Willie, seorang pengusaha muda yang sukses, hidupnya hancur seketika ketika sang istri, Vira meninggal secara tragis setelah berusaha membuka kasus pemerkosaan yang melibatkan anak didiknya sendiri.
Kematian Vira bukan kecelakaan biasa. Willie bersumpah akan menuntut balas kepada mereka yang telah merenggut keadilan dan istrinya.
Namun di balik amarah dan tekadnya, ada sosok kecil yang menahannya untuk tidak tenggelam sepenuhnya, putri semata wayangnya, Alia.
Alia berubah menjadi anak yang pendiam dan lemah sejak kepergian ibunya. Tidak ada satu pun yang mampu menenangkannya. Hanya seorang guru TK bernama Tisha, wanita lembut yang tanpa sengaja berhasil mengembalikan tawa Alia.
Merasa berhutang sekaligus membutuhkan kestabilan bagi putrinya, Willie mengambil keputusan untuk melakukan pernikahan kontrak dengan Tisha.
Willie harus memilih tetap melanjutkan dendamnya atau mengobati kehilangan dengan cinta yang tumbuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan
Hari-hari berikutnya berjalan lebih tenang. Willie tak lagi mencari-cari masalah dengan Tisha.
Ia seolah memahami jarak yang sengaja dibuat oleh gadis itu. Dan Tisha pun merasa aman dalam kesunyian yang ia bangun sendiri.
Pagi, siang, hingga malam berlalu dengan rutinitas sederhana. Alia menjadi poros yang membuat rumah itu tetap hangat, meski dua orang dewasa di dalamnya saling menjaga batas.
Tantangan lain pun dimulai. Aina hari itu tiba-tiba saja menelepon Tisha.
“Nak, besok malam ada perkumpulan keluarga besar kita. Kamu datang ya. Ajak Willie dan Alia.” pinta Aina.
Tisha terdiam sesaat. Hatinya berdenyut tak nyaman. “Iya, Bu. Semoga papa Alia bisa,” jawabnya hati-hati.
Aina langsung menyela, seolah sudah menduga. “Kalaupun dia tidak bisa, kamu datang saja dengan Alia. Kami ingin memperkenalkanmu. Para kerabat juga ingin melihatmu.”
Deg! Kata-kata itu menimpa dada Tisha seperti batu besar. Padahal, ia ingin menghindar dari keluarga Willie, apalagi sanak saudaranya.
Alasan itulah yang membuat mereka mengadakan pernikahan sederhana. Ia belum siap menghadapi penilaian-penilaian dari banyak orang.
Namun kali ini seperti tidak ada celah untuk menolak. “Iya, Bu,” ucap Tisha akhirnya.
Panggilan telepon ditutup. Tisha langsung lesu. Ia menarik nafas panjang, ketenangan hidupnya beberapa hari itu menjadi kacau karena undangan itu.
***
Begitu Willie pulang, Tisha tahu ia harus berdiskusi dengannya. Mau tak mau, hal ini harus dibicarakan.
Usai makan malam, Tisha menghampiri Willie yang duduk di ruang keluarga. Tatapan Willie langsung menangkap kegelisahan di wajahnya.
“Ada apa?” ujarnya pelan. Ia menepuk sofa di sampingnya. “Sini, duduklah.”
Tisha menurut saja. Lalu duduk dengan kaku, kedua tangannya saling bertaut.
“Pak Willie, tadi ibu Anda menelepon. Beliau mengundang kita besok malam.”
Willie menaikkan alisnya. “Ya, aku juga sudah dikabari.”
Ia menoleh ke arah Tisha. “Bagaimana menurutmu?”
Pertanyaan itu justru membuat Tisha makin bimbang. Tisha diam beberapa saat. Ia tak tahu harus menjawab apa.
“Tisha?” panggil Willie lagi.
Laki-laki itu mengamatinya sejenak. “Apa kau sangat ingin ikut?”
Jari-jari Tisha memainkan ujung blusnya, ia menjawab dengn ragu.
“Sebenarnya saya tidak ingin."
“Kalau begitu, kita tak usah datang.” kata Willie dengan enteng.
Tisha terkejut. “Tapi...apa itu tidak apa-apa? Kata beliau, kerabat Anda ingin melihat saya. Jadi saya merasa tidak enak kalau tidak datang. Orang tua Anda sangat baik kepada saya,” ucapnya jujur.
“Oh,” Willie mengangguk pelan. “Jadi orang tuaku ingin mengenalkanmu rupanya.”
Willie menyandarkan punggungnya, tampak berpikir sejenak. “Kalau begitu, kita datang sebentar saja. Sekadar menunjukkan wajah. Terus terang, aku juga tidak terlalu berminat berkumpul lama-lama dengan keluargaku.”
“Baiklah,” jawab Tisha lirih.
Ia pun bangkit, berniat pergi sebelum suasana terasa makin canggung. Willie kembali memanggilnya.
“Tisha.”
Ia langsung menoleh. “Ya…”
Willie menatapnya dengan senyum lembut. wajahnya tampak teduh. “Terima kasih sudah baik pada orang tuaku.” ucap Willie tulus.
Pipi Tisha seketika memerah. Ia mengangguk, “Ah… iya.”
Dan untuk sesaat, di antara jarak yang masih ada, terselip kehangatan kecil yang tak mereka sadari.
Tisha masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan diri ke atas ranjang.
“Hah… aku malas sekali ikut acara itu,” keluhnya.
Kakinya ia hentakkan berkali-kali ke kasur, meluapkan kesal yang tak tahu harus diarahkan ke mana.
“Padahal kami bukan suami istri betulan. Aku ingin menghindar, tapi kenapa aku malah harus masuk ke dalam lingkaran mereka,” dengusnya.
Hening sejenak. Di tengah kekesalan itu, ingatannya justru kembali pada senyum Willie tadi. Senyum lembut yang tak biasa ia lihat. Tatapan teduhnya yang nyaris menipu.
Tanpa sadar, ujung bibir Tisha melengkung membentuk senyum kecil. Pipinya kembali merona.
Beberapa detik kemudian, ia tersadar oleh pikirannya sendiri.
“Tisha, ingat. Dia itu iblis dengan wajah tampan.” bisiknya pada dirinya sendiri.
Kalimat itu ia ucapkan seperti peringatan agar tidak terlalu mudah terbuai.
***
Keesokan harinya, Ratih sudah kembali. Tisha lega, setidaknya ia punya teman berbincang yang normal di rumah itu.
Di sela aktivitas, Tisha berbagi pikiran dengan Ratih. Berhubung Ratih sudah lama bekerja dirumah itu. Tisha mencari tahu tentang apa yang disukai mertuanya, bagaimana karakter keluarga besar Willie, apa yang sebaiknya dihindari.
Percakapan itu cukup membuat Tisha merasa lebih siap. Akhirnya ia mengambil keputusan. Ia tahu harus membawa apa sebagai buah tangan untuk mertuanya.
Tisha juga ingin membeli gaun baru untuk dirinya dan Alia.
“Bi Ratih." panggil Tisha. Ratih segera mendekat. "Apa Bibi capek?” tanya Tisha sambil merapikan tas kecilnya.
“Tidak, Bu."
“Kalau begitu, temani saya belanja ya.” pinta Tisha.
Ratih tentu saja mengangguk senang. Mereka diantar sopir ke sebuah butik khusus muslimah. Alia tampak paling antusias karena sudah lama ia tidak ikut jalan-jalan.
Di dalam butik, Tisha memilih gaun dengan hati-hati. Seorang penjaga butik ikut membantu.
“Untuk acara formal, yang ini cocok untuk anda. Motifnya tidak terlalu ramai, tapi kelihatan elegan.”
Tisha menatap gaun itu sejenak, lalu mengangguk. “Baik, tolong bungkus yang ini.”
Ia menambah sepatu dan tas untuk pertemuan nanti malam. Niatnya sederhana, ia ingin menjaga citra Willie dimata keluarga besarnya, tanpa terlihat berlebihan.
Diam-diam, Tisha juga membungkus beberapa potong pakaian untuk Ratih.
“Bu… terima kasih. Tapi ini kebanyakan,” ucap Ratih terharu.
“Anggap saja hadiah,” jawab Tisha sambil terkekeh. “Karena bibi sudah jadi teman saya di rumah.”
Tak jauh dari sana, Tisha melihat baju anak dengan warna senada. Ia memakaikannya pada Alia. Anak itu terlihat manis saat memakainya.
“Alia suka?” tanya Tisha.
“Iya!” seru Alia ceria.
Tisha lalu menghubungi Willie. Pria itu masih di kantor dan tampak sedikit terkejut saat Tisha menelponnya.
“Halo, Tisha.”
“Pak, maaf... kita berangkat jam berapa?”
Willie sempat terdiam sesaat ia melirik jam tangannya. “Sekitar dua jam lagi. Aku akan pulang secepatnya,” jawab.
“Baik,” balas Tisha singkat.
Setelah itu, Tisha mampir ke salon milik temannya, seorang make up artist.
Begitu ia masuk, Tisha langsung berkata, “Fanni, tolong dandani aku. Aku gugup sekali,”
“Kenapa, Sha? memangnya kau mau kemana?” tanya Fanni sambil tersenyum.
“Acara keluarga mertuaku.”
“Ooh…Tenang. Akan kubuat wajah cantikmu ini jadi berkali-kali lipat lebih cantik.” seru Fanni antusias.
Tisha menoleh. “Kalau bisa, tolong buat aku seperti orang lain. Jangan mirip aku yang asli.”
Fanni menaikkan alis. “Kenapa begitu? Kau ini aneh.”
Tisha hanya menggeleng dan tertawa kecil.
Ia berkata dalam hati. "Sebenarnya aku tak ingin mereka tahu wajah asliku. Setelah kontrak ini selesai, aku hanya ingin hidup tenang."
kopi untuk mu