Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata Dia
Mengikuti langkah Wulan yang gesit menaiki lift menuju lantai paling atas, yang hanya terdiri dari kantor CEO dan ruang santai. Bahan-bahan transparan modern berkualitas tinggi dan beragam tanaman bonsai di sana menciptakan nuansa terang dan lapang. Penataan yang halus dan detail di setiap sudut, benar-benar memancarkan rasa hormat terhadap identitas seorang CEO dari perusahaan besar ini.
“Bu Wulan, ada apa CEO memanggil saya?” Revan bertanya dengan penasaran sambil mengikutinya.
Wulan tidak menjawab pertanyaannya, terus berjalan dalam diam, dan hanya suara tumit sepatunya berdetak ritmis di lantai.
Revan berpikir wanita ini sangat dingin, dan ia tidak berniat untuk bertanya lebih jauh. Namun, Revan juga punya beberapa penyesalan. Seharusnya ia mencari informasi tentang CEO PT. Techno Nusantara, bukan hanya membaca informasi tentang proses rekrutmen. Jika ia punya pengetahuan sebelumnya, tidak akan berada dalam situasi seperti ini. Tiba-tiba diminta bertemu dengan pimpinan perusahaan ini, ia tidak tahu harus berbuat apa.
“Kita sudah sampai.” Berjalan menuju pintu putih susu berukiran indah, mata Wulan menatap dingin ke arah Revan, “CEO ada di dalam, Anda bisa masuk sendiri. Lebih baik Anda jaga nada bicara dan bersikap hormat!”
Mendengar nada bicara Wulan yang misterius dan ketus, Revan tidak marah, malah merasa kasihan pada wanita ini. ’Kalau karakternya tidak dingin, mengapa ia memandang pria seolah melihat sesuatu yang sangat menjijikkan? Aku sudah segagah ini, tidakkah kamu perhatikan betapa banyak karyawan wanita lain yang menyukaiku?’
Mengabaikan sekretaris yang malang itu, Revan membuka pintu seolah itu kebiasaan lamanya, memasuki kantor petinggi tertinggi di Gedung PT. Techno Nusantara.
Begitu masuk, Revan merasakan aroma yang familiar. Udara dipenuhi aroma melati samar, hangat namun menyegarkan. Ini mengingatkan Revan pada istrinya, Nayla. Bukankah wanita berwajah dingin itu juga memiliki aroma ini?
***
Seluruh ruangan CEO sangat besar, lebih dari 100 meter persegi, dan berbentuk setengah lingkaran. Sisi melingkar semuanya adalah jendela kaca dari lantai ke langit-langit yang bersih, memungkinkan pemandangan hiruk pikuk kota terlihat dari setiap sudut. Gorden putih tipis transparan berkibar seiring tiupan angin dari AC.
Di lantai terhampar karpet wol Mediterania yang lembut dengan desain beragam dan klasik. Beberapa tanaman bonsai diletakkan di meja dan sudut ruangan, sementara pencahayaan seluruh kantor membantu melengkapinya.
Lampu gantung kristal di langit-langit juga merupakan barang koleksi langka. Kerajinan tangannya yang indah membiaskan semua sinar cahaya ke dalam kantor dengan kilau yang menyilaukan, dan membawa sentuhan kemegahan dan mistisisme ke seluruh ruangan.
Beberapa rak buku logam berlapis perak yang penuh dengan buku-buku desain memenuhi ruangan. Di samping rak-rak, sebuah meja mahoni besar terlihat. Kecuali pada saat ini, di balik meja itu kursi CEO kosong.
Bingung, Revan bertanya-tanya mengapa CEO memanggilnya padahal dia tidak ada di sini. Saat ia berpikir seperti itu, di sisi kanan kantor terdapat sebuah pintu menuju ruang istirahat terbuka. Seseorang keluar dengan anggun dari pintu itu.
Pada saat itu juga, suasana ruangan berubah menjadi sangat aneh seolah-olah oksigen di ruangan menghilang. Kedua orang itu berdiri berhadapan, seolah lupa untuk bernapas.
Saat pandangan bertemu, masing-masing memiliki emosi campur aduk dan kompleks di mata mereka. Keduanya sulit berbicara dengan jelas, karena ini terlalu konyol untuk dipercaya.
“Ini… Kamu… Aku… Mmm… Aku…” Revan selalu merasa memiliki mental yang kuat, tetapi sekarang menyadari itu hanya terbatas pada keadaan tertentu. Untuk pertemuan tak terduga seperti ini, Revan terdiam seolah kehilangan lidahnya. Pikirannya sekarang kacau balau dan tidak tahu harus berkata apa.
Wanita berhak tinggi kristal di depannya mamakai sepasang legging hitam membungkus kakinya yang ramping, memancarkan pesona feminim. Ia mengenakan setelan wanita karir ketat berwarna krem, yang membuat figur tubuhnya tampak mengikuti proporsi rasio emas dengan cemerlang. Di bawah pinggangnya yang ramping terdapat bokong yang indah dan berisi yang akan menyebabkan kegembiraan dalam darah semua pria.
Rambut hitam panjangnya terikat rapi, membuat lehernya yang seputih angsa semakin mempesona. Jika hanya ini, itu masih bisa Revan tahan. Yang membuatnya benar-benar tak tertahankan, wajah seperti bidadari yang sangat cantik hingga membuat seseorang tak berdaya menghadapinya.
“Kamu apa?” Nayla menatap pria bajingan yang memiliki ekspresi seperti kehilangan kata-kata umpama makan kecoa. Emosi kompleks dan gugup sebelumnya lenyap seperti asap di udara. Berubah menjadi suasana main-main dan menggoda berkata, “Bukankah kamu selalu pandai berbicara, pandai berpura-pura? Lalu kenapa sekarang tidak bisa bicara setengah kalimat pun dengan jelas?”
Revan mulutnya terbuka beberapa saat dalam keadaan linglung, tidak bisa menyelesaikan kalimat yang utuh. Akhirnya, ia bergegas ke dispenser air di sudut ruangan. Mengambil gelas plastik dan mengisinya dengan air, ia menghabiskannya dalam sekali tegukan sambil menenangkan hatinya. Setelah menyeka mulut, ia berbalik, dan sekali lagi menghadapi kemunculan Nayla yang tiba-tiba.
Pada saat itu, Nayla sudah mengambil sikap mengesankan seperti kapten kapal PT. Techno Nusantara. Dengan tenang duduk di kursi kulit, ekspresinya lembut, namun dingin sambil menatap Revan. Saat duduk, ia terlihat seperti patung dewi, tenang dan cerah.
“Wah, hidup ini seperti sandiwara, dan sandiwara memang benar-benar seperti hidup.” Revan diam-diam menatap wanita yang duduk di depannya untuk waktu yang cukup lama. Ia tak bisa menahan tawa, “Bagus, bagus, Nayla sayangku, istriku, kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya kalau kamu CEO PT. Techno Nusantara? Itu akan menyelamatkanku dari banyak masalah mencari pekerjaan. Beri saja aku pekerjaan ringan yang bersih dan di kantor.”
“Bapak Revan, perhatikan cara Anda memanggil saya. Di kantor, saya adalah atasan Anda,” tatapan dingin melintas di mata indah Nayla. Pria di depannya ini masih terlihat serius beberapa saat yang lalu, mengapa tiba-tiba kembali ke nada playboy-nya lagi?
Revan tertawa sambil berkata, “Hehe... Di kantor Anda atasan saya, jadi apakah itu berarti di luar kantor saya bisa memanggil Anda sesuka hati?”
“Tidak boleh!” Nayla buru-buru menyanggah. Sungguh mengejutkan bagaimana orang ini bisa memikirkan bentuk panggilan yang menjijikkan dan membuat merinding seperti itu. Nayla mengernyitkan alisnya, “Anda boleh memanggil nama saya, tapi Anda tidak boleh menambahkan kata-kata menjijikkan lainnya.”
Revan mengabaikannya, karena saat ini emosinya sudah tenang. Kejutan sebelumnya sudah berkurang ke tingkat yang tidak berarti. Jadi ia dengan tidak sopan menarik kursi untuk duduk di depan Nayla, menyilangkan kakinya, menghela napas dan berkata, “Oke, jangan bicara soal itu. Ada keperluan apa Bu CEO memanggil saya?”
Baru sekarang Nayla teringat tujuan memanggil Revan. Setelah memutar bola matanya pada Revan, ia membalik monitor komputer 180 derajat, menunjuk ke riwayat hidup Revan di layar, “Riwayat hidup Anda mengatakan, memiliki gelar Master di bidang Manajemen Pemasaran dari Universitas Harvard. Anda adalah penerima beasiswa penuh, dan juga mahir dalam Bahasa Inggris dan Prancis.”
Revan melihat riwayat hidupnya sendiri, dan sudah bisa memprediksi apa yang akan ditanyakan Nayla. Tapi ia hanya bisa mengangguk, “Benar, jadi kenapa?”
“Gelar master dari Harvard, mahir Bahasa Inggris dan Prancis?” Nayla menatap Revan seolah ini pertemuan pertama mereka sambil mengamati Revan, “Bukankah Anda berjualan sate di Pasar Kertajaya? Bagaimana Anda bisa memiliki latar belakang pendidikan yang begitu bergengsi?”
Karena sudah menyiapkan alasan, seperti menghafal dari buku, Revan menjawab, “Ketika masih kecil, saya diculik dan dijual ke Amerika Serikat. Lalu, saya diasuh oleh beberapa orang yang baik hati. Di sana saya kuliah, dan juga belajar Bahasa Prancis. Namun saya tidak punya tujuan besar dalam hidup, dan setelah orang tua angkat meninggal, terbang kembali ke sini untuk berjualan sate dan menghabiskan hari-hari dengan santai. Anda bisa bertanya pada pedagang di Pasar Kertajaya, mereka semua tahu kalau saya baru kembali setengah tahun yang lalu.”
Karena Nayla mampu memimpin perusahaan besar seperti PT. Techno Nusantara, tentu saja tidak akan merasa bodoh. Bagaimana mungkin ia percaya kata-kata Revan begitu saja? Wajah cerdasnya menunjukkan ekspresi sedikit tidak senang, mendengus dingin dan berkata, “Lalu bagaimana dengan masalah tes bahasa asing? Anda memilih Bahasa Jerman dan Italia, keduanya mendapat nilai sempurna. Bagaimana itu bisa terjadi?”