PULAU HANTU

Hujan deras tak kunjung reda, memukul permukaan tanah dengan ritme yang nyaris seperti genderang perang.

Pak Jono terhuyung, tubuhnya gemetar menahan dingin dan luka-luka yang sudah terlalu lama ia biarkan terbuka.

Jalur sempit yang ia injak terus berguncang, tanahnya gembur, seolah siap menyeret siapa pun yang berani melintas. Nafasnya memburu, matanya nanar.

Di belakangnya, suara lembah yang runtuh terdengar seperti raungan monster raksasa,gemuruh batu, pohon tumbang, dan jeritan angin yang tak pernah berhenti.

Semua seakan bersatu dalam orkestra kehancuran.

“Ya Allah… beri aku jalan…!”

gumamnya, setengah berdoa, setengah merintih.

Sisa jalur yang tersisa di hadapannya tidak lebih lebar dari dua telapak kaki orang dewasa.

Di kiri-kanannya menganga jurang gelap, dalam, yang menelan segala suara dengan rakus. Sekali terpeleset, tak ada yang bisa menolong.

Pak Jono merangkak, kedua tangannya berlumuran lumpur.

Kukunya penuh tanah, wajahnya dipenuhi cipratan hujan bercampur darah kering. Setiap gerakan seperti pertaruhan hidup dan mati.

Di tengah perjalanan, ia berhenti. Kepalanya menoleh ke belakang. Sekilas, di sela kabut dan hujan, ia seakan melihat sosok Gilang berdiri di atas tebing yang hampir roboh. Wajah Gilang pucat, matanya kosong, tubuhnya separuh hancur.

“Pak… kenapa… bapak tinggalkan kami?” suara itu lirih, terbawa angin, namun jelas menusuk telinga Jono.

Pak Jono menutup matanya keras-keras, berusaha mengabaikan bayangan itu. “Itu hanya halusinasi… hanya halusinasi…” gumamnya, namun dadanya makin sesak. Seolah rasa bersalah benar-benar berwujud, mengikuti langkahnya.

Ia terus maju, memaksa tubuhnya menapak pada jalur licin itu. Namun ketika tinggal beberapa meter lagi menuju mulut gua yang terlihat aman, tanah di bawah kakinya tiba-tiba longsor.

“ASTAGHFIRULLAH!”

Pak Jono terhempas ke samping, tubuhnya bergelantung hanya dengan satu tangan yang berhasil mencengkeram akar pohon yang mencuat dari dinding jurang. Kakinya meronta, menggantung di atas kehampaan. Suara deras air sungai jauh di bawah sana terdengar menakutkan.

Tangannya nyaris terpeleset karena licinnya lumpur. Jari-jarinya kaku, tenaga terkuras. Detik-detik itu seperti menertawakan segala perjuangannya selama ini.

“Tidak… tidak di sini… aku belum menyerah…” katanya, bibirnya bergetar menahan dingin dan putus asa.

Dengan sisa tenaga, ia ayunkan tubuhnya, mencari pijakan pada tonjolan tanah. Dua kali gagal, dan pada ayunan ketiga ia berhasil menjejak batu kecil di sisi tebing. Dengan teriakan panjang bercampur tangis, ia memaksa tubuhnya naik.

Ketika akhirnya ia terkapar di tanah yang lebih kokoh, ia tidak mampu lagi menahan air matanya. Hujan deras menutupi isakannya, namun dada yang naik-turun menandakan betapa hancurnya jiwa seorang laki-laki yang terlalu lama bertahan sendirian.

Pak Jono kembali berjalan, meski tubuhnya sudah seperti tinggal rangka yang dibalut daging. Ia menembus kabut, melintasi pepohonan yang semakin jarang. Anehnya, hujan perlahan mereda, diganti dengan keheningan mencekam.

Di hadapannya kini terbentang sebuah lapangan datar yang tidak ia kenal sebelumnya. Rumputnya hitam, tanahnya retak, dan di tengahnya berdiri sebuah batu besar menyerupai altar. Batu itu penuh dengan ukiran simbol aneh,lingkaran, mata, dan figur-figur manusia yang seakan menari.

Pak Jono tertegun. “Apa… ini?”

Seolah menjawab, suara bisikan terdengar dari segala arah.

“Kami menunggu…”

“Kami lapar…”

“Kau adalah yang terakhir…”

Pak Jono memegangi telinganya, berusaha menutup suara-suara itu, tapi bisikan itu datang dari dalam kepalanya sendiri. Tubuhnya goyah, jantungnya berdegup tak karuan.

Ia tahu, ini bukan sekadar halusinasi akibat lapar atau luka. Ada sesuatu di pulau ini, sesuatu yang jauh lebih tua dari manusia, yang sedang mempermainkannya.

Dengan langkah sempoyongan, ia menjauhi altar itu. Namun setiap kali ia menoleh, ia merasa simbol di batu itu berpendar samar, seperti mata yang mengawasinya.