Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
UJIAN PENGHIANATAN
Seperti yang kukatakan kemarin, hari ini ada ujian. Menurutku, materi ini sangat mudah, karena ini masih mata pelajaran Bahasa Indonesia. Teori yang dipelajari hanya teks anekdot dan juga debat. Bagiku, hal ini sangatlah sederhana, namun aku harus mendapatkan nilai sempurna, alias 100. Maka, akan kupastikan aku tidak akan ada celah kesalahan. Namun, jalannya tak semudah itu, anak ini lagi, anak ini lagi yang selalu mengusik kehidupanku.
“Dion, beri aku contekan sedikit saja,” ujar Voni memelas dengan nada yang sangat pelan, namun aku masih mendengarnya. Dengan malas, aku sengaja melebarkan kertas ulanganku agar gadis pemalas ini dapat melihat jawabanku. Terlihat jelas senyuman gadis pemalas itu di wajahnya yang mungil. Setelah kami selesai berdua mengerjakannya, akhirnya kami menyusun strategi agar tidak mengumpulkan kertas ujian bersamaan.
“Dion, kamu saja duluan yang mengumpulkan, sepuluh menit kemudian baru aku yang mengumpulkan,” ujar Voni berbisik. Akhirnya aku mengumpulkan tugasku lalu kembali duduk di samping Voni (Aku dan Voni satu bangku).
Namun, setelah sepuluh menit kemudian, Voni belum juga bergerak untuk mengumpulkan kertas ulangannya. Dengan rasa penasaran, aku bertanya kepada Voni, “Mengapa kamu belum mengumpulkan, Von?” ujarku dengan berbisik. Lalu Voni tersenyum dan berbisik, “Nanti saja kalau semuanya mengumpulkan, baru deh aku mengumpulkan.” Tanpa rasa curiga, aku mengangguk pelan seakan-akan aku percaya.
Akhirnya semuanya mengumpulkan kertas ujian. Semuanya pun diperbolehkan istirahat, karena bel istirahat juga sudah berbunyi. Seperti biasanya, pada jam istirahat, aku dan Voni akan pergi ke perpustakaan, namun dengan tujuan yang berbeda. Aku akan mengambil beberapa buku yang ingin aku pelajari seperti pelajaran Ekonomi Sumber Daya Alam. Berbeda dengan gadis pemalas ini, dia pasti akan mengambil buku komik atau novel bergenre percintaan. Dasar gadis pemalas!
“Von, ayo ke perpustakaan,” ajakku pada Voni seperti biasanya. Voni menatapku dan memancarkan senyuman anehnya.
“Kamu tidak lihat orang di belakangmu, Dion?” ujar Voni. Aku bingung apa maksudnya, dan baru tersadar, ya, Varo. Varo juga teman satu kelas kami dan bahkan duduk tepat di belakangku. Hmm, padahal mereka sudah hampir dua minggu pacaran, tetapi rasanya belum terbiasa bagiku yang biasanya selalu bersama Voni. Kadang aku berpikir, apakah aku hanya merasa kehilangan sahabat atau bahkan lebih dari itu. Baiklah, akhirnya aku memilih untuk pergi meninggalkan sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.
“Baiklah, have fun,” ujarku dengan nada malas. Aku berjalan menuju perpustakaan. Akhirnya aku mengambil buku Ekonomi Sumber Daya Alam. Sejak dulu aku sangat ingin kuliah di Universitas Padjadjaran, jurusan Agribisnis, karena aku ingin meneruskan usaha orang tuaku. Hubungannya dengan buku ini, ini adalah salah satu pelajaran yang akan dibahas di kuliah nanti. Aku tahu karena aku sering bertanya kepada saudara yang masih kuliah di sana.
Entah sudah berapa halaman aku membaca buku ini, sampai pada akhirnya pandanganku beralih ke arah lain, ke arah suara wanita yang mungkin sedang mengajakku berbicara.
“Kamu mengajakku mengobrol?” tanyaku dengan suara pelan namun terlihat jutek. Terlihat jelas gadis aneh ini sedang gugup, “Hee-hee, i-i-y-a…” ujarnya dengan suara gugup dan nada yang sangat hati-hati.
“Kamu boleh mengajakku mengobrol kalau aku sudah di luar perpustakaan,” ujarku lagi pelan dengan nada jutek dan tatapan elangku. Entahlah mengapa orang-orang mengatakan aku ini manusia yang sangat jutek, dan aku juga bingung mengapa aku malas meladeni perempuan kecuali Voni, si wanita pemalas itu.
Gadis aneh itu pun meminta maaf dan pergi dengan wajah lesu. Kasihan, sih, tetapi hanya saja aku malas melayaninya, takut mereka terbawa perasaan, kan wanita cenderungnya begitu. Bukan aku merasa sok tampan, ya, namun mejaku selalu terisi cokelat dan surat cinta tidak jelas. Jadi, untuk menghindari perempuan merasa aku mencintai mereka balik, yaitu harus jutek kepada mereka.
Melihat waktu yang sebentar lagi masuk pelajaran Matematika, akhirnya aku memilih untuk meminjam buku Ekonomi Sumber Daya Alam ini untuk dibawa ke rumah. Bel masuk pun berbunyi, dan akhirnya aku menuju kelas. Namun, di tengah perjalanan Bu Rosana sebagai guru Bahasa Indonesia menitipkan kertas ulangan yang sudah dikoreksinya. Dengan cepat aku mengambilnya, dan tanpa lupa aku mengambil kertasku dan tentunya nilaiku 100. Ini nilai yang selalu aku koleksi, jadi ini hal biasa. Sekali lagi aku katakan, aku bukan sombong.
Aku juga mencari nilai Voni. Dia sangat sering mencontek kepadaku, tetapi nilainya tidak pernah sempurna, padahal tinggal menyalin. Memang benar-benar anak pemalas. Namun, aku penasaran nilainya hari ini. Dan akhirnya nilai Voni kutemukan. APA? 50? Apa ini? Kutelusuri tulisan di kertas itu, dan itu bukan tulisan gadis pemalas itu. Aku mencari kertas Varo. Varo bisa dapat nilai 100? Dan, ya, ini tulisan Voni. Bahkan dia untuk dirinya tidak pernah dapat nilai 100, lalu mengapa untuk pria sialan itu dia gunakan semangat yang luar biasa bahkan mengalahkan kemalasannya yang biasanya tingkat 98% itu? Dengan kesal, aku masuk ke kelas dan membagikan kertas kepada siswa dan siswi yang ada di kelas itu. Emosiku memuncak.
“Von, untuk ujian besok aku akan pindah tempat duduk. Kamu cari saja siswa atau siswi yang pintar untuk memberimu contekan demi nilai pacarmu itu, dan kamu jangan datang ke rumahku untuk belajar bersama. PERCUMA BELAJAR DENGAN ORANG MALAS DAN HANYA TAHUNYA PACARAN SAJA!” ujarku kesal tanpa memandang wajah gadis pemalas ini. Aku tahu ucapanku akan menyakiti hatinya, namun kali ini mengapa hatiku sangat memanas melihat dia lebih mengutamakan laki-laki lain dibanding aku? Dan dibanding dirinya sendiri? Yah, mungkin kedua kalinya aku memarahinya. Ingat, pertama aku memarahinya karena dia menjodohkanku dengan sahabat gilanya, dan sekarang aku marah karena pacar gilanya. Sepertinya dia hanya punya aku yang menjadi orang waras di hidupnya. Namun, tenang saja, aku sebagai orang waras akan menjaganya dari orang-orang gila yang dia temui. Kurang perhatian apa coba aku sebagai sahabatmu, Von? Dasar wanita keras kepala.
Namun, sebesar apa pun aku marah, sepertinya gadis pemalas ini tidak memikirkan hal itu. Bagaimana mungkin dia memikirkannya? Dia kan pemalas akut. Bahkan dia dimaki orang lain saja dia tidak akan sakit hati, alasannya, “Sangat menguras energi.” Pemalas yang sangat luar biasa itu, ya, Voni. Kutatap mata laki-laki yang berstatus pacar Voni dengan tajam. Mengapa aku melihat wajahnya seakan-akan pria yang bernama Varo itu sedang mengejekku? Ah, rasanya ingin sekali aku menampar pria licik itu. Namun, aku mengurungkan niatku. Kulanjutkan aktivitasku. Buat apa membuang-buang waktu untuk manusia seperti itu? Kecuali dia menyakiti Voni di depanku, maka akan kuhabisi laki-laki sialan ini.