Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 – Rumah yang Pernah Menyebut Namamu
Mobil hitam itu berhenti pelan di depan rumah sederhana bercat putih kehijauan. Sebuah rumah yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kota, tapi menyimpan begitu banyak cerita yang belum selesai.
Fatur duduk di kursi penumpang depan. Kedua tangannya menggenggam lutut. Matanya menatap pagar rumah itu… yang entah mengapa, membuat napasnya menjadi berat. Wina, duduk di belakangnya, ikut diam. Dia tahu, saat ini bukan waktu yang mudah bagi siapa pun—terutama bagi pria di depannya.
Dari luar pagar, terdengar suara burung perkutut yang bersahutan. Hembusan angin sore menerpa pelan wajah mereka.
“Siap?” bisik Wina.
Fatur hanya mengangguk pelan.
Mereka melangkah keluar dari mobil, menyusuri jalan kecil menuju pagar rumah. Ketika mereka membuka gerbang besi kecil itu, seorang perempuan paruh baya duduk di teras rumah, di atas bangku kayu panjang yang sudah tua.
Ibunda Ale.
Wajahnya terlihat teduh, berkerudung warna biru muda, dan mengenakan daster batik. Di tangannya ada kain rajut yang belum selesai. Tapi tangan itu berhenti bergerak saat melihat sosok Fatur dan Wina masuk halaman.
Mata perempuan itu—yang menyimpan ratusan malam tangis—melebar.
Pelan, ia bangkit berdiri, menyisakan kain rajut yang jatuh ke lantai.
Langkah kakinya gemetar, tapi matanya tak pernah lepas dari wajah Fatur.
“A… Ale?” gumamnya.
Fatur berhenti melangkah. Ia berdiri tak jauh dari anak tangga teras itu, tubuhnya kaku seperti patung. Dadanya bergemuruh, pikirannya dipenuhi gema kata yang belum pernah ia dengar… tapi terasa dekat.
“Maaf, Bu,” katanya akhirnya, suaranya serak. “Saya… bukan Ale. Saya Febriansyah Fatur Fahrezi.”
Perempuan itu menahan napas. Matanya mulai berkaca-kaca.
Dari dalam rumah, dua anak laki-laki keluar—Aldo dan Aldi, adik kembar Ale. Mereka berdiri bingung, tapi tak lama ikut terpaku melihat wajah Fatur.
“Kayak… Kak Ale,” bisik Aldi pelan.
“Persis…” gumam Aldo.
“Maaf,” kata Fatur sekali lagi, suaranya mulai patah. “Saya hanya… ingin datang ke sini. Ada yang ingin saya cari. Tapi saya belum tahu siapa saya sebenarnya.”
Perempuan itu—ibunda Ale—tak langsung menangis. Ia hanya melangkah perlahan menuruni anak tangga, lalu berdiri di depan Fatur. Tangannya terangkat, ragu-ragu… sebelum akhirnya menyentuh wajah Fatur dengan lembut.
“Saya tahu ini kamu,” katanya. “Meskipun kamu lupa semuanya… hatiku tidak pernah lupa wajah anakku sendiri.”
Fatur menunduk. Air matanya menetes pelan, walau ia tidak tahu kenapa ia menangis.
Wina berdiri di samping, menatap pemandangan itu dengan dada yang sesak.
> Ia tahu: mata itu milik Fatur, putra kedua Abah Rahman.
Tapi jiwanya—jiwanya adalah Ale, mahasiswa yang pernah membuat hidup Wina berubah selamanya.
Di belakang, adik-adik Ale melangkah pelan, dan salah satunya berkata,
“Kak Ale pernah bilang… kalau suatu hari nanti, kalau dia pergi jauh… dan kembali dengan nama lain, kita harus tetap mengenalnya dari matanya.”
Padahal matanya yang sekarang bukan mata Ale. Fatur menoleh. Mata itu. Mata yang kini bukan miliknya—tapi milik orang yang sudah tiada, yang tertinggal dalam tubuhnya.
Dan untuk pertama kalinya, Fatur berbisik sendiri,
> “Kalau aku memang dia… kenapa aku merasa seperti tamu di rumah ini?”
Wajah yang Tersimpan di Dinding
Sore mulai bergeser ke senja, menumpahkan warna jingga ke seluruh ruangan rumah kecil itu. Fatur duduk diam di ruang tamu, di sofa usang yang empuknya mulai kendur, ditemani secangkir teh manis dan aroma kayu yang menguar dari lantai tua. Di sekelilingnya, Wina duduk bersisian, matanya terus mengamati wajah Fatur yang terlihat mulai goyah.
Di atas dinding ruang tamu, berjejer foto-foto dalam bingkai kayu cokelat tua. Beberapa terlihat sudah mulai memudar warnanya. Tapi satu foto mencolok perhatian Fatur—seorang pemuda berseragam jaket kampus Wira Dharma, berdiri dengan latar pohon Angsana.
> Itu… dirinya. Atau setidaknya, seseorang yang wajahnya tak berbeda darinya.
Fatur berdiri perlahan, mendekati dinding itu. Jarinya menyentuh permukaan kaca bingkai.
“Ini...?” tanyanya nyaris berbisik.
Ibunda Ale, yang baru saja datang dari dalam membawa sebuah album lusuh, menjawab pelan, “Itu Ale. Anakku.”
Fatur menoleh, matanya tak lepas dari wanita itu.
“Ini album foto dia, dari kecil sampai terakhir sebelum... kejadian itu,” lanjutnya sambil menyodorkan buku besar bersampul kain biru.
Dengan tangan gemetar, Fatur membuka halaman pertama. Di sana, seorang bayi lelaki tersenyum polos, dibalut selimut biru muda. Di halaman berikutnya, foto-foto masa taman kanak-kanak, SD, SMP. Wajah Ale… perlahan bertumbuh. Sama. Selalu sama.
Sampai akhirnya ia menemukan foto Ale saat mengenakan jas almamater universitas. Latar kampus Wira Dharma. Senyumnya… teduh, tapi misterius.
“Dia kuliah di jurusan Hukum,” kata bunda Ale, duduk perlahan di sebelah Fatur. “Sama seperti kamu, ya?”
Fatur tak bisa menjawab. Tenggorokannya kering.
Bunda Ale menatapnya dengan mata lembut tapi berkabut. “Tiga tahun lalu... kami dikabari bahwa bus pariwisata yang membawa mahasiswa mengalami kecelakaan di daerah Jogja timur jalan Bali. Banyak korban... dan Ale termasuk dalam daftar yang ‘tidak ditemukan.’ Tapi… tak pernah ada jenazahnya. Tak ada yang bisa memastikan. Sampai sekarang, aku tetap percaya, dia belum benar-benar pergi.”
Wina menunduk. Hatinya remuk menyaksikan semua ini. Ia tahu Fatur merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Seolah tubuhnya memanggil masa lalu, tapi pikirannya menolaknya.
“Aku…” Fatur menarik napas dalam. “Aku merasa... ada yang ingin keluar dari ingatanku. Tapi semuanya gelap. Cuma suara... dan kilasan-kilasan aneh.”
Ia menatap Wina. “Aku ingin tanya ke Abah. Kenapa aku seperti ini? Siapa sebenarnya aku?”
Bunda Ale tersenyum pelan, tapi ada air mata yang tertahan di pelupuk matanya.
“Kamu boleh datang kapan pun, Nak. Kalau kamu bukan Ale… tak apa. Tapi kalau kamu Ale, dan lupa segalanya, aku tetap akan memelukmu.”
Fatur menunduk, mencengkeram album itu erat.
Di luar, senja sudah hampir habis. Tapi di dalam hati Fatur, cahaya baru mulai menyala. Cahaya dari masa lalu yang menunggu untuk ditemukan… dari kenyataan yang tak bisa lagi dibantah.
Bab ini menyajikan pertemuan tanpa konfirmasi langsung, karena Fatur sendiri belum yakin. Tetapi emosi, naluri keibuan, dan kesamaan wajah menjadi kekuatan yang mengaduk rasa. Keluarga Ale tidak memaksa, tetapi menyambut. Dan kini, dilema identitas Fatur semakin dalam dan pelik. Membuka ruang refleksi yang dalam bagi Fatur. Ia kini tak hanya meragukan identitasnya, tapi juga mulai merasa bahwa kebenaran telah disembunyikan darinya, dan satu-satunya yang bisa memberikan jawaban adalah Abah Rahman.
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup