NovelToon NovelToon
Debaran Hati

Debaran Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permintaan Maaf Atas Masa Lalu

Setelah berbulan-bulan menjalani perawatan intensif, hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Dokter Bima, dengan senyum puas, menyatakan bahwa kondisi mental Hendro sudah pulih sepenuhnya. Setelah pemeriksaan menyeluruh dalam berbagai aspek mental, Hendro dinyatakan siap untuk kembali ke dunia luar. Reksa, yang setia mendampingi setiap langkah pemulihan putranya, merasakan kelegaan yang tak terhingga.

"Kamu sudah bisa pulang, Nak," ucap Reksa, matanya berkaca-kaca menatap Hendro.

Hendro mengangguk pelan, tatapannya tenang. "Terima kasih, Ayah. Terima kasih banyak sudah tidak menyerah padaku."

Hal pertama yang Hendro lakukan setelah keluar dari rumah sakit jiwa bukanlah kembali ke kemewahan apartemennya, melainkan meminta Reksa untuk mengantarnya ke makam mendiang ibunya, Nirmala. Reksa mengerti. Ia tahu, ada penyesalan yang mendalam di hati putranya.

Sesampainya di pemakaman, Hendro melangkah pelan menuju nisan Nirmala. Rumput hijau terhampar di sekeliling makam, suasana terasa hening dan damai. Hendro berlutut di samping makam ibunya, mengusap nisan yang bertuliskan nama Nirmala.

Pandangannya tertuju pada nama itu, bayangan wajah ibunya yang sabar dan penuh kasih sayang melintas di benaknya. Ia teringat bagaimana Nirmala selalu ada untuknya, selalu mendukungnya, bahkan saat ia tersesat dalam obsesi dan kegilaan. Ia ingat bagaimana ia mengabaikan ibunya di saat-saat terakhir, sibuk dengan dunianya sendiri.

Perlahan, air mata Hendro mulai menetes. Semakin lama, tangisnya semakin pecah. Ia tidak lagi bisa menahan kesedihan dan penyesalan yang membanjiri hatinya. Pria yang dulu begitu angkuh dan kejam, kini terisak pilu di hadapan pusara sang ibu.

"Ibu... Ibu, maafkan aku," bisik Hendro di antara isakannya, suaranya parau. "Maafkan anakmu yang durhaka ini, Bu."

Reksa berdiri sedikit menjauh, memberikan ruang bagi putranya untuk meluapkan perasaannya. Ia juga ikut menangis dalam diam, merasakan kesedihan yang sama.

"Aku minta maaf, Bu, karena tidak ada di samping Ibu saat terakhir. Aku minta maaf karena sudah membuat Ibu menderita," lanjut Hendro, membenamkan wajahnya di atas tanah makam. "Obsesiku... obsesiku telah membutakanku dari segalanya. Aku menyia-nyiakan Ibu. Aku menyia-nyiakan kebaikan Ibu."

Ia terus meminta maaf, air matanya tak kuasa dibendung. Penyesalan itu begitu nyata, begitu menghancurkan. Namun, di balik rasa sakit itu, ada pula kelegaan. Hendro akhirnya bisa jujur pada dirinya sendiri, menghadapi semua kesalahannya, dan memulai proses penebusan. Ziarah ini adalah langkah pertama yang Hendro ambil dalam perjalanan panjangnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Reksa menatap putranya dengan tatapan penuh kasih, bangga melihat Hendro yang telah kembali sadar.

****

Naura dan keluarganya, setelah segala cobaan berat yang menimpa mereka, akhirnya menemukan sedikit harapan baru. Naura berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah toko kelontong kecil, berkat bantuan pemilik kontrakan yang iba melihat nasib mereka. Meski gajinya tidak seberapa, setidaknya itu cukup untuk menyambung hidup dan memulai lembaran baru.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Fathia, si bayangan hitam yang tak pernah puas melihat Naura bahagia, kembali berulah. Ia berhasil melacak tempat kerja Naura. Dengan senyum licik, Fathia mendatangi pemilik toko tersebut, seorang bapak tua bernama Pak Budi.

"Selamat siang, Pak Budi," sapa Fathia dengan suara dibuat manis.

Pak Budi mengerutkan kening. "Ada apa ya, Nak?"

"Begini, Pak. Saya hanya ingin memberitahu tentang karyawan baru Bapak, yang bernama Naura," Fathia memulai hasutannya, matanya memancarkan niat jahat. "Dia itu... punya kebiasaan buruk, Pak. Suka mengambil barang tanpa izin."

Pak Budi terkejut. "Maksudmu mencuri?"

"Bukan mencuri terang-terangan, Pak. Tapi dia sering mengambil barang-barang kecil, seolah itu miliknya," Fathia membubuhi ceritanya dengan dramatis, "Dulu di tempat kerjanya yang lama, dia bahkan dituduh terlibat pembakaran toko karena kelalaiannya, Pak. Dia itu biang masalah, Pak. Nanti toko Bapak bisa bernasib sama kalau mempekerjakan dia."

Fathia terus-menerus melontarkan kebohongan dan cerita bombastis yang membuat Pak Budi tercengang. Ia bahkan menambahkan detail-detail yang tidak masuk akal, membuat kisah Naura terdengar sangat mengerikan.

"Dia itu licik, Pak. Wajahnya saja yang terlihat polos, padahal aslinya..." Fathia sengaja menggantung kalimatnya, membiarkan imajinasi Pak Budi bekerja.

Pak Budi yang mendengar cerita itu langsung panik. Ia tidak ingin tokonya bermasalah. Tanpa pikir panjang atau mencari kebenaran, ia segera memanggil Naura.

"Naura, saya tidak bisa mempekerjakanmu lagi," kata Pak Budi dengan nada menyesal namun tegas.

Naura terkejut. "Ada apa, Pak? Saya salah apa?"

"Saya sudah mendengar banyak hal tentangmu. Saya tidak bisa mengambil risiko. Maaf, kamu dipecat," ucap Pak Budi, menolak memberikan penjelasan lebih lanjut.

Naura tercekat. Ia tahu ini pasti ulah Fathia lagi. Hatinya remuk redam. Dipecat lagi. Harapan yang baru saja tumbuh kini musnah.

Melihat Naura dipecat, Fathia tertawa girang. Tawanya yang nyaring menggaung di toko itu, seolah mengejek penderitaan Naura.

Haryati, yang kebetulan berada di sana membantu Naura bersih-bersih, mendengar semuanya. Amarahnya langsung membakar ubun-ubun. Ia sudah tidak tahan lagi dengan tingkah Fathia.

"Fathia! Dasar iblis!" teriak Haryati, wajahnya memerah padam. Tanpa aba-aba, ia menerjang Fathia.

"Aduh! Lepaskan!" teriak Fathia, mencoba menghindar dari serangan Haryati.

Suasana kembali kacau dan riuh. Haryati dan Fathia kembali terlibat baku hantam, saling menjambak dan mendorong. Marcella, yang ada dalam gendongan Naura, langsung histeris, menangis tanpa henti. Pekikan histeris Haryati, tawa mengejek Fathia, dan tangis Marcella yang melengking membuat toko itu mendadak semarak dengan kekacauan. Naura hanya bisa memejamkan mata, memeluk Marcella erat-erat, merasa tak berdaya menghadapi dendam Fathia yang tak ada habisnya. Ia dipecat lagi, dan keluarganya kembali harus menanggung penderitaan.

****

Debby sedang bersantai di apartemennya setelah seharian bekerja. Ia merasa jauh lebih tenang sejak mendengar kabar bahwa Hendro dirawat di rumah sakit jiwa. Pikirannya sudah tertata, fokus pada persiapan pernikahannya dengan Agus. Suara bel apartemennya berbunyi, dan Debby, tanpa prasangka, membuka pintu.

Mata Debby membelalak kaget. Di hadapannya berdiri Hendro, bukan lagi dengan tatapan mata gila atau sorot obsesif yang ia kenal. Wajah Hendro terlihat lebih kurus, namun ada kejernihan dan kerendahan hati yang terpancar. Debby tak menyangka Hendro akan muncul lagi, apalagi di apartemennya.

"Hendro? K-kau... kau sudah keluar?" Debby bertanya, suaranya sedikit tercekat oleh keterkejutan.

Hendro menunduk, tidak berani menatap langsung mata Debby. "Iya, Debby. Aku sudah keluar. Aku... aku ingin bertemu denganmu."

Debby masih diliputi keheranan. Ia sempat ragu, namun melihat ekspresi Hendro yang jauh berbeda, ia akhirnya mempersilakan masuk. "Ada apa?" tanyanya, mencoba menjaga jarak.

Hendro melangkah masuk dengan hati-hati, lalu berdiri di tengah ruangan. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. "Aku datang ke sini... untuk meminta maaf padamu, Debby."

****

Permintaan maaf itu bagai petir di siang bolong bagi Debby. Ia terdiam, mencerna kata-kata Hendro. Pria yang selama ini meneror dan menghancurkan hidupnya, kini berdiri di depannya, meminta maaf.

"Aku tahu, apa yang sudah kulakukan padamu di masa lalu itu tidak bisa dimaafkan," lanjut Hendro, suaranya bergetar. "Aku obsesif, aku kejam, aku sudah sangat menyakitimu. Aku minta maaf atas semua teror, semua paksaan, dan semua kehancuran yang kutimbulkan dalam hidupmu."

Hendro mengangkat kepalanya, menatap Debby dengan mata penuh penyesalan. "Aku benar-benar menyesal, Debby. Aku tidak sadar apa yang kulakukan saat itu. Aku sudah gila karena obsesiku."

Debby menatap dalam mata Hendro. Tidak ada lagi jejak kegilaan. Yang ada hanyalah ketulusan yang mendalam. Ia bisa melihat penyesalan yang begitu nyata dari sorot mata Hendro. Hatinya yang tadinya membatu karena trauma, perlahan melunak. Ia ingat betapa menakutkannya Hendro dulu, betapa ia hidup dalam ketakutan setiap hari. Namun, Hendro yang berdiri di depannya sekarang adalah pribadi yang berbeda.

"Aku... aku tidak menyangka kau akan datang dan mengatakan ini," kata Debby, suaranya lirih.

"Aku tahu sulit bagimu untuk percaya. Tapi aku benar-benar berubah, Debby. Aku ingin menebus kesalahanku," ujar Hendro. "Aku tidak akan pernah lagi mengganggumu atau mencoba memaksakan perasaanku. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar menyesal."

Melihat ketulusan yang begitu besar pada diri Hendro, Debby akhirnya mengangguk pelan. Semua luka dan ketakutan yang ia rasakan perlahan mencair. "Aku... aku memaafkanmu, Hendro," ucap Debby, sebuah beban besar terangkat dari hatinya.

Senyum lega terpancar di wajah Hendro. "Terima kasih, Debby. Terima kasih banyak."

1
kalea rizuky
klo ortu agus gk bs nrima ywda
kalea rizuky
lanjut
Serena Muna: terima kasih kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!