NovelToon NovelToon
Renjana

Renjana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Nikahmuda / Spiritual / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:220
Nilai: 5
Nama Author: idrianiiin

Allah akan menguji iman masa mudamu dengan didatangkannya sosok yang dulu pernah diminta. Seseorang yang selalu riuh dalam doa, dipuja, serta kerapkali dijadikan sebagai tujuan utama.

Dihadapkan pada dua pilihan, bukan perihal dia lagi yang harus diperjuangkan, melainkan Dia-lah yang jauh lebih pantas untuk dipertahankan. Hati bersorak agar kukuh pada pendirian, tapi bisikan setan tak kalah gencar melakukan perlawanan.

Perkara cinta dan dunia memang tak dapat dipisahkan, terlebih jika sudah menyangkut ihwal iman yang kadangkala turun tanpa pemberitahuan.

Lantas siapakah yang kini harus diprioritaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rahasia

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Bukan bermaksud untuk menunda, hanya sedang mencari waktu yang tepat saja. Tidak tergesa-gesa, tidak pula terlalu lama."...

...°°°...

Sebening syahadat, begitulah yang tertera jelas di sampul buku yang tengah dipegangnya. Novel terbitan tahun 2016 karya Diva Sinar Rembulan, berlabel best seller dan segera difilmkan. Berjumlah sekitar 400 halaman lebih, Melvana Media itulah nama penerbit yang menjadi tempat percetakannya.

Di belakangnya terdapat blurb yang menarik, apik, serta ciamik. Membuat siapa pun jatuh hati dan ingin membaca kisah di dalamnya. Begitupun dengan Haidar, hatinya tergerak untuk membaca karya fiksi yang kemarin didapatnya dari seseorang, siapa lagi jika bukan Anindira Maheswari.

Pada saat membuka halaman pertama, tertera judulnya dengan ukuran cukup besar, terdapat space kosong di bagian atas dan bawahnya. Tepat di bawah tanda tangan penulis, dia terpaku dan terpikat pada tulisan tangan yang begitu rapi dan indah.

Kota Tua, saya datang!

Menjelajah penjuru negeri merupakan mimpi yang saya idam-idamkan, dan Kota Tua menjadi salah satu tempat incaran. Jika Haba dan Sam disatukan karena perbedaan yang membentang, maka izinkan saya untuk dibersamakan dengan dia yang seiman. —Anindira Maheswari—

Baru di halaman pertama, dan belum sampai pada kisah para tokoh utama, tangan Haidar sudah bergetar dibuatnya. Gejolak dalam dada pun memberontak dengan begitu hebat, napas pria itu tercekat beberapa saat.

Perlahan tapi pasti tangannya bergerak untuk membuka lembar demi lembar halaman buku tersebut, dia benar-benar larut dalam bacaan bahkan tidak sadar sudah sekitar satu jam lebih bercengkrama dengan karya sastra tersebut.

Padahal dia bukanlah termasuk orang yang gemar membaca, apalagi novel yang merupakan fiksi dan karangan belaka. Dia lebih menyukai komik karena tidak membosankan dan terhibur karena gambar yang disuguhkan. Namun, sepertinya asumsi itu terpatahkan. Kini dia jatuh cinta dan benar-benar masuk ke dalam cerita.

Haidar berhenti di halaman 287, Perjalanan Hati begitulah judul yang tertera di sana. Refleks dia pun meraba kalung Rosario yang melingkar apik di lehernya. Dia merapatkan matanya cukup lama, bahkan tangan itu tak terlepas dari bandulnya.

Secara perlahan Haidar pun membuka kedua matanya, mendongak ke langit-langit lebih dulu, lantas kembali melanjutkan kegiatan membacanya. Dada pria itu naik turun dengan napas memburu, terlebih saat membaca tepat di halaman 291 sampai 292, di sana menceritakan tentang wafatnya Nabi Muhammad.

Matanya seketika perih, cairan bening meluncur bebas begitu saja. Telinganya seperti ada yang membisikkan sesuatu, kalimat yang tadi dibacanya sangat amat terngiang-ngiang.

Ummatii, ummatii, ummatiii!

Begitu menyayat hati membaca kisah kematian manusia mulia seperti Nabi Muhammad saw. Ajal tengah datang dengan rasa sakit yang tak terbantahkan, tapi beliau masih memikirkan umatnya.

Masya Allah, bahkan beliau bersedia menanggung sakitnya dicabut nyawa agar umatnya tidak merasakan kesakitan tersebut. Begitu besar rasa cinta yang Nabi miliki untuk umatnya, tapi terkadang kita melupakannya. Hanya sekadar bershalawat saja bibir ini terkadang kelu, tidak mampu.

Allaahumma sholli 'alaa Muhammad wa'alaihi wasahbihi wasallim.

"Bang."

Haidar tersentak, dan dengan segera menghapus kasar air matanya. Memberi senyuman terbaik pada Arhan lantas berujar, "Iya, kenapa?"

"Bang Haidar baik-baik saja?" tanya Arhan setelah mendudukkan diri di atas pembaringan.

Haidar mengangguk mantap. "Baik."

Tangan Arhan terulur mengambil novel yang tergeletak di ranjang dan masih terbuka menampilkan deretan kata. "Sejak kapan Bang Haidar suka membaca novel?"

"Iseng aja, kemarin ada yang ngasih," jawabnya.

Arhan terdiam beberapa saat, dia jadi teringat pada seseorang. Perempuan yang kerapkali memberikan dirinya novel lengkap disertai dengan tulisan tangan berisi kutipan indah mengusik relung hati.

Kira-kira bagaimana kabarnya?

"Kok malah bengong, kenapa?" cetus Haidar berhasil menarik Arhan dari lamunan.

Arhan tersenyum tipis. "Gak papa, tiba-tiba keinget seseorang."

Mata Haidar menyelidik lebih dalam. "Siapa?"

"Rahasia."

Haidar berdecak. "Paling juga gak jauh-jauh dari perempuan."

Arhan tertawa kecil untuk menutupi kegelisahan hati karena sang kakak menebak dengan benar.

"Oh, ya siapa emang yang ngasih novel ini?" tanya Arhan penasaran.

"Rahasia."

Keduanya lalu tertawa bersama. Menertawakan sesuatu yang mereka anggap sebagai rahasia. Namun, tanpa disadari, rahasia mereka adalah orang yang sama. Sosok perempuan penyuka duha dan senja.

"Bapak, Ibu, sama Arhan mau ke masjid, salat magrib jamaah sekaligus ikut kajian. Bang Haidar gak papa di rumah sendiri?"

"Abang ikut gak papa?"

Arhan mengerjapkan matanya beberapa kali, dan refleks dia pun mengangguk. "Boleh, tapi—"

"Abang nunggu di pelataran masjid, di rumah sendirian suntuk," potongnya cepat.

Arhan pun mengangguk semangat.

Haidar melepas kalung Rosario miliknya, dan memasukan ke dalam laci. Hal itu tak lepas dari pandangan Arhan, dia benar-benar melihat setiap pergerakan sang kakak.

"Gak dilepas juga gak papa, Bang," katanya.

Haidar menggeleng. "Supaya kita terlihat sama."

Arhan tersihir kalimat singkat yang dilayangkan Haidar, terlihat sama. Dua kata itu benar-benar terpatri apik dalam ingatannya.

"Pake kemeja sama celana gak papa, kan?" tanyanya memastikan.

"Pake apa aja yang penting sopan," sahut Arhan.

Penampilan Haidar dan Arhan cukup bertolak belakang, Haidar yang lebih memilih menggunakan kemeja hitam serta celana panjang berwarna senada. Sedangkan Arhan berkoko, bersarung, dan berpeci.

Haidar memasukan novelnya ke dalam tas kecil lantas diselempangkan di bahu. "Supaya nunggunya gak bosen dan ada temen."

Arhan mengangguk saja.

Keduanya lantas berjalan beriringan menuju pekarangan rumah, di mana Anjar dan Asma sudah menunggu.

"Haidar ikut gak papa, kan?" tanyanya pada sang ayah dan juga ibu sambung.

Anjar tersenyum dengan begitu lebar lantas merangkul bahunya lembut. "Tentu saja boleh."

"Arhan sama Ibu, Bang Haidar sama Bapak," katanya yang tentu saja langsung disetujui.

"Masjid Baiturrahim, Ar."

Perkataan sang ayah menghentikan gerak tangan Arhan yang akan menghidupkan motor. Dia pun mengangguk lemah.

"Kok mendadak lesu saat Bapak kasih tahu nama masjidnya?" tanya Asma setelah duduk nyaman di kursi penumpang.

Arhan tak langsung menjawab, dia lebih memilih untuk menjalankan motornya terlebih dahulu. "Gak papa, kirain Arhan kita akan mencari masjid baru yang belum disinggahi."

Asma melirik ke sekitar lantas berujar, "Ibu mau ikut tadarus Al-Kahfi dan juga kajian di sana, kata Bapak bagus dan suka rame oleh jamaah."

Arhan mengangguk setuju, membenarkan perkataan sang ibu. Walaupun dirinya baru satu kali menyambangi masjid itu, tapi berhasil memberi pengalaman yang cukup berkesan.

"Kata Bapak ada perempuan yang kagumi di sana, benar begitu?"

Refleks Arhan pun mengerem mendadak. Terkejut dengan pertanyaan sang ibu yang berhasil membuat dadanya kembali berdetak di ambang batas kewajaran.

"Kalau mau berhenti pelan-pelan, jangan ngerem mendadak!" sembur Asma.

Arhan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lantas berkata, "Maaf, Bu gak sengaja."

"Siapa nama perempuan itu?"

Arhan menoleh dan meneguk ludahnya susah payah. "Nanti kalau sudah positif Arhan kasih tahu Ibu."

Mata Asma melotot tajam dan mencubit keras pinggang sang putra. "Kamu jangan aneh-aneh yah. Positif? Jangan berani-beraninya kamu menodai anak gadis orang!"

Arhan tertawa dan gelang-gelang. "Astagfirullahaladzim, gak ada sedikit pun niat dan kepikiran sampai sana. Maksud Arhan itu positif diberi lampu hijau oleh orang tuanya."

"Gimana caranya dapat lampu hijau, orang kamu diam di tempat karena terjebak lampu merah," ungkap Asma saat motor yang ditumpanginya kembali melaju.

"Arhan gak mau melangkahi Bang Haidar, Bu," terangnya.

Asma mengelus lembut bahu sang putra. "Jangan menunda-nunda niat baik, kalau keburu dipinang orang lain bagaimana?"

"Berarti itu namanya kita tidak berjodoh."

...—BERSAMBUNG—...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!