ia menurut. Dengan cepat dipakainya pakaian tersebut.

"Mari," perawat itu berjalan mendahuluinya.

Mereka melewati ruangan besar yang terbuka. Kemudian melalui lorong yang kanan kirinya berdinding kaca, dimana di dalamnya terdapat deretan tabung kaca transparan yang berisi bayi-bayi lucu bertelanjang dada, hanya memakai popok, dilengkapi dengan kacamata khusus yang menutupi kedua mata bayi, sedang disinari oleh cahaya berwarna kebiruan.

Pemandangan yang sempat membuat langkahnya terhenti hanya untuk memperhatikan deretan bayi mon tok yang terlihat seolah-olah sedang berjemur di tepian pantai, lengkap dengan kacamata hitam.

"Bayi-bayi itu kenapa Sus?" tanyanya penasaran penuh rasa ingin tahu.

Perawat menghentikan langkahnya sebentar untuk melihat apa yang sedang ditunjuk oleh tangannya. Untuk kemudian berkata, "Oh, itu sedang di fototerapi Pak, proses penyinaran untuk menurunkan kadar bilirubin dalam tubuh bayi."

Ia hanya ber oh panjang sambil terus memperhatikan bayi-bayi tersebut. Sejurus kemudian barulah perawat masuk ke salah satu pintu kaca yang terletak di posisi paling tengah.

"Silahkan, Pak Rendra di sebelah sana," perawat menunjuk seorang yang tengah duduk di salah satu sudut ruangan, memunggungi arah pintu masuk.

Dengan perasaan bingung mencoba menerka-nerka apa yang sedang terjadi, ia pun melangkah masuk. Dan kedatangannya langsung disambut oleh suara mesin dan peralatan medis yang berbunyi secara teratur. Suasana khas ruang intensive care yang selalu bisa membuat bulu kuduknya meremang.

Ia berdiri dengan bingung di belakang Rendra yang tengah duduk menghadap sebuah box transparan, dengan seorang dokter yang terlihat baru saja selesai melakukan pemeriksaan, sekaligus dua orang perawat yang mulai bergerak melepaskan satu per satu selang, kabel, alat pemindai, dan peralatan yang menempel di tubuh bayi mungil tersebut.

"Ren?" ia mengernyit masih tak mengerti. Namun tolehan wajah Rendra yang memerah penuh dengan linangan air mata telah menjelaskan segalanya.

Innalilahi wa inna ilaihi raji'un.

Hari ini, Senin, tepat pukul 02.20, 8 jam setelah dilahirkan, putra pertama Rendra yang bernama Kelana Rimba, telah mendahului mereka semua menghadap sang haribaan pencipta. Karena mengalami infeksi dan RDS (respiratory distress syndrome) atau sindrom pernapasan akut karena paru-paru belum berkembang secara sempurna akibat dari kelahiran prematur.

Rendra masih duduk terlolong dengan tatapan mata kosong ketika dokter menepuk-nepuk bahunya, sementara para perawat bergerak cekatan merapihkan kabel, selang, dan peralatan, kemudian mengangkat tubuh bayi mungil tersebut untuk dipindahkan. Ketika tiba-tiba Rendra berkata dengan suara lemah hampir tak terdengar, "Biar saya gendong sebentar Sus."

Suster mengangguk mengerti dan menyerahkan bayi mungil yang telah tertutup matanya itu ke lengan Rendra.

Dan pemandangan selanjutnya tak dapat ia saksikan lebih lama. Karena kini matanya pun mulai memanas dipenuhi kaca. Cukup sudah tangannya yang menepuk-nepuk bahu Rendra merasakan getaran sedih penuh emosional seorang ayah baru yang harus kehilangan salah satu bayinya.

Usai Subuh, Rendra memutuskan untuk membawa pulang Rimba dan memakamkannya di pemakaman umum yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan Rendra.

"Have no idea," geleng Rendra dengan mata memerah karena terus-terusan menangis. Ketika ia menyampaikan pertanyaan bapak ketua RW kenapa tidak dimakamkan agak siang menunggu anggota keluarga yang lain.

"Gua nggak tahu gimana caranya bilang ini semua ke Anggi."

"Dia bahkan belum sempat meluk Rimba."

Ia juga have no idea, hanya bisa menepuk-nepuk bahu Rendra berusaha memberi kekuatan. Akhirnya, hanya dengan disaksikan oleh tetangga sekitar rumah, termasuk pihak RT RW setempat juga Adit, Rendra memakamkan sendiri jasad ananda tercinta Kelana Rimba dengan dibantu oleh Ustadz Dwijayanto.

"Ya Allah, jadikan dia sebagai pahala yang disegerakan dan simpanan abadi, dan sumber pahala bagi orang tuanya" (HR. Bukhari secara muallaq 1690), begitu doa yang dipanjatkan oleh Ustadz Dwijayanto usai berlangsungnya pemakaman.

Dan ketika semua pelayat telah beranjak pulang, termasuk Adit yang cepat-cepat kembali ke rumah sakit, ia masih melihat punggung Rendra duduk terpekur di atas tanah pemakaman yang masih basah. Pemandangan yang sama yang pernah dilihatnya puluhan tahun lalu saat Tante Pingkan meninggal dan yang terbaru hampir dua bulan lalu saat Papa meninggal. Kehilangan orang-orang tercinta memang selalu menyisakan duka yang teramat dalam.

Tanpa bermaksud memutus paksa rasa emosional karena kehilangan yang menyesakkan, ia terpaksa menghampiri Rendra dan menepuk punggungnya pelan, "Kita harus ke rumah sakit lagi Ren. Anggi sama Arung masih nungguin kamu."

Dan benar saja, begitu mereka sampai di room, terlihat Mamah dan Adit tengah berusaha menenangkan Anggi yang sepertinya memiliki feeling kuat tentang sesuatu yang telah terjadi.

"Kenapa Arung sama Rimba belum diantar kesini?!"

"Mereka harus minum ASI."

"Mereka juga belum IMD."

"Abang mana?!"

"Ini udah lebih dari sehari, kenapa aku belum bisa ketemu mereka?!"

"Nanti Ndo, nanti sama suster diantar kesini," Mamah menjawab dengan mata berkaca-kaca. Pun Adit yang memilih membuang muka, tak sanggup melihat pemandangan yang cukup menyesakkan.

Dengan langkah panjang Rendra mendekati tempat tidur Anggi, kemudian memeluknya erat, menyembunyikan wajah dalam-dalam ke leher Anggi. Membuatnya dan Adit kembali harus membuang pandangan ke arah lain. Tak sanggup melihat Rendra dan Anggi yang saling berusaha menguatkan satu sama lain sambil berlinangan air mata.

'Would you know my name

If I saw you in heaven?

Would it be the same

If I saw you in heaven?

I must be strong and carry on

'Cause I know I don't belong here in heaven

Would you hold my hand

If I saw you in heaven?

Would you help me stand

If I saw you in heaven?

I'll find my way through night and day

'Cause I know I just can't stay here in heaven'

(Eric Clapton, Tears in Heaven)

Kehilangan yang tercinta memang selalu menyesakkan dada.

***

Anggi

Rabu, jam 08.00

Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.

Setelah sejak hari Senin sore kateter berhasil dilepas, ia juga sudah bisa memiringkan badan dan bangkit dari tempat tidur, kemudian berjalan kaki sendiri ke kamar mandi untuk buang air kecil, dan yang paling penting adalah ia telah berhasil kentut. Maka hari ini bisa dipastikan akan menjadi hari pertamanya bisa bertemu Arung di ruang NICU.

Rendra bahkan telah mempersiapkan diri sejak Subuh, "Hari ini kita bakal ketemu pejuang paling ganteng yang pernah ada," ucap Rendra mencoba tersenyum.

"Ayo, sebelum ketemu dede bayi kita perah ASI dulu ya," ujar seorang perawat yang memasuki ruangan.

Sejak hari Senin pula, setiap dua jam sekali ia memerah ASI untuk dikirim ke ruang NICU. Meski produksi ASInya belum terlalu lancar, bahkan masih sedikit sekali, namun ia tak patah semangat.

"Mba Anggi rileks ya, jangan stres, biar ASInya bisa keluar banyak," begitu kata perawat seringkali ketika ia mengeluhkan produksi ASInya yang sedikit.

"Gimana nggak stres Sus, sejak lahiran sampai sekarang belum ketemu anak saya," keluhnya nanar.

"Iya, sebentar lagi kita ketemu dedenya ya. Nanti kalau udah di nen langsung sama dede bayi, biasanya merangsang produksi ASI jadi lebih banyak."

"Nanti nanti terus Sus," gerutunya tak sabar, merasa iri dengan deretan bayi-bayi berpipi bulat seperti bakpao yang dilihatnya sering diantar keluar masuk ke room-room sebelah, ketika Rendra mendorong kursi rodanya untuk berjalan-jalan mencari udara segar.

"Iya sabar ya Mba, ini kan untuk kebaikan dede bayinya juga. Biar lebih kuat dan sehat."

Akhirnya, setelah harus melewati masa-masa penantian yang menyedihkan, hari ini untuk pertama kalinya ia bisa bertemu Arung.

Dengan Rendra yang menggenggam erat tangannya, ia memasuki ruang NICU yang dingin. Dan tanpa diberitahu pun matanya langsung tertuju pada inkubator yang terletak di paling ujung. Dimana sesosok tubuh mungil yang masih berwarna kemerahan tengah tertidur. Dengan tulisan di atas papan berwarna putih yang berbunyi,

Arung Samudera

Bayi Tn/Ny Darmastawa

1,995 gram/33 cm

"Wah, Mami hebat sayang, bisa tahu kamu ada dimana," seloroh Rendra dengan nada suara tercekat.

"Assalamualaikum Arung, ini Papi datang bawa Mami," lanjut Rendra lagi. "Arung udah kangen banget kan pingin lihat Mami? Ini.....Mami Arung yang cantik udah disini sekarang. Bangun sayang," Rendra bercakap sambil merengkuh bahunya lembut.

Namun yang ada ia justru terisak-isak di depan inkubator dengan tangan gemetar memegang salah satu sisi kaca. Membuat Rendra semakin dalam merengkuh tubuhnya sambil mencium puncak kepalanya dengan bibir bergetar.

I love you, Arung. Love you too Rimba. I love you two so much. I love you. I love you.

Hampir lima menit ia terisak dan hanya bisa menatap sedih bayi mungil yang seluruh tubuhnya dipenuhi oleh kabel-kabel peralatan medis. Ada perasaan bersalah yang sedikit demi sedikit menguasai hatinya karena telah melahirkan jauh sebelum due date.

"Arung....bangun sayang....say hi ke Mami...," Rendra kembali berbisik. "Halo Mami....hari ketiga ini aku udah lebih kuat loh. Udah bisa bernapas sendiri meski masih harus pakai selang oksigen," bisik Rendra lagi yang membuatnya harus menggigit bibir keras-keras agar isak tangis tak terlalu keras terdengar.

"Hari pertama dan kedua aku masih harus bernapas pakai selang yang langsung disambung ke paru-paru......"

"Karena aku tahu Mami bakal nengok, pagi ini selang ke paru-paru udah dilepas. Diganti selang oksigen biasa. Aku keren kan?"

Ia menoleh kearah Rendra yang tengah membungkukkan badan selama berbicara dengan Arung.

"Waktu pertama kali lihat Arung sama Rimba di ruang ini.....aku nggak kuat," Rendra tersenyum kearahnya. "Saking banyaknya kabel, alat, dan selang yang nempel di tubuh mereka."

"Seandainya boleh minta....biar posisi anak-anak diganti sama aku."

"Tapi....hari ini.....mungkin karena Arung tahu kamu mau datang....beberapa selang dan kabel udah bisa dilepas....Lihat, dia udah pinter nafasnya kan? That's my boy!"

Kalimat Rendra membuatnya semakin terisak. Sekilas matanya menangkap, selain selang oksigen dan selang ASI yang tersambung ke hidung, ada tiga kabel menempel di dada Arung, yang tersambung ke sebuah monitor.

"Kabel yang nempel di dada itu untuk memantau tanda-tanda vital Arung, seperti laju pernapasan, denyut jantung, suhu, dan tekanan darah," terang Rendra seolah memahami isi kepalanya.

Matanya kemudian beralih ke kaki mungil Arung yang juga tersambung dengan kabel ke monitor lain.

"Yang diikat di kaki itu nyambung ke monitor saturasi oksigen, untuk memantau kadar oksigen darah."

Membuatnya kembali menoleh kearah Rendra yang masih setengah membungkuk, "Apa kamu selalu tahu semua yang pingin aku tahu?" ujarnya sambil terisak.

Rendra tersenyum lalu mencium keningnya sekilas, "Harus dong. Kan aku sehari lima kali nengokin Arung. Harus tahu tindakan apa aja yang dilakukan biar jagoan kita kuat dan sehat."

Ia kembali mengalihkan pandangan ke dalam inkubator, Arungnya yang mungil namun sudah terlihat jelas aura dan garis-garis wajah warisan nyata dari Rendra, yang kini masih tertidur pulas dengan kelopak mata setengah terbuka dengan hanya menampilkan bagian putihnya saja. Like father like son.

"Kalau Rimba.....," suaranya mendadak tercekat karena kesedihan kembali melanda. "Apa mirip Arung? Aku bahkan belum sempat nyium dan meluk....."

Rendra mengusap-usap kepalanya pelan, "Rimba lebih berat lima ons dibanding Arung."

"Wah, lebih chubby dong," ujarnya antusias dengan suara bergetar. Membayangkan seperti apa rupa Rimba.

"Tapi tetep sama gantengnya kayak Papinya," Rendra jelas sedang mencoba bercanda, namun kali ini ia tak sanggup untuk mencibir. Hanya bisa menatap nanar kearah Arung yang masih saja tertidur pulas.

"Kapan saya bisa gendong bayi saya Sus?" tanyanya pada perawat jaga di NICU.

"Nanti diberitahu oleh dokter Barata kalau bayinya sudah bisa digendong. Karena kalau keseringan digendong justru akan memicu stres pada bayi prematur."

"Tapi kalau mau dielus boleh. Nanti saya buka inkubatornya."

Dan hari ini ia harus puas hanya dengan mengelus kepala berambut lebat dan pipi mungil Arung yang masih berwarna kemerahan. Juga tangan dan kaki yang ditumbuhi bulu halus.

"Ayo Arung, minum susu yang banyak ya," ujar Rendra kali ini dengan suara penuh semangat. "Biar cepat kuat bisa digendong sama Mami Papi. Nanti Papi ajak Arung main ke tempat yang seru dan keren. Arung mau kemana? Papi jabanin."

***

Keterangan (dari berbagai sumber ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan) :

Ruang resusitasi. : ruang yang dipergunakan untuk menempatkan bayi baru lahir melalui operasi caesar, untuk dilakukan tindakan resusitasi pada bayi.

APGAR. : Activity (aktivitas otot), Pulse (denyut jantung), Grimace (respons dan refleks bayi), Appearance (warna tubuh bayi), Respiration (pernapasan). Adalah pemeriksaan yang dilakukan pada bayi baru lahir guna memastikan kondisi bayi sehat dan bugar untuk dapat melangsungkan hidup di luar rahim ibunya

IMD. : inisiasi menyusu dini

1
Esti Nengsich
ya ampun...
Mereka ngapain siii...
Afidatul Rifa
Owalahhh jadi pas Cakra masuk ganapati saat Regis ketemu Maba yg namanya Adit itu adeknya MBK Anggi Tah?? 😁 aduhhh baru ngeh pdahal baca novel ini sama si Cakra itu dah berkali" aduhh si othor memang the best bikin alur cerita dari ke 4 karya ini nyambung semua
Ardiansyah Gg
yg gk enak pas bagi raport bang... di panggil menurut absen... auto pulang terakhir kita 😆
"ariani's eomoni"
baca lagi,...gegara nonton jendela seribu sungai

gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
Erna P
kalo aq dah pingsang Nggi g sanggup.sejam perjalanan aja udah tepar.mabokan orangnya makanya g pernah kemana2 hu hu😭padahal pengen kek orang2.kalopun bisa jauh itu aq harus pake roda 2 baru kuat 3 4 jam jg ku jabanin
Erna P
sekarang justru momen2 sama si abang yg di inget ya bukan Dio 😁
Erna P
aq malah jd keinget momen mabanya Anggi sama si abang🤭kalo ada lagu kebyar2 gini
Erna P
abang Renen aq reread entah yg keberapa kali ini y ampun gamon bgt aq.aq salah satu mantanmu jg kah habisnya susah mupon😝😝
Naimatul Jannati
2025 aku balik lg baca,.nunggu kak thir bikin cerita bang riyadh sm inne ini😍😍
Anna Maria Hendraswari
Luar biasa
Hijri Rifai
sering bgt ku lihat nama KK author ini kl pas buka aplikasi ini... tp blm ada cerita baru... cuma judul ini yg blm di bukukan semua sudah di bukukan.... tp mmg semua ceritanya bagus bgt. apa mungkin KK author sedang melakukan riset dll utk judul baru...😂😂😂 sejujurnya ngarep bgt...
Hijri Rifai: kak nama penulisnya sama jg kl di kbm ... aku udah cari tapi blm ketemu.. aku sampai download kbm lho demi mau baca..
total 5 replies
mainrahasia
kota ini aman damai... ya Alloh... andai benar Jogja aman damai tak ada isu sara yg menjadi pemicu beberapa pertikaian... 😩😩😩
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
Haryo Tawang
Luar biasa
Haryo Tawang
Kecewa
St4891
udah baca gak tau udah yg k berapa kalinya, gak pernah bosen bacanya walaupun karya yg skrang udah banyak revisinya
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu
Esther Lestari
circle pertemanan yg gk kaleng2 nih....
Lala Trisulawati
Keren bngt.....♥️♥️♥️♥️♥️👍
Reni Novitasary
ga prnah bosan..baca lagi..lagi...dan lagi
Reni Novitasary
ngambil master sm dio d jepang/Smile/
Fitri Fitri
kepingin kayak cerita ini ☺☺☺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!