"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.
apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 26 meli
Di dalam kamar yang remang, Meli menatap suaminya dengan mata yang penuh tanda tanya. Suaranya terdengar lirih namun sarat kegelisahan.
“Mas… aku mau ngomong sama kamu,” ucapnya, bergetar.
Roni yang sedang duduk di ruang tengah sambil menyesap kopi, menjawab tanpa menoleh, “Ngomong aja dari situ, Mel.”
Meli menarik napas panjang, lalu menatap suaminya dengan sorot penuh curiga. “Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku, kan, Mas?” tanyanya dengan nada bergetar.
Roni segera meletakkan cangkir kopinya ke meja. Ia menatap istrinya sejenak, lalu menggeleng. “Nggak ada apa-apa, Mel,” ucapnya singkat.
Namun Meli tidak puas dengan jawaban itu. Hatinya terasa sesak. “Kamu berbeda sekarang… apa kamu udah nggak peduli lagi sama aku?” suaranya meninggi, penuh luka yang ditahan lama.
Roni menghela napas berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan. “Sudahlah, Mel… itu cuma pikiranmu sendiri. Aku capek. Tolong jangan bikin aku tambah berat.” Ia mencoba menahan nada suaranya agar tetap tenang, tapi jelas ada kelelahan di dalamnya.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Meli. “Mana kata-katamu yang dulu selalu bisa nenangin aku, Mas? Kamu berubah… apa karena kita masih belum punya anak sampai sekarang?” ucapnya dengan suara yang pecah, penuh emosi yang meledak.
Roni bangkit berdiri, mencoba menahan amarah sekaligus kesedihan. “Mel, jangan bawa-bawa itu lagi. Aku capek banget sepulang kantor. Jangan samain semua masalah kita sama soal itu,” jawabnya cepat sambil meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Keringat di tubuhnya dan suasana panas hari itu menambah sesak di dadanya.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, Meli terisak. Ia duduk di tepi ranjang, wajahnya tertutup kedua tangannya. Perasaan bersalah menghantamnya bertubi-tubi. Ia merasa dirinya adalah penyebab semua keretakan ini. Baginya, semua berawal karena ia belum mampu memberikan keturunan. Ia tidak menyalahkan suaminya, justru menyalahkan dirinya sendiri—seolah-olah seluruh kekurangan ada di pundaknya.
Setelah selesai mandi, Roni berjalan pelan menuju meja kerjanya untuk mengambil laptop. Tangannya sempat berhenti sejenak, lalu dengan rasa penasaran ia membuka layar perangkat itu. Matanya terarah pada layar, namun pikirannya tidak sepenuhnya tertuju pada pekerjaan. Ia kemudian menoleh untuk memastikan keadaan Lita. Senyum kecil merekah di wajahnya ketika melihat Lita tampak jauh lebih baik daripada sebelumnya. Gadis itu terlihat santai, duduk nyaman di sofa ruang keluarga, ditemani Vina yang setia mendampingi sambil menonton acara televisi. Pemandangan sederhana itu membuat hati Roni sedikit lega, seakan beban yang menempel di pundaknya berkurang walau hanya sedikit.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Roni menutup kembali laptopnya. Ia lalu merebahkan tubuh di atas ranjang, memejamkan mata dengan pelan, membiarkan pikirannya mengembara jauh. Berbagai rencana berputar di benaknya—tentang apa yang harus ia lakukan ke depan, bagaimana langkah-langkah yang sebaiknya ia ambil, dan keputusan-keputusan yang mungkin akan mengubah perjalanan hidup mereka.
Tak lama kemudian, pintu kamar terdengar berderit lembut terbuka. Meli berdiri di ambang pintu, menatap sosok suaminya yang sudah terlelap. Wajahnya menampilkan ekspresi teduh penuh kasih. Ia melangkah mendekat, lalu duduk di sisi ranjang. Dengan gerakan lembut, tangannya mengelus rambut dan pipi Roni, seolah ingin menyalurkan cinta dan ketenangan melalui sentuhan itu.
Setelah memastikan suaminya benar-benar beristirahat dengan tenang, Meli pun bangkit sebentar untuk mematikan lampu kamar. Ruangan seketika dipenuhi suasana hening . Ia kembali berbaring di sisi Roni, menutup mata dengan hati yang hangat, dan perlahan ikut terhanyut dalam pelukan tidur malam itu.
Pagi itu, saat Meli perlahan membuka matanya, rasa hampa langsung menyambutnya. Tangan kanannya terulur ke samping, mencari kehangatan yang biasanya ada di sisi ranjang. Namun yang ditemuinya hanyalah dinginnya seprai kosong—Roni tidak lagi berada di sebelahnya. Dengan setengah sadar, Meli bangkit dan menoleh ke meja kecil di sudut kamar. Biasanya, sebelum berangkat kerja, Roni selalu meninggalkan tas kantornya di sana, lengkap dengan secarik kertas berisi kata-kata manis yang mampu membuat harinya terasa ringan. Tetapi kali ini berbeda. Tas itu tak ada, dan meja pun kosong. Tidak ada tulisan singkat, tidak ada pesan, hanya kekosongan yang membuat dada Meli terasa sesak. Ia terdiam, mencoba menenangkan diri sambil menatap ruang yang terasa asing, seolah kebersamaan yang kemarin hanyalah angan-angan semata.
Dengan langkah pelan, Meli turun dari ranjang. Kakinya menapak dingin lantai marmer kamar, lalu ia berjalan menuruni tangga yang sepi. Saat sampai di lantai bawah, matanya menangkap sosok bibi yang sejak pagi sibuk di dapur. Perempuan setengah baya itu terlihat cekatan menyiapkan begitu banyak hidangan, lengkap dengan sayur, lauk, dan beberapa piring tambahan. Meli hanya bisa menghela napas. Ia tahu betul makanan itu pada akhirnya hanya akan disantap olehnya seorang diri, sementara sisanya akan terbuang percuma. Rumah sebesar ini, tetapi terasa kosong, dan meja makan yang penuh hanya menjadi simbol kesepian.
Sesaat kemudian, sebuah pikiran melintas di benaknya. Sudah lama ia tidak melihat adiknya, Mungkin hari ini waktu yang tepat untuk berkunjung, sekadar melepas rindu sekaligus mengisi kesepian yang akhir-akhir ini begitu terasa.
“Bi, nanti bawain saya bekal ya. Saya mau jenguk adik saya,” ucap Meli sambil menarik kursi dan duduk sebentar.
“Iya, buk, siap,” jawab bibi dengan sopan, sambil tersenyum kecil.
Meli lalu beranjak ke kamarnya. Ia membuka lemari, memilih pakaian yang rapi namun sederhana, dan berdiri cukup lama di depan cermin, memastikan penampilannya pantas. Setelah selesai bersiap, ia kembali menuruni tangga.
“Bi, bekalnya udah jadi?” tanyanya dari ruang tengah.
“Sudah, nyonya,” jawab bibi sambil menyerahkan sebuah tas berisi bekal makan siang, lengkap dengan beberapa cemilan kesukaan Lita.
Meli menerima bekal itu dengan senyum tipis, lalu melangkah keluar rumah. Di depan, sopir pribadinya sudah menunggu dengan mobil yang mesinnya menyala pelan. Ia masuk ke dalam kabin belakang dan menutup pintu dengan hati-hati.
“Pak, ke kostnya Lita ya,” katanya singkat.
“Baik, nyonya,” jawab sang sopir sambil menekan pedal gas, membawa mobil itu perlahan meninggalkan halaman rumah yang besar namun terasa semakin sunyi.