Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pura-pura tidak tahu.
Handrian terdiam kaku, seakan semua otot di tubuhnya membatu. Tatapan Pak Surya yang tajam seperti pisau, seolah menancap ke dalam dirinya tanpa ampun.
Kalimat ancaman barusan tentang Rosalina yang bisa saja menghilang dari rumah sakit malam ini juga, terasa berputar-putar dikepalanya, membuat telinganya berdenging, dan nafasnya pun tercekat. Jantungnya juga berdegup tidak beraturan.
Dalam sekejab, dunia yang ada disekelilingnya seolah menjadi kabur. Dan kini, hanya satu wajah yang muncul jelas di hadapannya, dan itu adalah wajah Rosalina.
Istrinya yang saat ini sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dengan wajah pucat dan kondisi yang rapuh. Handrian berusaha untuk tetap tenang meskipun saat ini ia merasakan rasa sakit yang luar biasa, kala mendapat ancaman dari Pak Surya, menyangkut nyawa Rosalina.
Namun walau bagaimanapun, nyawa Rosalina tetap bergantung pada satu keputusan yang harus ia ambil malam ini juga.
Pak Surya melangkah semakin dekat, dan dengan suara yang terdengar rendah namun berat, serta menusuk bagai belati, ia pun kembali berkata...
"Fikirkan baik-baik, Handrian. Dan sekali lagi aku tegaskan padamu, jika saat ini aku memberi perintah pada orang-orangku, maka rumah sakit itu bisa tinggal abu. Istrimu juga bisa lenyap tanpa ada seorang pun yang berani bertanya, dan aku hanya memerlukan waktu satu malam untuk membuatmu menyesal seumur hidup. Apakah sekarang kau benar-benar ingin mempertaruhkan nyawanya demi harga dirimu?"
Mendengar hal itu, keringat dingin kini mulai mengalir deras di pelipis Handrian. Jemarinya pun terasa gemetar, sampai-sampai ia harus mengepalkan tangan erat-erat agar tidak terlihat lemah di hadapan pria itu. Tapi didalam hatinya saat ini, pertarungan sengit pun sedang berlangsung.
Handrian merasa hatinya ingin melawan. Ia juga ingin berkata lantang bahwa ia tidak akan pernah menceraikan Rosalina. Namun setiap kali wajah wanita itu terbayang, entah kenapa hatinya terasa runtuh.
Pria itu juga mulai berfikir, bagaimana jika ancaman tersebut benar-benar dilakukan oleh Pak Surya? Dan bagaimana juga jika ia kehilangan Rosalina malam itu hanya karena kesombongan dan keberaniannya yang ternyata sia-sia?
Sementara itu, Adelina hanya bisa terisak keras, sambil memohon pada ayahnya agar menghentikan ancaman itu. Namun Pak Surya sama sekali tidak bergeming dengan permintaan dari putrinya, karena ia terus saja menatap pada Handrian, seraya menunggu jawabannya, bagai seorang hakim yang sedang menanti pengakuan dari seorang terdakwa.
Beberapa saat kemudian, Handrian pun mengangkat wajahnya dengan perlahan kearah Pak Surya. Bola matanya kini terlihat berkaca-kaca, tapi di balik semua itu tersimpan kepedihan yang begitu dalam.
Dan dengan suaranya yang pecah, akhirnya ia pun berbicara.
"Baik, Pak…" jawabnya dengan wajah yang menunduk, dan suara yang hampir tidak terdengar.
"Saya akan… meninggalkan Istri saya. Saya juga akan melakukan apa pun yang Bapak mau, asal… asal jangan sakiti dia. Dan tolong jangan pernah mengambil nyawanya… saya mohon!"
Kalimat itu terlepas dari bibir Handrian seperti pecahan kaca yang menoreh hatinya sendiri. Rasanya sungguh sakit dan pedih, seolah telah menghancurkan segalanya yang saat itu ingin ia genggam.
Adelina menatap kearah laki-laki yang ia cintai itu dengan perasaan terkejut, lalu ia pun segera menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Isakan dan tangis wanita itu terdengar semakin keras, tapi kali ini isakan tersebut bercampur dengan rasa lega. Meskipun hatinya masih terluka, karena sebelumnya Handrian sempat mengatakan tidak ingin meninggalkan istrinya.
Tapi saat ini, pria itu malah mengalah, dan rela meninggalkan sang istri untuk memilih menikah dengannya.
Sementara itu, Pak Surya pun terlihat menyeringai tipis, dan tersenyum dengan penuh kemenangan.
"Begitu lebih baik, Handrian. Karena saat ini kau sudah tahu dimana posisimu. Tapi ingat satu hal, ini bukanlah sekedar tentang cinta, tapi ini adalah tentang kekuasaan, dan juga tentang harga diri keluarga. Dan kau… hanyalah sebuah pion, yang harus tunduk pada semua permainan yang telah aku atur."
Mendengar perkataan Pak Surya, Handrian hanya bisa terdiam meskipun saat itu ia merasakan hatinya bagai ditusuk oleh ribuan pedang, dan kini ia hanya bisa menyerahkan semuanya, demi kehormatan, prinsip, bahkan kebahagiaannya sendiri.
Dan semua itu ia lakukan demi menyelamatkan Rosalina, dari ancaman Pak Surya.
Sementara itu, Adelina berjalan kearahnya dan menggenggang telapak tangan Handrian dengan erat.
"Handrian! Terimakasih ya, akhirnya kamu mau menikahi aku dengan cara menceraikan istrimu terlebih dahulu! Dan perlu kamu tahu Handrian, keputusanmu ini membuat hatiku sungguh bahagia, karena sebentar lagi kita akan menjadi sepasang suami istri, tanpa ada seorang pun yang menghalangi." ucap Adelina, membuat Handrian menarik nafas kasar.
Kemudian ia mengangguk kearah Adelina dengan senyum tipis, meskipun saat itu hatinya benar-benar ingin menangis.
*****
Handrian kini melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk kembali kerumah sakit, dan melihat bagaimana keadaan istrinya.
Sesampainya dihalaman rumah sakit, ia pun buru-buru memarkirkan mobilnya dan turun. lalu ia melangkah tergesa-gesa kearah kamar rawat Rosalina.
Begitu pria itu sampai disana, wajah Handrian seketika memucat, karena yang ia lihat sangatlah mengejutkan.
Ranjang yang seharusnya ditempati oleh Rosalina hanya menyisakan bantal dan selimut yang terlihat masih kusut, seolah baru saja ditinggalkan.
Infus yang semula menempel di lengan Rosalina juga sudah tercabut dengan kasar, dan masih meneteskan sisa cairan ke lantai, yang meninggalkan noda bening.
"Nggak mungkin…" bisik Handrian dengan suara yang tercekat.
Langkahnya terlihat gontai saat memasuki kamar, sementara tangannya meraba ranjang yang kini terlihat kosong. Dadanya bergemuruh hebat, dengan nafas yang tidak teratur. Ia merasa seakan jantungnya akan copot dari tempatnya. Rosalina… istrinya… Sekarang ke mana? Dalam keadaan sakit, dan juga dalam keadaan tubuhnya yang belum pulih, bagaimana mungkin ia bisa meninggalkan rumah sakit sendirian?
"Rosalina… Rosalinaa!" panggil Handrian dengan suara yang parau, seolah ia berharap bahwa wanita itu akan muncul dari balik pintu kamar mandi kecil di sudut ruangan. Namun ternyata pintu itu tetap tertutup rapat, dan ketika ia membukanya, pintu itu malah terlihat kosong.
Tanpa fikir panjang, Handrian pun langsung berlari ke luar kamar, untuk menanyakan Rosalina pada suster yang kebetulan melintas di lorong rumah sakit.
"Suster! Istri saya… pasien yang di kamar 204! Dia ke mana?! Kenapa tidak ada yang menjaganya?!" serunya dengan mata merah dan suara penuh desakan.
Suster itu terlihat kebingungan saat menjawab pertanyaan Handrian.
"Mohon maaf, Pak. Tadi saya memang tidak melihat pasien keluar. Karena kami kira beliau masih beristirahat…" jawabnya dengan wajah panik.
Handrian hampir saja mencengkeram bahu suster itu, tetapi ia menahan diri. Tubuhnya gemetar hebat, dan ia segera menoleh ke segala arah. Bola matanya liar mencari bayangan Rosalina. Ia bahkan berlari ke arah tangga darurat, lalu ke lobby, bahkan sampai ke area parkir, namun ternyata tidak ada tanda-tanda Rosalina berada ditempat yang ia cari tersebut.
Kini di kepalanya hanya ada satu bayangan, yakni wajah istrinya yang pucat, dan luka di pelipis yang masih segar, tubuhnya yang rapuh dan berjalan sendirian entah ke mana.
Fikiran Handrian semakin kalut, dan membayangkan hal yang tidak-tidak namun bisa saja terjadi pada istrinya itu. Bagaimana jika Rosalina jatuh pingsan lagi di luar sana? Dan bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?
"Ya Tuhan… Tolong jangan biarkan aku terlambat lagi… Selama ini aku telah menyia-nyiakan ketulusan yang pernah ia berikan, dan sekarang aku benar-benar tidak menginginkan dia pergi dari hidupku." ucap Handrian dengan suara lirih. Kini kedua tangannya terlihat mencengkeram rambutnya sendiri.
Dan disaat demikian, tiba-tiba saja suara yang sangat ia kenal terdengar memanggilnya dari ujung lorong.
"Handrian? Kamu kenapa jadi seperti orang panik begini?"
Handrian pun segera menoleh dengan cepat, dan matanya langsung menangkap sosok ibunya.
Bu Norma yang saat itu baru saja datang sambil membawa kantong plastik berisi makanan. Wajah wanita itu terlihat tenang, bahkan sedikit datar.
Dengan langkah cepat, Handrian menghampiri ibunya itu.
"Bu! Rosalina… Rosalina tidak ada di kamarnya! Ibu tahu dia ke mana? Bukankah Ibu berjanji padaku kalau ada sesuatu yang terjadi padanya maka Ibu akan segera memberitahukan padaku?!" seru Handrian dengan suara yang hampir pecah.
Bu Norma terlihat terkejut sesaat, tapi kemudian ia segera menata ekspresinya dengan menghela nafas panjang, lalu ia menjawab pertanyaan Handrian dengan mimik wajah yang dibuat-buat seperti orang kebingungan.
"Loh? Maksud kamu apa, Nak? Tadi Ibu cuma keluar sebentar untuk membeli makanan. Masa iya Rosalina pergi? Dia kan masih sakit. Mungkin kamu salah lihat? Atau dia sedang ke toilet?"
Handrian menggeleng cepat dengan bola matanya yang terbelalak.
"Nggak, Bu! Aku sudah cek! Dia tidak ada di kamar, dan juga tidak ada di toilet, bahkan aku juga sudah mencarinys sampai ke lobby. Rosalina hilang, Bu. Dan aku yakin jika Ibu pasti mengetahui sesuatu, kan?"
Suara Handrian terdengar meninggi, dengan nada yang terdengar putus asa.
Namun Bu Norma tetap menjaga ketenangan wajahnya, dengan cara menaruh kantong plastik yang ada ditangannya itu di meja kecil dekat ranjang kosong, lalu ia berpaling seolah-olah tidak ada yang aneh.
"Ibu sama sekali tidak tahu apa-apa, Handrian. Kalau memang benar Rosalina pergi, mungkin itu memang sudah keputusannya sendiri. Jadi kamu jangan menuduh Ibu sembarangan. Bukankah dari sebelumnya dia memang ingin pergi darimu, tapi kamu saja yang terus mencegahnya."
Handrian langsung tercekat mendengar perkataan Ibunya itu. Jantungnya berdegup semakin kencang dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Kini ia hanya bisa memandangi ibunya itu dengan tatapan curiga, dan ingin rasanya ia marah pada perempuan paruh baya itu. Tetapi saat itu ia juga sedang terjebak dalam kebingungan yang semakin melumpuhkan.
Bersambung...