Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Bersumpah Tak Akan Pernah Menikah
Sore itu, Ben dan Hayaning bersiap untuk pulang, namun rencana mereka seketika tertunda saat kabar mendadak datang—Lara, istri Sean, telah memasuki proses persalinan. Kegaduhan pun segera memenuhi rumah utama Soedjono.
"Titi sama Kakung bisa duluan susul Mas Sean ke rumah sakit. Aku nanti menyusul," ucap Ben dengan tenang, mencoba meredakan kekacauan yang terjadi di sekitarnya.
Segalanya serba kerepotan karena masing-masing memiliki kepentingan yang mendesak. Djaksadaru yang harus segera ke istana karena panggilan mendadak dari presiden, sementara Natha pun harus kembali ke bandara untuk bekerja. Pranadipa tak bisa ikut karena ada pertemuan online dengan dosennya yang tak bisa ditinggalkan.
"Kamu ikut dengan saya, Hayaning," kata Ben dengan cepat. Ia menggenggam tangan Hayaning, memimpin mereka menuju mobil.
Hayaning yang sedikit terkejut dengan situasi yang mendadak berubah, hanya mengangguk dan mengikuti langkah Ben.
Ben membuka pintu mobil, menunggu Hayaning masuk lebih dahulu sebelum ia ikut masuk ke dalam dan menutup pintu. Mesin mobil dihidupkan, dan mereka segera melaju menuju rumah sakit.
•••
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ben bisa melihat ketegangan yang begitu pekat meliputi sang kakak, Sean didalam sana yang tengah membantu istrinya dalam menahan kontraksi.
"Kalian semua luar biasa ya, semuanya sigap," ujar Hayaning dengan kagum, melihat keluarga Ben yang begitu sigap saling membantu.
Ben menoleh kearah Hayaning, "ya keluarga saya memang seperti ini."
Tak ada lagi pembicaraan diantara mereka ketika teriakan Lara semakin keras didalam sana.
Dan ketika waktu berjalan semakin maju sebuah keajaiban telah hadir dimuka bumi, suar ketegangan itu tergantikan dengan ungkapan penuh syukur atas lahirnya anak Sean dan Lara.
Kebahagiaan menyelimuti mereka tak luput kepada Hayaning yang ikut senang. Diapun diajaknya masuk kedalam dan diperlihatkan juga diperkenalkan seorang bayi perempuan yang baru saja dilahirkan.
"Cantik sekali, dia... Begitu kecil." Hayaning ikut haru menatap manusia kecil yang menggeliat dipelukan ibunya.
Ben tersenyum tipis melihat interaksi antara Haya dan Lara, dan perubahan ekspresi wajahnya tentu saja di perhatikan oleh Sean.
Sean sendiri memiliki firasat, bahwa akan ada bom waktu yang akan meledak antara Ben dengan nona-nya itu.
Ya, kita lihat saja nanti.
•••
"Saya pesankan burger, mau? Kita Drive-thru saja," tawar Ben kepada Hayaning yang sejak tadi belum makan apa pun.
Hayaning mengangguk pelan, pandangannya terarah ke luar jendela, memperhatikan gemerlap lampu disepanjang jalan yang berpendar di tengah malam.
Ben melajukan mobil ke jalur drive-thru dan memesan dua paket burger lengkap dengan kentang goreng serta minuman. Sementara itu, Hayaning masih terdiam, jemarinya saling bertaut di pangkuannya.
"Kamu capek?" tanya Ben setelah menerima pesanan dan kembali ke jalan raya.
"Sedikit," jawab Hayaning jujur.
Ben melirik sekilas sebelum kembali fokus menyetir. "Ya sudah, makan dulu saja."
Hayaning menerima makanannya, membuka bungkusan dengan perlahan, lalu mulai menyantapnya dalam diam. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diisi suara pelan dari radio dan gemerisik bungkus makanan.
Malam itu juga, Ben memutuskan untuk segera membawa Hayaning pulang. Ada hal yang perlu ia ketahui terkait penyelidikan Farel, kakak ketiga Hayaning, yang kini telah mendapatkan perkembangan baru dari detektif yang ia pekerjakan.
"Perjalanan kita bakal memakan waktu banyak, kamu yakin mau nyetir sepanjang malam?" Tanya Hayaning akhirnya membuka suara kembali. Ia khawatir pria itu kelelahan.
Ben tersenyum tipis, "saya sudah terbiasa, tidak apa-apa kamu istirahat saja. Mungkin nanti kalau lelah saya berhenti pelan-pelan di jalan yang lenggang atau kita mencari penginapan yang dekat pusat kota."
Hayaning menarik perhatiannya kearah lain, "yasudah terserah kamu saja Ben."
Ben hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. Malam semakin larut, dan jalanan semakin lengang.
Waktu berjalan cepat, lalu Ben menoleh kearah sisinya, ternyata Hayaning sudah tertidur, Ben menghentikan mobilnya sejenak lalu mengatur dudukan kursinya lebih rendah agar Hayaning bisa tidur lebih nyaman.
Setelah itu, ia mengambil selimut kecil yang sengaja ia bawa, lalu dengan hati-hati menyelimutinya ke t*buh Hayaning dengan hati-hati. Wajahnya terlihat lebih tenang saat tertidur, napasnya teratur, dan rambut panjangnya sedikit berantakan karena tidurnya.
Ben tengah mengupayakan, ia tengah mengupayakan untuk mengacaukan Pertunangan Hayaning dengan calonnya yang bedebah itu. Sudah Ben katakan bahwa ia akan melindungi Hayaning dari keluarganya yang problematik.
•••
Ketika membuka mata, Hayaning mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang tak asing baginya. Namun, yang membuatnya terkejut adalah lingkaran lengan yang melingkari pinggangnya dari belakang.
Ia tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa itu—aroma wangi khasnya sudah cukup memberinya jawaban.
"Pukul sembilan," gumamnya pelan saat matanya menangkap angka di jam weker di atas nakas.
Ia hendak bangun, tetapi pelukan itu justru semakin erat, membuatnya sulit bergerak.
“Jangan dulu,” suara Ben terdengar serak di belakangnya.
Hayaning menghela napas pelan. “Ben, sudah pagi.”
“Tapi masih terlalu pagi untuk berpisah,” balas Ben dengan nada malas-malasan.
"Kamu bukannya ada keperluan penting? Ini sudah jam sembilan."
"Sudah selesai."
"Hah? Kapan?"
"Dini hari. Saya sudah menyelesaikan urusan saya."
"Kamu ngga langsung istirahat?"
"Istirahat. Tapi baru tidur jam empat pagi."
Hayaning mendesah pelan. "Benji..." nada suaranya terdengar sedikit menegur.
Ben hanya terkekeh. "Saya baik-baik saja."
"Tapi Ben, kita tidak boleh seperti ini."
"Kenapa?"
"Karena kita bukan sepasang kekasih."
Keheningan meliputi mereka. Hayaning akhirnya berhasil melepaskan diri dari pelukan Ben.
"Tapi kita hanya partner. Dan secara keseluruhan, kita adalah atasan dan bawahan. Nona dan seorang pengawal. Benarkah, Benji?"
Hayaning ingin melihat reaksi Ben, ingin tahu apakah ada secercah harapan baginya.
Ben menatapnya sejenak sebelum menghela napas. "Ya... kita hanya partner."
Hayaning tersenyum, tapi ada sesuatu dalam matanya yang meredup. Ia segera masuk ke kamar mandi, menutup pintu dengan tenang. Namun, begitu punggungnya bersandar di permukaan pintu, bahunya melemas.
Ben seharusnya merasa lega telah mengatakan apa yang harus dikatakan. Hubungan mereka seharusnya hanya sebatas itu.
Namun, mengapa kata-kata itu membuatnya kesal?
"F*ck!" Umpatnya dengan kesal kepada dirinya sendiri.
Ben berpikir realistis, sejujurnya ia memang menyukai perempuan itu, tetapi hanya sampai di situ. Tidak lebih. Sama seperti yang selalu ia tekankan pada dirinya sendiri—bahwa ia tak akan pernah lagi menyelami perasaan picisan, tak akan terjebak dalam ilusi romansa yang absurd.
Seperti cinta Romeo dan Juliet, Layla dan Majnun, atau kisah klasik lainnya hanyalah pembodohan. Sebuah kebodohan yang tak ingin ia rasakan dan ulangi lagi.
•••
Lima tahun lalu. New York City.
"Ben, aku harus segera pergi." Ucap Louisa terburu-buru memakai pakaian khusus untuk melakukan misi.
Ben dengan dada polos segera bangkit dari ranjang tidur. "Really sweetheart? Kita sudah sepakat untuk liburan selama satu minggu bersama. Kamu sudah berjanji sejak lama, lagipula organisasi memberikan kita izin, tak ada pula pesan yang mereka kirimkan padaku."
"Aku memiliki misi khusus, ini job tambahan untukku." Balas Louisa.
Ben hanya bisa menghela nafas panjang ketika untuk kesekian kalinya Louisa selalu saja mengutamakan pekerjaannya dibandingkan hal lain, termasuk dirinya.
"Lou, kita bahkan baru sampai kemarin," Ben berusaha menahan nada suaranya agar tetap tenang, meski jelas ada kekecewaan di sana. "Apa ini benar-benar tidak bisa ditunda?"
Louisa berhenti sejenak, menarik napas sebelum berbalik menatap Ben. "Ben, kamu tahu bagaimana pekerjaan kita. Aku tidak bisa menolak ini."
Ben mengepalkan rahangnya, menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang mungkin akan ia sesali nanti. "Lalu, kapan kamu kembali?"
Louisa tersenyum tipis. "Secepat yang aku bisa."
Ia melangkah mendekat, mengucup singkat bibir Ben sebelum mengambil tasnya. "Jangan terlalu merindukanku," ujarnya, mencoba meredakan suasana dengan nada menggoda.
Namun, Ben hanya diam. Ia tahu betul, janji Louisa tidak selalu bisa dipercaya. Ini bukan pertama kalinya, dan ia sudah terlalu sering dipaksa untuk terbiasa dengan situasi seperti ini.
Saat pintu tertutup dan langkah Louisa menjauh, Ben membiarkan tubuhnya jatuh kembali ke ranjang. Menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang terus berputar.
"Sial!"
Ia mencintai Louisa. Mungkin terlalu dalam hingga ia rela menutup mata pada banyak hal.
Ketika hubungan mereka melangkah ke jenjang yang lebih serius, Louisa datang membawa kabar bahwa ia sedang mengandung. Ben tak pernah meragukan keinginannya untuk menikahi perempuan itu. Ia ingin bertanggung jawab, ingin membangun keluarga kecil bersama Louisa.
Namun, dunia tidak pernah sesederhana itu.
Sehari sebelum pernikahan mereka, kenyataan menghantamnya tanpa ampun. Louisa telah berselingkuh—dengan anak seorang menteri. Dan lebih buruk lagi, anak yang dikandungnya bukanlah darah daging Ben.
Itu seharusnya menjadi akhir. Seharusnya menjadi alasan bagi Ben untuk pergi dan tidak lagi menoleh ke belakang. Tapi, seperti pria bodoh yang sudah terlalu dalam mencintai, ia justru berkata bahwa ia tetap akan menikahi Louisa, tetap akan menerima anak itu sebagai miliknya.
Hanya saja, kebodohan terbesar Ben bukanlah mencintai Louisa, melainkan tidak menyadari siapa sebenarnya perempuan itu.
Selama ini, Louisa ternyata seorang mata-mata musuh yang sejak awal menargetkan Ben, agen handal yang banyak diinginkan banyak organisasi untuk bekerja sekaligus menjadi ancaman bagi organisasi lain.
Semua pertemuan, semua kebersamaan, semua janji yang diucapkan Louisa, tidak lebih dari strategi yang telah dirancang dengan sempurna.
Dan Ben menyadari semuanya dengan cara paling kejam.
Malam sebelum pernikahan mereka, saat ia menatap Louisa dengan cinta dan kepercayaan yang tersisa, perempuan itu membalasnya dengan satu tembakan.
Pel*ru yang melesat nyaris menghabisi nyaw*nya.
Ben mengalami koma selama dua minggu, dan ketika akhirnya ia sadar, dunia yang ia kenal telah runtuh. Kabar tentang pengkhianatan Louisa menyambutnya seperti belati yang menghujam tanpa ampun.
Meskipun ia tahu bahwa Louisa melakukan semua itu karena diancam oleh selingkuhannya, anak menteri yang ternyata pemimpin dari salah satu organisasi yang memburu Ben, kenyataan itu tidak membuat luka di hatinya menjadi lebih ringan.
Dikhianati tetaplah dikhianati.
Louisa sempat datang, menangis dan memohon ampun, berusaha meyakinkan Ben bahwa ia menyesal. Tapi Ben sudah kehilangan kepercayaan, kehilangan hati yang dulu ia berikan sepenuhnya kepada perempuan itu. Ia sudah mati rasa.
Berbulan-bulan setelahnya, Ben tenggelam dalam kehancuran. Ia berubah menjadi pria yang hanya mengenal botol alkohol dan ranj*ng tempatnya terbaring, mabuk setiap hari. Tak jarang, ia menenggak obat-obatan tanpa peduli akan batasannya.
Sampai pada satu titik, ia hampir m*ti karena overd*sis.
Sean, sang kakak, yang menyadari keadaannya semakin buruk, akhirnya turun tangan. Dengan caranya yang tegas dan tak memberi ruang untuk perlawanan, Sean menyeretnya keluar dari kehancuran. Ia memaksa Ben untuk bangkit, memulihkan diri, dan meninggalkan kebiasaan gelapnya.
Tapi apa yang kembali bukanlah Benjamin yang dulu. Ia bukan lagi pria yang bisa merasakan cinta atau percaya pada seseorang. Ia menjadi lebih dingin, lebih tak berperasaan.
Dunia malam pun menyambutnya dengan tangan terbuka. Alkohol, wanita, dan kegelapan menjadi pelariannya yang baru.
Namun, semua kebebasan itu akhirnya sampai juga ke telinga tetua sehingga menggemparkan rumah utama dan membuat Eyang Kakung amat murka.
Ben mendapatkan hukuman keras dari Eyang Kakung—hukuman yang cukup untuk membuatnya sadar bahwa ia telah menjadi pria buruk nan bajingan.
Sementara itu, Eyang Putri hanya bisa menangis, hatinya hancur mendapati kenyataan Benjamin, cucu yang paling ia sayangi dari yang lainnya menjadi pria yang hampir kehilangan arah hidupnya.
Ben yang selama itu tidak pernah peduli akhirnya menyerah saat melihat perempuan tua itu menitikkan air mata karenanya, bahkan sampai memohon-mohon. Ia tak pernah bisa membiarkan orang yang paling disayanginya menangis karena dirinya.
Sejak kecil, ibunya selalu mengajarkannya bahwa seorang pria tidak boleh menyakiti perempuan, apalagi sampai berani melayangkan tangan untuk mengkasarinya. Dan meskipun hidup telah membentuknya menjadi seseorang yang keras dan dingin, ajaran itu tetap melekat kuat dalam dirinya.
Lambat laun, ia mulai meninggalkan semua kebiasaan kotornya. Meski label pria baj*ngan dan Soedjono paling buruk tetap melekat pada namanya, ia tak memperdulikan.
Hanya saja, meskipun ia perlahan berubah, ada satu hal yang tetap tak bisa ia lakukan—percaya lagi kepada cinta.
Ben telah bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah lagi membiarkan perasaan menguasainya. Cinta, bagi Ben, hanyalah kebodohan yang tak pantas ia ulangi lagi.
Namun Ben bukan pria yang bodoh dan cacat akan pemikirannya hanya karena dikhianati satu perempuan, lantas membenci semua perempuan dan menganggap mereka sama saja. Tidak.
Tapi kepercayaan? Itu hal yang berbeda.
Ben bukan hanya tidak bisa lagi percaya kepada cinta dua insan, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia tidak bisa membiarkan hatinya lengah, tidak bisa membiarkan dirinya jatuh ke dalam lubang yang sama.
Jadi, ia memilih jalan yang lebih aman. Ia bisa menghormati perempuan, bisa menjalin hubungan tanpa keterikatan, bisa bersikap seolah segalanya baik-baik saja. Tapi ia tidak akan pernah membiarkan siapa pun masuk kedalam hatinya.
Dan perasaan?
Baginya, itu hanya ilusi yang tak layak lagi ia kejar. Sekali lagi ia tegaskan, bahwa ia telah bersumpah, tidak akan menikah. Tidak akan jatuh cinta lagi. Seumur hidupnya.