cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 - Sore Itu, Kita Berdua
Setelah bel pulang berbunyi, suasana di sekitar gerbang sekolah mulai ramai. Siswa-siswi keluar kelas, sebagian langsung menuju kendaraan jemputan mereka, sebagian lagi berbincang santai dengan teman sebelum benar-benar pulang.
Di antara kerumunan itu, Tissa melambai dari kejauhan sambil berlari kecil mendekati Vio dan yang lainnya. “Aku duluan ya!” serunya sambil tersenyum lebar.
“Udah dijemput, Tis?” tanya Vio.
Tissa mengangguk. “Iya, Papa udah nunggu di depan. Sampai jumpa besok!” ucapnya, lalu melirik sebentar ke arah Reina dan Vio. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangkat alisnya sedikit dengan senyum penuh arti sebelum berbalik dan pergi.
Vio hanya bisa membalas dengan senyum kaku.
Tak lama setelah itu, Reuxen menepuk bahu Vio ringan. “Aku juga pulang duluan. Harus jemput bibi di pusat kota, katanya mau mampir ke rumah.”
Vio mengangguk. “Hati-hati di jalan.”
Dan kini, hanya tersisa mereka berdua—Vio dan Reina. Berdiri agak kikuk di sisi lapangan yang mulai sepi. Suasana tiba-tiba sunyi, hanya terdengar hembusan angin yang meniup dedaunan dan teriakan siswa-siswi lain yang semakin menjauh.
Vio mengusap belakang lehernya pelan, lalu melirik sekilas ke arah Reina. “Kita… pulang bareng?”
Reina menoleh dengan sedikit terkejut, lalu mengangguk cepat. “Iya. Boleh.”
Mereka berjalan beriringan, diam-diam, langkah kaki terdengar beriringan dengan detak jantung yang sedikit lebih cepat dari biasanya. Tidak ada percakapan dalam beberapa menit pertama. Hanya bunyi kerikil di bawah sepatu, dan sesekali suara kendaraan dari kejauhan.
Awan di langit bergelayut tenang, dan matahari perlahan turun, menciptakan cahaya keemasan yang hangat, seolah ikut mengamati dua anak muda yang berjalan berdampingan dengan rahasia baru yang belum mereka tahu harus bagaimana menanggapinya.
Langkah mereka terhenti di sebuah halte yang terletak di sisi jalan yang cukup lengang. Udara sore terasa sejuk, langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan. Vio berdiri di depan papan peta jalur angkutan umum, menatap garis-garis rute yang bercabang ke berbagai arah.
“Hmm… kamu bakal turun di mana?” tanya Vio sambil menoleh ke Reina yang berdiri di sampingnya.
Reina mendekat dan menunjuk salah satu titik di peta. “Di sini. Aku biasa turun di perhentian dekat persimpangan ini.”
Vio menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas, lalu sedikit terkejut. “Oh, rute itu lewat daerah apartemenku juga. Kalau dari halte itu, sekitar 45 menit jalan kaki ke tempatku.”
Reina memandangnya sejenak, lalu menoleh kembali ke peta. Mulutnya terbuka sedikit seperti ingin bicara, tapi tidak jadi. Tangannya menggenggam tali tasnya lebih erat. Keheningan mengambang di antara mereka lagi, sampai tiba-tiba...
“Aku… pengin kamu nganterin aku pulang,” kata Reina pelan.
Vio menoleh cepat, terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Reina. Tapi ekspresi gadis itu juga tampak sama terkejutnya matanya membelalak kecil, dan wajahnya memerah seketika.
“Eh—bukan! Maksudku, tadi bukan... A-Aku nggak sengaja ngomong itu!” Reina menutupi wajahnya dengan tangan, suaranya panik dan gugup.
Vio mematung. Butuh beberapa detik sebelum ia menyadari apa yang terjadi. Tadi… itu suara hati Reina? Tapi terdengar jelas seolah dia benar-benar mengatakannya.
“Aku… denger,” gumam Vio pelan, wajahnya ikut memerah.
Reina tak menjawab. Ia tetap menutup wajahnya, tubuhnya sedikit bergetar karena malu.
Vio menggaruk kepalanya, lalu mencoba tersenyum—meski gugup. “Kalau... kamu nggak keberatan... aku bisa nemenin. Cuma sampai gerbang rumahmu, kok.”
Reina menurunkan tangannya perlahan, masih memerah. Tapi dia mengangguk pelan.
“Oke…” jawabnya, hampir tak terdengar.
Dan dengan begitu, mereka pun naik ke bus yang datang tak lama kemudian duduk berdampingan, tapi kali ini dengan keheningan yang tidak canggung… melainkan hangat.
Suara mesin bus berderu lembut, bergema di dalam kabin yang hampir kosong. Hanya ada beberapa penumpang sepasang ibu dan anak, seorang pria tua yang duduk dekat jendela, serta seorang siswi SMA yang tertidur di pojok. Selain mereka, hanya Vio dan Reina.
Keduanya duduk berdampingan, sama-sama memandang ke luar jendela. Suasana di antara mereka senyap… canggung… dan penuh hal yang tak terucap.
Reina masih menunduk sedikit, menyembunyikan pipi yang bersemu merah. Vio di sampingnya tampak kaku, menggeser tasnya ke pangkuan, seolah mencari cara untuk mencairkan suasana.
“Umm…” Vio membuka mulut, tapi ragu melanjutkan. Tangannya menggenggam tali tas, matanya tetap ke depan. “Tadi itu… aku nggak maksud bikin kamu malu…”
Reina menggeleng cepat, menoleh sebentar. “Bukan salahmu kok… aku juga… nggak tau kenapa bisa keucap.”
Vio mengangguk pelan. Ia tertawa kecil, gugup. “Kayaknya kita berdua lagi sial soal kontrol mulut, ya.”
Reina ikut tertawa kecil, masih menunduk. “Iya… mungkin karena kamu.”
Vio menoleh cepat. “Hah?”
“Maksudku—mungkin karena kamu… ya… kamu tuh suka bikin aku ngerasa nyaman, tapi juga gugup.” Reina buru-buru membetulkan ucapannya, tapi akhirnya justru menatap Vio dengan ekspresi campur aduk. “Aku bingung deh…”
Vio terdiam. Lalu menghela napas pelan, menatap ke luar jendela. “Aku juga.”
Lalu mereka tertawa lagi— kali ini bersama. Kecil, tapi jujur. Canggungnya masih ada, tapi kini terasa lebih ringan… seperti mereka sama-sama sepakat bahwa kebisuan itu nggak harus dipecahkan dengan kata-kata yang sempurna.
Beberapa menit kemudian, bus melambat.
“Ini halte-ku,” ujar Reina pelan.
Vio berdiri dan mengikuti Reina turun. Langit mulai menggelap, lampu-lampu jalan menyala satu per satu. Mereka berjalan menyusuri gang kecil menuju kompleks perumahan.
Di depan gerbang rumah Reina, mereka terhenti. Reina menoleh ke arah Vio dengan ekspresi yang masih agak malu, tapi juga terlihat tenang.
“Thanks udah nganterin,” ucapnya pelan.
Vio mengangguk, mencoba terlihat santai. “Sama-sama. Rumahmu bagus… hangat.”
“Kayak kamu,” gumam Reina, nyaris tak terdengar. Tapi cukup keras bagi Vio untuk mendengarnya.
Vio menatap Reina. Reina balik menatap Vio. Mata mereka bertemu dalam diam. Tapi sebelum ada yang bicara lagi, suara dari dalam rumah terdengar.
“Reina, udah pulang?”
Reina tersentak, lalu tersenyum kecil. “Aku masuk dulu, ya.”
Vio mengangguk cepat. “Iya. Hati-hati…”
Reina berjalan ke dalam rumah. Tapi sebelum pintu tertutup sepenuhnya, ia menoleh dan berkata pelan,
“Violetta… kamu selalu jadi tempatku pulang, tahu?”
Lalu pintu tertutup, meninggalkan Vio yang berdiri mematung di luar. Angin sore membelai pelan rambutnya, dan untuk sesaat, dunia terasa lebih pelan… dan lebih hangat.
Langkah Vio terasa ringan sore itu meski pikirannya masih berkabut. Kata-kata Reina terus terngiang tentang siaran malam, tentang dirinya sebagai Violetta… dan tentang menjadi tempat pulang. Pipinya masih sedikit hangat saat ia berjalan menuruni trotoar, melewati lampu jalan yang menyala lembut di bawah langit senja.
Namun saat melewati tikungan menuju kompleks apartemen, matanya menangkap sosok yang familiar.
Seorang gadis kecil berdiri di dekat tiang rambu, memeluk boneka kelinci besar berwarna krem. Ia tampak menatap sekeliling dengan bingung, menggigit bibir bawahnya seolah menahan tangis. Rambut panjangnya diikat dua, dan jaket merah muda kebesaran itu membuatnya tampak semakin mungil.
Vio mengerutkan kening. Ia mengenali wajah itu.
“Hei… kamu…” Vio melangkah cepat. “Kamu gadis yang dulu tersesat, ya?”
Gadis itu mendongak, matanya membulat. Begitu melihat Vio, ekspresinya berubah cerah.
“Kakak…!” serunya sambil berlari kecil menghampiri.
Vio segera jongkok dan menyambutnya. “Kamu tersesat lagi? Kenapa kamu nggak bareng orang tuamu?”
Gadis itu tampak malu. “Aku mau cari kakak yang suka main gitar… Aku cuma pengen lihat dari dekat…” Ia menunduk. “Tapi aku malah nyasar lagi…”
Vio terkejut dengan ucapannya “apa mungkin gadis ini pernah mendengar ku memainkan gitar saat di balkon?”
Lalu Vio menahan tawa kecil. “Kamu tinggal di lantai bawah unit apartemen, kan? Sama kayak yang waktu itu?”
Gadis itu mengangguk kuat.
“Ayo, aku antar kamu lagi. Tapi janji ya, jangan pergi jauh-jauh sendirian.”
“Janji!” jawabnya cepat sambil mengacungkan jari kelingking.
Vio tertawa pelan, lalu menggenggam tangan mungil itu. Mereka berjalan berdampingan menyusuri jalanan kompleks. Gadis kecil itu mengayun-ayunkan tangan mereka dengan riang, ekspresinya jauh lebih ceria daripada beberapa menit lalu.
“Eh, Kakak masih main gitar?” tanyanya dengan mata berbinar.
“Masih,” jawab Vio sambil tersenyum. “Kadang-kadang main malam-malam.”
“Boleh aku dengerin lagi?”
Vio menatapnya, terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Kalau kamu nggak pergi sendirian kayak tadi… mungkin suatu hari bisa.”
Gadis kecil itu tertawa senang.
Sesampainya di depan pintu apartemen lantai bawah, seorang wanita paruh baya tampak keluar tergesa dari lift dengan wajah cemas.
“Rinka! Di mana kamu tadi?!”
“Mama!” Gadis kecil itu langsung berlari memeluk ibunya. “Aku ketemu Kakak yang main gitar itu lagi! Dia yang nolongin Rinka!”
Wanita itu menoleh pada Vio dan langsung membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih banyak… Maaf sudah merepotkan. Kami benar-benar khawatir karena ini sudah kedua kalinya…”
Vio hanya tersenyum gugup. “Tidak apa-apa, Bibi. Saya juga kebetulan lewat.”
Setelah beberapa salam perpisahan, Vio kembali menaiki tangga ke unitnya. Malam mulai turun perlahan, membawa udara yang sedikit lebih dingin, namun hatinya terasa hangat.
Begitu sampai di depan pintu apartemennya, ia berhenti sejenak.
Hari ini terlalu banyak kejutan, pikirnya. Tapi semua itu… membuatnya merasa sedikit lebih hidup.
Ia masuk ke dalam, menyalakan lampu ruang utama. Tak lama, suara notifikasi dari komputer menandakan waktunya untuk siaran malam. Tapi sebelum itu mungkin ia bisa duduk sebentar, menenangkan pikirannya.
Dan mungkin… mengingat kembali suara Reina, senyum Rinka, dan perasaan yang kini terus tumbuh di dalam dadanya.