Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Mimpi Buruk
Marchel kembali ke hotel, membawa makanan dan pakaian untuk Hulya karena sedari tadi mantan istrinya itu belum makan.
Saat baru masuk, Marchel melihat Hulya tengah tidur sambil memeluk guling, dengan handuk yang masih melilit di tubuhnya, Marchel mengatur suhu ac agar tidak terlalu dingin lalu membuka handuk yang basah itu dari tubuh Hulya dengan perlahan.
Melihat tubuh polos itu, libido Marchel kembali naik tapi dengan cepat dia singkirkan hal kotor dari pikirannya. Mata Hulya sembab, hidungnya merah, dia yakin kalau tadi Hulya menangis.
Marchel membangunkannya, tapi wanita itu hanya bergeming sedikit lalu tidur kembali. Marchel membiarkan dia tidur lalu menyelimuti agar tubuh Hulya hangat.
Marchel berdiri sambil menatap keindahan kota malam dari balkon kamar hotel, walaupun perasaannya tidak karuan, tapi ada sedikit rasa lega di hatinya ketika melihat Hulya tidur di dekatnya.
“Semoga hatimu kembali menjadi milikku Hulya,” lirih Marchel setelah menghembuskan asap rokoknya.
Marchel membalikkan tubuh dan membuka baju yang dia pakai, berbaring di samping Hulya dengan telanjang dada. Dia menatap Hulya yang tidur dengan wajah teduh, mencium kening Hulya lalu memejamkan mata sambil memeluk mantan istrinya tersebut.
Dalam ingatan Marchel kini berputar kenangan di mana dia selalu mengganggu Hulya saat matanya tidak bisa tidur sedangkan Hulya sudah terlelap.
“Sayang, jangan tidur dulu,” larang Marchel. Karena istrinya tidak bergeming, dia mencium-cium pipi Hulya dengan manja, berharap sang istri bangun.
Hulya yang ngantuk berat, tidak peduli dengan apa yang dilakukan suaminya. Marchel terus mencium bibir dan pipi Hulya secara bertubi-tubi, menempelkan pipinya ke pipi Hulya lalu menciuminya kembali.
Hulya tetap tak terganggu, karena keisengan Marchel sudah biasa baginya, jadi Hulya tetap lanjut tidur tanpa peduli.
Marchel tersenyum getir, setitik air mata mengalir di batang hidungnya lalu menetes ke bantal. Kenangan selama berumah tangga dengan Hulya adalah kenangan terindah baginya.
...***...
Hulya terus berlari dalam gelapnya malam. Di belakang, Marchel masih terus mengejar yang membuat Hulya begitu ketakutan.
Dor!!
Hulya terdiam, langkahnya terhenti lalu terkapar di tanah yang lembab tersebut. Satu peluru tepat mengenai punggungnya, Marchel berhasil mencapai Hulya, dia mengatur nafas lalu berjongkok di dekat tubuh mantan istrinya itu.
“Jika kau bukan takdirku, maka kau tidak akan pernah menjadi takdir siapapun sayang,” ujar Marchel sambil mengusap lembut wajah Hulya yang tengah menatapnya penuh rasa takut.
“Hulya bangun, hei, Hulya, bangun.” Marchel menggoyangkan tubuh Hulya karena wanita itu tengah menggigau tak jelas dalam tidur.
Hulya membuka matanya, keringat membasahi wajah cantik itu, napasnya memburu karena mengalami mimpi buruk tadi. Hulya melirik ke samping lalu menjauh dari Marchel, tatapannya penuh ketakutan melihat Marchel, Hulya kembali merapatkan selimut yang menutupi tubuh polosnya itu.
“Kenapa kamu tidur di sampingku?” tanya Hulya ketakutan.
“Hanya ada satu kasur di sini, memang aku akan tidur di mana lagi? Sofa? Aku tidak mau.”
“K-kau tidak akan membunuhku kan, Marchel?” Marchel menautkan alisnya lalu menangkup wajah pucat Hulya.
“Hei, aku membawamu untuk ikut denganku supaya aku bisa melihatmu setiap hari, bukan untuk membunuhmu. Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Aku mimpi buruk tadi, aku mimpi, kau membunuhku,” jawab Hulya masih dengan nafas yang memburu.
“Aku akan membunuhmu jika kamu berpaling pada pria lain, jika tidak ya aku tidak akan membunuhmu.” Hulya melotot, dia semakin takut pada Marchel dan tak lama, pria itu tersenyum lalu memeluk Hulya.
“Aku hanya bercanda Hulya, tidurlah.” Beberapa saat setelahnya, Hulya mulai merasa tenang.
“Aku lapar,” keluh Hulya lalu menatap wajah Marchel.
“Aku beli makanan tadi untukmu, tapi sekarang mungkin sudah dingin.”
“Tidak masalah, aku benar-benar lapar.”
“Oke, sebentar aku lihat dulu makanannya.”
Marchel beranjak dari kasur, dia memeriksa makanan tadi dan benar saja, sudah sangat dingin dan lembek. Tidak layak dikonsumsi lagi, Marchel melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 1 dini hari.
“Kita keluar saja ya, kamu pakai baju ini, tadi aku belikan baju tidur untukmu.”
“Memang makanannya kenapa?”
“Sudah tidak bisa di makan lagi, ayo.” Hulya mengangguk, dia mengenakan baju tidur yang dibelikan oleh Marchel.
Hulya mengeringkan rambutnya dengan handuk, Marchel melihatnya dengan penuh senyum. Sangat cantik. Itulah yang terbesit di hatinya saat melihat Hulya.
Marchel mendekat dan memeluk Hulya dari belakang.
Terdiam. Hulya bisa merasakan pelukan Marchel penuh ketulusan dan kasih sayang, berbeda saat Marchel memeluknya ketika berhubungan badan tadi.
“Kamu sangat cantik, selain itu, kamu benar-benar istimewa bagiku. Tolong jangan pergi dariku lagi, aku hanya ingin kau tetap bersamaku, itu saja, aku bisa gila jika jauh darimu,” bisik Marchel di telinganya, sejenak wanita itu memejamkan mata lalu mengusap lembut pipi Marchel dengan mengulurkan tangan ke belakang.
“Kalau kamu memeluk aku begini, kapan kita perginya? Perutku lapar Marchel,” cakap Hulya dengan lembut.
“Oke, ayo.” Marchel tersenyum lalu mengenakan bajunya juga dan mereka keluar dari kamar hotel itu.
Berkeliling mencari makanan yang Hulya mau, sudah banyak toko yang tutup, Marchel memutuskan untuk ke supermarket yang buka selama 24 jam.
Sebenarnya masih ada beberapa cafe tapi Hulya tidak nyaman dan tidak mau.
Mereka membeli beberapa cemilan lalu mie instan cup, Hulya memakan mie instan itu di dalam mobil dengan lahap lalu meminum susu kemasan. Setelah kenyang, Hulya memakan cemilan hingga habis, sampah makanan itu dia kumpulkan dan dibuang oleh Marchel ke tong sampah.
Hulya menghela napasnya, melihat Marchel saat ini seakan berbeda ketika melihat dia sedang cemburu atau pun emosi. Marchel seperti memiliki kepribadian ganda yang membuat Hulya selalu merasa takut saat menghadapi dia ketika emosi.
Kalau dalam mode begini, Hulya nyaman dan bisa bermanja.
“Masih lapar?” tanya Marchel sambil mengusap kepala Hulya.
“Untuk malam ini aku sudah kenyang, kita balik saja, aku ngantuk.” Marchel memasuki mobil lalu melaju ke hotel, jalanan tidak terlalu ramai.
Hulya menatap lurus ke depan, pikirannya sangat tidak karuan saat ini, dia ingin kembali pada Marchel tapi Marchel yang seperti ini— baik, perhatian dan lembut bukan Marchel yang bengis, kejam dan emosian.
“Sampai kapan aku akan kamu siksa begini, Marchel?” tanya Hulya memecah keheningan di antara mereka.
“Kenapa bertanya begitu?” tanya Marchel tanpa menoleh pada Hulya.
“Aku hanya ingin hidup bebas tanpa siksaan darimu.”
“Aku tidak akan menyiksamu lagi jika kamu mau rujuk denganku, ayo kita rujuk Hulya, aku janji akan membahagiakan kamu.” Hulya menghembuskan napasnya dengan kasar.
“Lupakan saja, aku tidak mau rujuk denganmu,” ketus Hulya karena semakin kesal dengan tingkah Marchel.