Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

1. (PROLOG) Malam Panas Dengan Bodyguard

...•••...

Mereka adalah dua manusia yang seharusnya tidak melanggar batas-batas yang ada.

Tindakan ini tidak bermoral.

Namun, salah satu di antara mereka kini terperangkap dalam sebuah dilema yang memalukan. Sebuah zat yang terkandung dalam minumannya menghangatkan tubuhnya, membangkitkan keinginan yang semakin sulit untuk dibendung.

"Ahhh... Ben..."

Suara Hayaning terlepas begitu saja, meluncur lembut di antara hembusan napas yang terengah. Dalam keheningan kamar hotel, ada perasaan yang begitu kuat dan tak dapat dihindari, seiring tubuhnya bergerak dengan tubuh bodyguard nya.

"Maafkan saya, Nona," ujar Ben dengan suara serak, penuh penyesalan. "Saya tidak bermaksud untuk melanggar batasan ini, apalagi mengambil sesuatu yang begitu berarti bagi Nona."

Haya menggeleng perlahan, suaranya hampir tak terdengar di tengah desahan napas yang semakin berat. "Tidak, ini salahku... aku yang memintanya... aku yang membawa kita ke sini."

Ben berusaha untuk menghentikan semuanya, ingin menarik diri dari situasi yang semakin sulit dikendalikan. Namun, tubuhnya tidak bisa memungkiri nikmatnya peraduan dengan Nona nya ini.

Setiap gerakan, setiap kedekatan, membawa sensasi yang begitu luar biasa, begitu intens dan menggetarkan.

Meski kamar hotel ini jauh dari kemewahan, Ben memastikan kebersihan dan keamanannya sebelum membawa Haya ke sini. Namun, di balik semua itu, pikiran mereka tak bisa sepenuhnya lepas dari kenyataan akan ada penyesalan yang harus dihadapi saat semuanya usai.

Kesalahan ini tidak dapat dihapus, dan keduanya tahu bahwa hubungan yang telah terjalin malam ini akan mengubah cara pandang mereka setelahnya. Tetapi... Mungkin saja hanya bagi Haya.

"Euhhh..."

Haya tenggelam dalam gelombang perasaan yang mengaliri seluruh dirinya, napasnya bergetar seiring sensasi yang menyapu inti miliknya tanpa ampun di bawah sana.

"Ahh..."

Tangan Ben membimbingnya dengan lembut, membuat posisinya berubah kebelakang, dan seketika segalanya terasa lebih intens. Sensasi itu melanda dirinya tanpa henti, menelusup hingga ke sudut-sudut pikirannya yang perlahan kabur, larut dalam keterikatan yang sulit dijelaskan.

Haya menggigit bibir, mencoba meredam suara yang hampir lolos begitu kedua benda kenyal miliknya di remas tangan kekar Ben.

Sensasi ini—hangat, menggetarkan—membuatnya semakin tenggelam, semakin ingin didekap, semakin mendambakan keintiman yang terasa begitu nyata.

“Benji…” Suaranya lirih, nyaris teredam, namun sarat dengan emosi yang sulit dijelaskan.

Ben sedikit tersentak mendengar panggilan itu. Alisnya terangkat meski napasnya masih berat, ia terasa senang mendengar namanya disebut seperti itu oleh Hayaning.

"A—apa boleh aku memanggilmu begitu?" tanyanya, suaranya setengah bergetar di antara keberanian dan rasa malu yang membayangi.

Ben menatap punggung Haya yang masih bergerak lembut dalam dekapannya, napas mereka berpadu dalam panas berhasrat yang memenuhi ruangan. Nama itu—Benji—terdengar asing di telinganya, namun anehnya meninggalkan jejak yang hangat di hatinya.

Haya merasakan sejenak Ben terdiam, seakan tengah mencerna ucapannya. Kegelisahan merayap dalam dirinya, takut telah melampaui batas, namun ia tak mampu menarik kembali kata-kata yang sudah terucap.

“Kalau itu yang Nona mau,” jawab Ben akhirnya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. “Kamu bisa memanggilku apa saja, nona Hayaning.”

Haya terdiam, senyumnya terselip di antara napas yang masih bergetar.

"Ughhh..."

"Ahh..."

Ben merengkuh pinggangnya, jemarinya menguatkan genggaman untuk menggerakkan pinggul Hayaning. “Apa pun yang terjadi malam ini, Nona, maka esok harus kita lupakan segalanya.”

Haya tercenung sesaat. Kalimat itu seperti pisau yang mengiris tipis kebahagiaan semu yang tengah ia genggam.

Namun, ia memilih untuk tetap diam, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang hanya malam ini bisa ia miliki, meski ia tahu, ketika fajar menyingsing, segalanya harus berakhir.

•••

Haya membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lelah, namun hangat yang tersisa di sampingnya membuat kesadarannya bangkit perlahan.

Ia menoleh, mendapati Ben sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kembali jas hitamnya yang semalam sempat tergeletak di lantai bersama dengan pakaian mereka.

Ben tidak melihat ke arahnya, hanya menatap jendela dengan sorot mata yang sulit ia baca. Dalam keheningan itu, detak jantung Haya melambat, seolah menggantikan kehangatan semalam dengan rasa canggung yang menyelinap di antara mereka.

“Ben…” Suaranya terdengar serak, memecah kebisuan yang terasa semakin menekan.

Pria itu menoleh, ekspresinya dingin sekali. “Nona Hayaning, sudah saatnya kita kembali. Saya akan memastikan tidak ada yang mengetahui ini.”

Kata-kata itu menelusup tajam ke dalam dadanya. Begitu dingin, begitu berjarak, seolah menegaskan bahwa semalam hanyalah peristiwa yang tak berarti baginya.

“Apa… semalam hanya sebuah kesalahan bagimu, Ben?”

Suara Haya bergetar, meski ia berusaha keras menyembunyikan luka yang perlahan menggerogoti hatinya.

Ia sadar, pertanyaan itu mungkin terdengar bodoh, tapi ia tak bisa menahannya. Keberanian yang ia kumpulkan terasa rapuh, seperti kaca yang hampir retak. Bagaimanapun, semua ini berawal dari permintaannya sendiri—sebuah permohonan yang lahir dari keputusasaan.

Obat yang secara licik dimasukkan ke dalam minumannya oleh calon suaminya, telah membuatnya kehilangan kendali atas tubuhnya.

Pria yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya ternyata berhati lebih busuk dari yang pernah ia bayangkan. Haya masih mengingat dengan jelas bagaimana ia memergoki calon suaminya bermalam dengan seorang perempuan dari kalangan selebriti.

Tanpa rasa malu atau penyesalan, pria itu terus memainkan intrik perjodohan mereka dengan begitu rapi. Dan kini, seolah belum cukup menghancurkan kepercayaannya, ia bahkan berusaha merenggut harga dirinya.

Mata Haya menatap Ben, mencari sesuatu—penyesalan, rasa bersalah, atau mungkin secuil perasaan yang sama seperti yang ia rasakan. Namun, pria itu hanya berdiri di sana, ekspresinya tetap tak terbaca, begitu dingin dan jauh.

“Semalam,” Ben akhirnya berkata, suaranya rendah dan tegas, “adalah sesuatu yang terjadi karena keadaan memaksa. Saya tidak pernah berniat melangkahi batas dengan Nona.”

Hayaning menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan yang bergemuruh di dadanya. Ia tahu Ben tidak salah. Pria itu hanya menjalankan tugasnya—melindunginya. Apa yang terjadi semalam hanyalah konsekuensi dari situasi yang tak diinginkan. Tapi mengapa rasanya seperti ada sesuatu yang direnggut paksa dari hatinya?

Perlahan, Haya bangkit, menarik selimut untuk menyelimuti tubuhnya. “Kalau begitu, aku minta maaf,” ucapnya akhirnya, suaranya berusaha terdengar kuat meski ada sedikit getaran. “Aku tidak seharusnya melibatkanmu dalam kekacauan hidupku.”

Ben menatapnya dalam diam, sebelum akhirnya berkata dengan nada pelan, hampir seperti bisikan, “Nona tidak perlu meminta maaf. Saya hanya berharap Nona dapat melupakan kejadian malam tadi. Saya berjanji, kejadian semalam tidak akan memengaruhi hubungan kita sebagai atasan dan bawahan."

"Ya kamu benar Ben. Terimakasih atas bantuannya semalam."

Ia hendak bangkit dari ranjang kasur, namun tubuhnya terasa begitu lemas dan kedua kakinya terasa sakit, serta hampir seluruh badannya merasakan pegal yang luar biasa.

Ia mencoba menutupi ketidaknyamanannya dengan mengalihkan pandangan, tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Ben.

Ben memperhatikannya. Ada keraguan dalam matanya sebelum akhirnya ia mendekat, menawarkan lengannya sebagai tumpuan. “Nona, izinkan saya membantu.”

Haya menatapnya, ada sedikit rasa segan yang tergambar jelas di matanya. Namun, ia sadar bahwa dalam kondisi seperti ini, ia tidak bisa memaksakan diri.

“Terima kasih, Ben,” gumamnya pelan, menerima bantuan itu dengan tangan sedikit gemetar.

Dengan gerakan yang tegas namun tetap hati-hati, Ben menggendongnya ala bridal style menuju kamar mandi. Haya tetap menggenggam erat selimut yang menyelimuti tubuhnya, sementara lantai dingin menyentuh ujung kakinya saat ia diturunkan dengan lembut.

"Tunggu sebentar, Ben," ucap Haya tiba-tiba, berbalik dan melepaskan selimut yang membungkus tubuhnya.

Ben sempat terpaku sejenak sebelum buru-buru mengalihkan pandangan. Namun, matanya sempat menangkap ruam-ruam kemerahan di tengkuk Haya—jejak dari kendalinya yang terlepas semalam.

"Ah, ya." Dengan cepat, Ben membalikkan badannya, rahangnya mengeras saat ia menatap lantai kamar mandi yang dingin.

"Maaf," ujar Haya, menyerahkan selimut kepadanya. "Aku akan membersihkan diri dengan cepat."

Ben menerimanya tanpa banyak bicara. “Saya akan menunggu di luar, Nona,” ucapnya singkat sebelum melangkah mundur, menutup pintu dengan hati-hati.

•••

Ketika Haya selesai dengan ritual mandinya. Ia segera membuka pintu kamar mandi, dan ia mendapati kamar itu kosong. Ben sudah tidak ada di sana, tetapi sebuah catatan kecil tertinggal di atas nakas. Haya segera mengambil kertas itu dan membacanya.

Hubungi saya ketika Nona sudah siap. Saya akan menunggu di lobby untuk memastikan semuanya aman. -Ben.

Haya segera mengenakan pakaian semalam. Ia merapikan rambutnya, mencoba menutupi segala jejak dari malam yang baru saja berlalu. Namun, bayangan jelas tentang adegan malam tadi menyapa kembali di kepalanya.

"Oh… Meresahkan, stop Hayaning." Gumam nya frustasi, sembari memukul pelan kepalanya.

Lantas Hayaning menghela nafas panjang. Ia harus kembali pada kenyataan.

Maka, dengan langkah yang agak ragu, Haya keluar dari kamar hotel untuk menuju lobby. Di sana, Ben duduk di sofa dengan postur tegap, matanya tertuju pada layar ponselnya.

Menyadari Haya datang, Ben mengangkat pandangannya, memasukkan ponselnya kedalam saku jasnya dan segera mengambil sikap berdiri.

“Nona, sudah siap?” tanyanya.

Haya mengangguk pelan. “Iya, Ben. Terima kasih.”

Ben mempersilahkan Nona nya untuk jalan lebih dulu. Sampai di parkiran, ia membukakan pintu mobil untuknya dan ia masuk ke pintu kemudi.

Ben merogoh sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Haya—sebuah pil dalam kemasan kecil.

“Maaf, Nona. Semalam kita tidak cukup hati-hati. Ini… hanya tindakan pencegahan. Saya sudah mampir ke apotek tadi.”

Haya menatap pil pencegah kehamilan itu sejenak dengan getir, sebelum akhirnya mengambilnya.

“Terima kasih, Ben,” ucapnya, ia pun menelan obat itu dengan cepat lalu menegak air mineral untuk membantu menelan nya.

Saat mobil mulai melaju, Haya menatap keluar jendela dengan perasaan sedih tak karuan, air mata pun lolos di wajah ayu rupawan nya.

Ben yang melihat pada kaca spion tidak mengatakan apa-apa. Dia tetap fokus pada jalan, memberi ruang pada Nona nya untuk menyelesaikan emosi nya.

Dalam pikirannya, Ben menganggap Haya pasti merasa kecewa sekali sebab sudah dikhianati oleh calon suaminya. Sebatas itu saja, dan Ben tidak menyadari bahwa sebenarnya, Haya bersedih karena dirinya. Karena menaruh perasaan kepada orang yang tak akan pernah bisa Hayaning miliki.

...•••...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!