Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26 Naomi menangis
Naomi menangis tersedu di pelukan ibunya, bahunya naik-turun menahan amarah yang meluap. “Kenapa ini bisa terjadi, Mama?!” suaranya parau. “Kenapa Nuha bisa berani melawan aku di depan semua orang?! Ini nggak masuk akal... ini nggak adil!”
Mamiya mengusap punggung putrinya, tapi di balik belaian itu tersimpan bara yang sama. “Tenanglah, sayangku. Begitu bayimu lahir, semuanya akan berubah. Naru akan tahu siapa yang paling pantas di sisinya. Dan dunia akan berpihak padamu.”
Langkah berat terdengar dari arah pintu. Hartono Rudi menghampiri mereka. “Itu karena Maya telah mendidik Nuha,” ucapnya tenang, tapi dalam. “Dia tahu bagaimana menanamkan keberanian dalam diri siapa pun yang dekat dengannya. Dan itulah yang membuat kalian sulit menyingkirkannya.”
Mamiya menoleh cepat, “Sulit bagi kami? Harusnya kau yang melakukan itu, Rudi!” Nadanya menebas udara. “Mana janjimu dulu? janji untuk mengeluarkanku dari jurang kemiskinan ini? Mana balas budimu setelah semua yang kulakukan untukmu?!”
Rudi menatapnya lurus, “Kau tahu apa yang kau minta dariku, Mamiya. Dan selama ini, kau juga tahu apa yang kau dapat.”
“Kau pikir aku cuma mau... perhatian sesaat darimu?!” Suara Mamiya meninggi, wajahnya memerah. “Aku menyerahkan segalanya padamu! Bahkan harga diriku demi janji yang tak pernah kau tepati!”
Ia menampar Rudi dengan keras, tapi pria itu cepat menangkap pergelangan tangannya di udara. “Cukup, Mamiya. Jangan buat Naomi mendengar hal yang seharusnya tak pernah keluar dari mulut ibunya sendiri.”
“Lepaskan aku!” Mamiya berontak.
“Aku sudah memberimu kesempatan berkali-kali, tapi kau terus menuntut sesuatu yang bahkan kau sendiri tak tahu bentuknya. Apa yang sebenarnya kau inginkan? Kekuasaan? Pengakuan? Atau sekadar kemenangan atas Maya?”
Mamiya membara, “Yang kuinginkan... cuma satu, Rudi. Aku ingin kau menyesal. Karena telah memilih dia, bukan aku.”
Di Kampus...
Udara terasa segar seperti lembaran baru. Nuha menarik napas dalam-dalam, menahan sejenak di dadanya, lalu mengembuskan sambil tersenyum lega. “Kalau aku naik sepeda sekarang, aku pengin ngebut ke arah tanggul, terus meluncur sambil lepas kaki, angkat tangan, dan teriak!!!!"
"NUHAAAA KAMU HEBATTTT!!!”
“Piuh…" Ia mendesah panjang. "Aku emang nggak takut ngadepin satu orang. Tapi kalau udah banyak mata yang ngelihatin, rasanya kayak… hidup dan mati dalam lima detik.”
Ia menunduk sambil mencubit pipinya sendiri. “Untung Ibunda bantuin. Aku hampir mati jantungan waktu ngomong seberani itu di depan ayah.” Senyumnya merekah kecil. “Tapi rasanya… lega banget.”
Nuha berjalan sambil melompat ringan, seperti anak kecil yang baru lolos dari ujian besar-- dan bruuk!
Kakinya tersandung. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, "Aw!! Kebiasaan!"
“Kamu nggak apa-apa?”
Nuha mendongak saat suara itu hadir dalam keramahan. Cahaya pagi menyorot wajah pria itu dari samping, membuat rambutnya sedikit berkilau. Matanya membulat. Dalam sekejap, hatinya berdesir. “Naru…?” gumamnya lirih, tanpa sadar.
Pria itu tersenyum, “Aku penasaran, sebenarnya Naru itu siapa?” ia meraih tangan Nuha dan membantunya bangun berdiri.
Nuha berkedip cepat, “K-Kak Wisnu?”
Wisnu hanya terkekeh, lalu menuntun tangannya agar menepi dari jalan setapak yang ramai. “Lain kali hati-hati. Jalan di kampus ini bisa lebih licin dari drama percintaan mahasiswa, tahu?”
Nuha menatap punggungnya saat pria itu berjalan di depan. Punggung itu… tegap, gagah, dan entah kenapa membuat hatinya berdebar.
Ada sesuatu dari cara Wisnu melangkah yang membuatnya terasa seperti malaikat yang turun dari langit… meski mungkin, malaikat yang datang dengan teka-teki baru.
"Apa karena aku sedang bahagia, momen ini terasa seperti mendukungku? Aku seperti... jatuh cinta. Aku pernah merasakan ini. Tapi, untuk siapa?" hati Nuha berbicara.
"Semenjak kejadian di klub malam itu, kamu seolah menjauh, Dek. Itu membuatku sedih," kata Wisnu pelan, menatap Nuha di bawah rindangnya pohon mangga.
Nuha terpaku.
"Apa perbuatanku waktu itu membuatmu marah? Atau membuatmu jijik untuk mengenalku lagi?"
"Itu... Kak... aku..." Suaranya nyaris tak terdengar. Dalam hati ia bertanya, "Harus jawab apa? Bahkan pikiranku pun kosong."
"Dek, aku senang bisa sedekat ini sama kamu. Tapi demi kamu, aku rela ninggalin dunia itu. Aku udah selesein masalahku dengan mereka dan enggak lagi menatap layar ponsel."
"Eh?"
"Apa kamu masih mau main di sini, bareng aku… bareng kucing-kucing liar ini?"
Wisnu terus bicara, dan Nuha hanya diam. Kata-katanya menggantung di udara, seperti daun-daun yang terhempas angin sore. Ada sesuatu yang menghangat di dada Nuha, rasa nyaman, mungkin juga bahagia. Tapi di sisi lain, ada hati yang sedang ia jaga, Naru. Yang entah kenapa, selalu membuatnya merasa lebih aman.
Ia teringat akan pembelaannya di hadapan keluarga, 'Naru sangat mencintaiku.' Kenapa aku bisa mengatakan itu ya, oadahal aku nggak...
Nama itu, memenuhi kepalanya. Tapi setiap kali ia mencoba mengingat kenangan bersama Naru, kepalanya berdenyut sakit. Tapi setiap kali bersamanya, hatinya justru menari.
Cinta... itu menakutkan.
Memiliki seseorang yang istimewa di hati berarti membuka ruang untuk kehilangan. Dan Nuha takut, takut kalau rasa yang tumbuh ini akan kembali merebut sesuatu darinya.
"Ada rasa sukaku pada Kak Wisnu. Tapi... aku nggak siap kalau itu ternyata cinta. Aku ingin tetap seperti ini, menikmati kebersamaan tanpa beban. Tapi aku takut, takut rasa itu tumbuh tanpa permisi. Apa Kak Wisnu juga merasakannya?" batin Nuha, menatap tanah yang dipenuhi daun mangga kering.
“Dek,” suara Wisnu memecah lamunannya, lembut tapi jelas. “Kucing oyen yang kemarin hamil itu, sekarang udah ngelahirin, lho. Langka banget. Mau lihat?”
“Eh?” Nuha semakin bingung.
Sikap Wisnu... sulit ditebak.
Kadang terasa begitu hangat dan dekat, tapi mungkin itu hanya keramahan. Atau…
ada sesuatu di balik sorot matanya yang tak pernah benar-benar Nuha pahami. Jika Nuha memilih menjauh, berarti ia mengakui bahwa ia sendiri memiliki rasa padanya. Tapi jika terus mendekat… Nuha khawatir akan terjebak di antara suasana yang perlahan menyesatkan hatinya sendiri.
Sementara di tempat lain--
Naru ikut bersama Dilan mengantarkan Kanaya pulang ke rumah, bersama kakek Darmawan yang kini tampak jauh lebih sehat. “Kenapa lo musti ikut sih, Ru!” Dilan mendecak kesal.
Padahal di kepalanya, ini momen langka untuk bisa lebih dekat dengan gadis yang sempat ia selamatkan dari Sari dan kini diam-diam mulai mengisi ruang di pikirannya.
“Nebeng sekalian,” sahut Naru santai sambil bersandar di kursi belakang. “Soalnya ada yang pengin gue tahu di rumah kakek.”
“Cih!” Dilan melirik dari kaca spion.
Setidaknya, ia lega. Tak perlu melakukan balapan dengan Naru hanya karena peduli pada Naomi. Karena wanita hamil itu kini bersama ibunya. Janji untuk terus memantau? Ia sudah terlalu lelah untuk menepatinya.
Di kursi depan, Kanaya duduk manis, sesekali mencuri pandang ke arah Dilan. Senyumnya sulit disembunyikan.
“Kenapa?” Dilan menyadari tatapan itu. “Gue kelihatan tampan, ya?” ujarnya.
Kanaya mengangguk pelan. “Dokter memang tampan. Aku ingin jadi dokter seperti Dokter Dilan.”
“Wow!” Dilan tertawa ringan, tapi matanya menyiratkan kekaguman. “Hebat juga kamu. Tapi bukannya kamu udah kuliah, ya? Jurusan apa?”
“Baru semester awal,” jawab Kanaya, matanya berbinar. “Masih bisa berubah kan? Aku pengin jadi dokter.”
“Ambisius juga,” kata Dilan sambil tersenyum. “Tapi... aku suka yang begitu.” Lalu melirik khas pria playboy, "Mau aku bantuin jadi dokter?"
Jalanan mulai sepi.
Hanya deru mesin dan cahaya lampu mobil yang menembus jalanan yang cukup kecil dilewati. Dilan menurunkan kecepatan sedikit, menoleh sekilas pada Kanaya yang masih tersenyum malu. Namun tiba-tiba--
DUARRR!
Suara ledakan keras memecah keheningan.
Mobil mendadak oleng ke kanan. Ban belakang kanan mengempis seketika, menyisakan bau karet terbakar dan suara berdecit panjang di aspal.
“Apa itu?!” jerit Kanaya.
“Ban kita kena tembak!” Naru berteriak dari belakang, matanya langsung menyapu jendela, mencari arah datangnya suara.
Dilan menekan rem kuat-kuat, jalanan yang sedikit menurun membuat mobil justru tergelincir. Ban yang kempis membuatnya sulit dikendalikan, mobil berputar setengah lingkaran, menabrak pembatas jalan dan berhenti dengan hentakan keras.
Kaca spion pecah. Udara berbau besi dan asap menguar di dalam kabin. “Naru! Kakek!” Dilan menoleh cepat.
Kakek Darmawan menahan dada, wajahnya pucat. Sementara Naru sudah membuka sabuk pengamannya, menatap ke arah luar dengan sorot mata tajam. “Ada seseorang di luar sana,” ucap Naru pelan. “Turunkan kepala kalian.”
Beberapa preman menghadang, "Turun kalian semua! Serahkan Pak Darmawan kepada kami!"
.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊