Tujuh belas tahun lalu, Ethan Royce Adler, ketua geng motor DOMINION, menghabiskan satu malam penuh gairah dengan seorang gadis cantik yang bahkan tak ia ketahui namanya.
Kini, di usia 35 tahun, Ethan adalah CEO AdlerTech Industries—dingin, berkuasa, dan masih terikat pada wajah gadis yang dulu memabukkannya.
Sampai takdir mempertemukannya kembali...
Namun sayang... Wanita itu tak mengingatnya.
Keira Althea.
Cerewet, keras kepala, bar-bar.
Dan tanpa sadar, masih memiliki kekuatan yang sama untuk menghancurkan pertahanan Ethan.
“Jangan goda batas sabarku, Keira. Sekali aku ingin, tak ada yang bisa menyelamatkanmu dariku.”_ Ethan.
“Coba saja, Pak Ethan. Lihat siapa yang terbakar lebih dulu.”_ Keira.
Dua karakter keras kepala.
Satu rahasia yang mengikat masa lalu dan masa kini.
Dan cinta yang terlalu liar untuk jinak—bahkan ol
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudi Chandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Gerbang masih sedikit bergetar ketika Aiden berdiri di depannya.
Sisa suara mesin mobil itu masih terasa di telinganya. Bukan suara yang asing. Bukan suara yang biasa.
Mobil hitam itu…
Milik Ethan Royce Adler.
Tatapan Aiden mengeras. Alisnya turun tipis. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan tapi terasa berat di dadanya, seperti ada bagian dirinya yang tersentak oleh kehadiran pria itu—meski ia bahkan belum melihatnya secara langsung malam ini.
Aiden menarik napas panjang, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
Rumah sudah sepi, sunyi. Lampu ruang tamu remang. Di meja masih ada sisa teh hangat yang belum lama disentuh. Dan di depan sofa, Keira berdiri… memeluk kedua sikunya sendiri.
Gugup.
Terlalu gugup untuk ukuran seorang Keira yang biasanya bisa berdebat dengan dunia.
“Mama…” suara Aiden rendah. Dingin. Tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang berbeda dari biasanya.
Keira menoleh cepat, memasang ekspresi setenang mungkin.
“Kamu baru pulang?” dia berusaha terdengar santai. “Jam segini masih aja keluyuran…”
“Tadi siapa, Ma?”
Hening sepersekian detik. Tapi bagi Aiden, itu cukup untuk jadi jawaban.
“Oh itu…” Keira berdeham kecil, lalu mengambil gelasnya agar terlihat sibuk, agar tidak perlu menatap mata anaknya. “Pak Ethan. Bos Mama.”
Aiden menatap punggung ibunya dalam diam. Tidak langsung menjawab.
“Yang waktu itu bantu kita saat kamu ada masalah. Kamu juga tadi siang ketemu beliau di sekolah, kan?” lanjut Keira cepat, seperti menghafal alasan yang sudah disiapkan.
Aiden melangkah lebih dekat. Sepatunya masih kasar menyentuh keramik dingin.
“Bukan itu maksudku, Ma.”
Keira mematung.
Nada suara Aiden berubah lebih pelan… lebih dalam.
“Tapi… dia siapa?”
Aiden berhenti tak jauh darinya.
“Apa mungkin dia ayahku?”
Dunia seolah berhenti berputar.
Cangkir di tangan Keira bergetar kecil, nyaris jatuh. Matanya membesar. Dadanya naik turun tidak stabil.
“Aiden…” suaranya serak. “Jangan mulai dengan hal yang nggak jelas.”
“Ini jelas, Ma.”
Aiden akhirnya berdiri tepat di hadapannya, membuat Keira tak punya pilihan selain menatap wajah yang telah ia rawat, lindungi, dan bohongi selama tujuh belas tahun.
“Aku bukan anak kecil lagi. Dan aku bukan orang bodoh.”
Nada itu tidak tinggi. Tidak emosional. Tapi justru itu yang membuatnya menusuk.
“Dia muncul terlalu sering dalam hidup kita. Di sekolah. Di acara desain. Sekarang… di sini.”
Aiden menghembuskan napas lewat hidung.
“Dan saat aku berdiri dekat dengannya…” ia menelan ludah pelan, “…rasanya aneh.”
“Seperti apa?” tanya Keira lirih tanpa sadar.
“Seperti melihat bayangan sendiri. Tapi lebih tua. Lebih dingin. Lebih penuh luka.”
Kata-kata itu hampir membuat Keira runtuh di tempat.
Aiden menatapnya lurus.
“Kalau dia cuma bos Mama… kenapa dia melihatku seperti itu?”
Keira mencoba memasang senyum sinis khasnya.
“Karena kamu ganteng. Orang-orang memang suka lihat anak Mama.”
Biasanya Aiden akan tersenyum kecil mendengar itu.
Tapi sekarang… tidak.
“Apa Mama pernah tidur sama dia?”
Pertanyaan itu jatuh begitu saja. Tanpa emosi berlebihan. Hanya… fakta.
Aiden sudah cukup dewasa untuk mengerti dengan hal-hal seperti itu.
Keira terdiam.
Detik- detik kosong memenuhi ruang tamu.
“Aku butuh jawaban jujur…” lanjut Aiden pelan, nyaris seperti permohonan yang disamarkan. “Bukan versi bercanda Mama. Bukan versi galak Mama.”
“Tapi... versi ibu ke anaknya.”
Mata Keira mulai memanas, berkaca-kaca. Tapi ia menggigit bibirnya, keras-keras, seakan bisa menahan air mata dengan rasa sakit.
“Aiden… ayahmu orang yang nggak penting lagi,” jawabnya lirih. “Yang penting… kamu punya Mama. Cuma itu.”
“Tapi aku punya darahnya,” bantah Aiden. “Dan aku lihat dia di dalam diriku, Ma.”
Lalu lebih pelan, tapi menohok:
“Dan mungkin… aku lihat diriku di dalam dirinya.”
Keira memejamkan mata.
Inilah yang paling ia takutkan: bukan Ethan yang menemukan kebenaran… tapi Aiden yang mulai merasakannya sendiri.
“Aiden…” ia akhirnya membuka mata lagi. Kini penuh gemetar dan rapuh. “Andai pun dia adalah—”
Ia berhenti.
Tidak sanggup menyebutnya.
“Andai pun dia adalah yang kamu pikirkan…” sambungnya hampir berbisik, “Mama takut… bukan karena dia jahat.”
“Lalu karena apa?” tanya Aiden.
Keira menatapnya… dengan pandangan paling jujur yang pernah ia tunjukkan.
“Karena kalau dia tahu… dia nggak akan pernah biarin kamu pergi darinya.”
Hening.
Kalimat itu menggantung di udara seperti peringatan… sekaligus pengakuan.
“Dan Mama takut…”
Suaranya pecah saat akhirnya berkata:
“Bukan dia yang akan kehilangan kamu. Tapi Mama.”
Aiden membeku.
Sekarang semua terasa masuk akal.
Tatapan Ethan… Hasrat kendali itu… Cara pria itu memandangnya bukan seperti orang asing… Melainkan seperti seseorang yang merasa… memiliki.
Aiden menghela napas pelan.
Lalu berjalan mendekat dan memeluk Keira, untuk pertama kalinya setelah sekian lama—lebih lama dari yang biasanya ia lakukan.
“Ma…” gumamnya di rambut ibunya. “Aku nggak ke mana-mana.”
Pelukannya kuat. Yakin. Teguh.
“Tapi kalau dia memang ayahku…” lanjutnya dingin, “…maka aku yang akan memutuskan seberapa dekat dia boleh datang ke hidupku. Bukan sebaliknya.”
Keira menangis dalam diam di pelukan anaknya.
...----------------...
Langit malam terbentang kelabu pekat di atas sana, seolah ikut menahan napas bersama Ethan Royce Adler. Lampu-lampu kota memantul di kaca mobilnya, membiaskan bayangan wajahnya yang tegang, dingin—namun di balik itu, ada gelombang emosi yang tak biasa.
Dua jam setelah keluar dari rumah Keira, mobil hitamnya kini berhenti di depan gerbang besar mansion keluarga Adler.
Gerbang besi itu terbuka perlahan, suara deritnya menggema di halaman luas yang nyaris sepi. Lampu taman menyala temaram. Rumah itu berdiri angkuh, mewah, dingin—seolah tak pernah benar-benar menjadi “rumah”.
Begitu Ethan melangkah masuk, hawa klasik bercampur parfum mahal langsung menyambut.
“Ethan?” suara nyaring Helena terdengar dari arah ruang duduk. “Kamu pulang malam-malam begini? Astaga, apa ada yang terbakar? Perusahaan bangkrut? Atau—”
“Tidak ada yang terbakar, Ma.” potong Ethan dingin.
Namun Helena sudah berdiri di depan tangga, mengenakan robe sutra, rambutnya masih tertata rapi. Seolah dia memang selalu siap menyambut drama, dua puluh empat jam penuh.
“Kamu tahu jam berapa ini?” lanjut Helena dramatis, “Seorang pria lajang, tampan, kaya, pulang larut… Ini tanda alam semesta ingin kamu cepat menikah, Ethan!”
Edmund muncul beberapa detik kemudian, dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya, tangannya membawa segelas scotch.
“Biarkan dia bicara,” katanya singkat, menatap Ethan. “Kamu jelas datang bukan untuk ceramah.”
Helena menyilangkan tangan di dada. “Jangan-jangan… kamu akhirnya punya wanita serius? Hah? Siapa dia? Aktris? Model? Pewaris kerajaan?”
Tatapan Ethan mengeras sesaat.
“Aku punya anak.”
Dunia seolah berhenti berputar.
Senyapan yang jatuh bukan cuma satu detik, tapi panjang, menegangkan—hingga Helena bahkan lupa berkedip.
“...Apa?”
Edmund menurunkan gelasnya perlahan.
“Ulangi.” Suaranya tenang, tapi berat.
“Aku punya anak,” ulang Ethan, nadanya datar. “Seorang putra. Namanya Aiden.”
Helena memegang dada. “Mama… mama tidak mendengar halusinasi, kan?”
Ethan mengeluarkan map cokelat dari jasnya dan meletakkannya di meja marmer di tengah ruangan.
“Tes DNA.”
Ia mendorong map itu ke arah ayahnya.
Edmund membuka map itu terlebih dahulu. Mata tuanya bergerak cepat memindai angka demi angka, grafik demi grafik. Rahangnya sedikit mengeras. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia mengarahkannya pada Helena.
Beberapa detik setelah membaca, reaksi Helena… benar-benar di luar dugaan.
“Astaga…!” ia menjerit pelan sebelum tertawa histeris. “99,98% kecocokan?! Aku punya cucu?! Aku punya cucu?! EDMUND, AKU PUNYA CUCU!!!”
Edmund tetap tenang, tapi sorot matanya berubah. Ada sesuatu yang lembut, nyaris tak terlihat.
“Seorang bocah lelaki…” gumamnya. “Berapa usianya?”
“Tujuh belas tahun,” jawab Ethan.
“TUJUH BELAS?!” Helena kembali berteriak. “Selama ini… aku kehilangan tujuh belas tahun hidup cucuku?!”
Ia menatap Ethan seperti hendak memukul sekaligus memeluknya.
“Kamu tahu apa artinya ini?! MAMA AKHIRNYA PUNYA ALASAN MENGOLEKSI MAINAN LAGI!”
“Ma,” suara Ethan mengeras. “Jangan terlalu cepat berkhayal.”
Helena berhenti, bibirnya sedikit mengerut. “Apa maksudmu?”
“Mama tidak boleh mendekatinya dulu.”
Senyum di wajah Helena perlahan memudar.
“Kenapa?” tanyanya pelan.
“Karena dia belum tahu,” jawab Ethan singkat. “Dan aku belum siap dia melihat dunia keluarga Adler seperti apa.”
Edmund melipat kertas-kertas itu kembali, lalu menatap putranya lebih lama dari biasanya.
“Kamu terlihat berbeda.”
“Apa maksud Papa?”
“Kamu tidak pernah datang ke sini dalam keadaan seperti ini.” Nada Edmund netral. “Biasanya kamu hanya datang jika perlu tanda tangan atau pemakaman.”
Helena menyela cepat, “Dan ini jelas bukan pemakaman, kecuali kamu ingin mengubur kesendirianmu.”
Ethan tidak menanggapi lelucon itu. Tatapannya menurun sebentar, seperti memikirkan sesuatu yang rumit dan berbahaya.
“Dia anak yang keras kepala.” Sudut bibirnya bergerak tipis. “Dan sangat mirip denganku. Cara bicara, cara menatap orang, bahkan cara menolak sesuatu.”
Helena tersenyum lebar. “Itu pertanda baik.”
“Tidak selalu.”
“Lalu ibunya?” tanya Edmund tiba-tiba.
Wajah Ethan mengeras lagi.
“…Keira.”
Nama itu menggantung di ruangan, seperti gema masa lalu.
Helena terdiam kali ini. Untuk pertama kalinya, ia tidak bereaksi heboh.
“Sekretarismu?” katanya pelan.
“Ya.”
Edmund menatapnya tajam. “Wanita itu yang selama ini selalu di dekatmu?”
Ethan mengangguk.
“Dan kamu baru tahu sekarang?” lanjut ayahnya.
“Dia menyembunyikannya.” Ada luka yang samar di suara Ethan. “Dan aku… tidak cukup peduli pada hidupku sendiri waktu itu.”
Helena memeluk dirinya, matanya berkaca-kaca. Bukan karena marah—tapi karena emosi yang membanjir tiba-tiba.
“Anak mama punya anak…” bisiknya. “Kamu tahu apa yang mama pikirkan setiap malam, Ethan? Bahwa garis keluarga ini akan berhenti padamu. Bahwa kamu terlalu dingin untuk mencintai siapa pun selain mesin dan perusahaanmu.”
Tatapannya mengunci Ethan.
“Ternyata ada bagianmu… yang masih hidup.”
Ethan tidak menjawab, tapi rahangnya sedikit menegang.
“Apa kamu mencintainya?” tanya ibunya lagi, lebih hati-hati sekarang.
Keira.
Nama itu bahkan tak perlu disebut.
Ethan memalingkan wajah, menatap keluar jendela besar menghadap kolam.
“Aku selalu mencintainya,” jawabnya akhirnya, lirih namun tegas. “Bahkan ketika dia menyangkal keberadaanku.”
Helena mengusap air matanya. “Kalau gitu, biarkan mama menemui cucu mama—”
“Jangan, Ma.” Suara Ethan kembali dingin. “Aku tidak mau hidupnya berubah menjadi medan perang emosional. Biarkan aku yang mengurus semuanya lebih dulu.”
Edmund mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya dalam hidup Ethan, ayahnya setuju tanpa perdebatan.
“Baik,” ucap Edmund. “Kamu sudah membuat keputusan sebagai pria dan sebagai ayah. Papa tidak akan menghalangimu.”
Helena mengangguk walau tampak kecewa. “Dengan satu syarat,” katanya serius.
“Apa?”
“Pastikan anak itu tahu… dia dicintai. Bahkan oleh orang yang belum pernah ia temui.”
Ethan menatap lantai sejenak.
“Itu satu-satunya hal yang ingin kulakukan sekarang.”
Di luar, angin malam bertiup pelan melalui pepohonan tua di halaman mansion Adler.
Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, rumah itu terasa… hidup kembali.
...****************...
up nya kurang kk
3 S😍
tutur bahasanya rapi halus tegas jarang tipo atau mungkin belum ada
semangat tor 💪💪💪