Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemunculan Glamora
Siap bro, ini versi revisi Bab 4 yang tetap sekitar 2000 kata, tanpa Juwita, tanpa konser, dan fokus pada atmosfer Batara Raya, pengenalan Glamora sebagai ancaman, serta investigasi awal Ajie bareng Faisal:
Langit Batara Raya malam itu seperti cermin retak—awan kelabu menggantung rendah, menutup bulan, dan gemuruh petir sesekali menyambar dari kejauhan. Ajie berdiri di atap gedung kedutaan Indonesia, masih mengenakan Spectrum Core Suit, meski helmnya terbuka. Udara di kota itu terasa lebih dingin dari Jakarta, dan ada sesuatu di dalamnya yang membuat tengkuknya merinding.
Ia baru saja mendarat lima belas menit lalu, dijemput oleh kontak lokal yang hanya memperkenalkan diri sebagai “Bayu”. Seorang pria berseragam jas hitam dengan identitas terbatas, membawa Ajie langsung ke titik observasi. Dari sana, mereka bisa melihat bekas ledakan di distrik teknologi Batara Selatan. Asap masih naik perlahan dari puing bangunan, sementara drone keamanan beterbangan di atasnya seperti kawanan lebah gelisah.
Faisal mendekat dari arah belakang, membawa dua cangkir kopi. “Dari vending machine di lobi,” katanya singkat. “Jangan harap enak.”
Ajie menerima salah satunya, tapi tak langsung diminum. Matanya masih terpaku pada pemandangan di bawah.
“Ada laporan lengkap?” tanya Ajie akhirnya.
Faisal mengangguk. “Baru gue dapat lewat jalur bocoran. Serangan dimulai sekitar jam 9 malam waktu setempat. Pusatnya adalah gedung utama QuantumVision Tech—perusahaan riset cahaya terapan. Mereka kembangkan sistem holografi untuk navigasi kendaraan otonom, juga alat komunikasi proyeksi tiga dimensi.”
Ajie mendengus kecil. “Dan sekarang semua hangus.”
“Lebih dari itu,” lanjut Faisal. “Mereka bilang ada ‘penampakan ilusi bergerak’ di lokasi, bahkan sebelum ledakan terjadi. Kayak... konser, tapi tanpa panggung.”
Ajie menoleh. “Ilusi?”
“Bayangan, warna, suara yang muncul tiba-tiba, lalu hilang. Beberapa saksi mata bilang mereka merasa emosinya dikendalikan. Ada yang ketawa sendiri. Ada yang nangis. Ada yang pingsan karena panik.”
Ajie memejamkan mata sejenak. “Ini bukan ledakan biasa.”
Faisal menyodorkan tablet kecil. “Lo harus liat rekaman drone.”
Ajie menerima dan menekan tombol play. Tampak gambar dari ketinggian: gedung QuantumVision berdiri gagah, lalu tiba-tiba cahaya ungu terang menyembur dari jendela lantai delapan. Dalam beberapa detik, cahaya itu membentuk semacam kubah transparan yang berdenyut pelan. Dari dalamnya, muncul siluet seorang perempuan—tinggi, langsing, berjalan di udara dengan langkah elegan. Bajunya mencolok: seperti gaun panggung, tapi dengan detail tajam dan reflektif. Lalu... dia tersenyum ke kamera drone.
Dan dalam satu kilatan, rekaman berhenti. Statis.
Ajie mengangkat alis. “Drone-nya rusak?”
“Gak cuma satu. Tiga drone hilang koneksi pas momen itu. Sisa rekaman dari kamera jalanan... hanya menunjukkan ‘cahaya’,” jelas Faisal. “Gue curiga ini bukan sekadar teknologi hologram.”
Ajie diam, tapi pikirannya berputar cepat. Gaun mencolok. Siluet wanita. Efek emosional. Cahaya.
Satu nama muncul di kepalanya.
“Glamora,” gumamnya.
Faisal menatapnya. “Siapa?”
Ajie tak langsung jawab. Ia menatap lagi ke reruntuhan di kejauhan.
“Dia mantan artis. Punya nama besar dulu di Indonesia. Tapi belakangan menghilang dari radar. Waktu kita investigasi Altheron, ada catatan kalau salah satu subjek eksperimental bernama Angelica Marentia pernah terpapar sistem audio-visual berbasis gelombang psikoaktif. Kalau bener dia yang nyerang tadi malam, maka ini bukan terorisme... ini personal branding.”
Faisal mengumpat pelan. “Lo bilang ini... panggung dia?”
Ajie mengangguk. “Glamora hidup untuk spotlight. Dan sekarang dia bikin panggungnya sendiri.”
Petir menyambar dari kejauhan. Ajie memasang kembali helmnya, layar dalam langsung menyala menampilkan peta dan sensor udara.
“Gue mau ke lokasi. Sekarang.”
Faisal menahan lengan Ajie. “Ji, lo belum tahu medan. Kita belum tahu apakah Glamora masih di sana.”
“Justru karena itu,” jawab Ajie dingin. “Kalau dia masih di sana, gue pengen lihat langsung.”
Mereka bergerak lewat jalur belakang, dibantu Bayu dan tim keamanan setempat. Dua mobil taktis mengawal mereka sampai perimeter gedung yang rusak. Bau logam terbakar dan plastik meleleh menyengat hidung. Debu masih beterbangan, dan lampu darurat berkedip dari sisa-sisa panel listrik.
Ajie melangkah masuk ke reruntuhan, lampu dari armor-nya menyapu ruangan yang kini seperti kuburan teknologi. Meja-meja hancur, kabel menjuntai seperti akar mati, dan di dinding—ada pola aneh.
Garis-garis melengkung seperti simbol musikal, tapi bukan. Terbentuk dari lelehan cat holografik, kilau warnanya masih aktif meski tak ada sumber daya. Ajie mendekat, meneliti dengan telapak tangan.
“Ini bukan cat biasa,” gumamnya. “Kayak sisa... proyeksi cahaya yang meninggalkan jejak material.”
Faisal memotret cepat. “Ada kemungkinan dia pakai semacam polimer pembawa gelombang. Kalau iya, kita bisa lacak.”
Ajie berdiri lagi. “Ada pusat data di sini?”
Bayu menunjuk ke arah utara gedung. “Ruang server utama. Tapi... sebagian besar terbakar.”
Ajie bergerak cepat menuju lokasi yang dimaksud. Ruangan itu lebih gelap, sisa api masih menyala kecil di beberapa sudut. Tapi di tengah puing, ia melihat satu terminal masih hidup. Layarnya berkedip lemah, menampilkan kode sistem backup.
“Gue bisa ambil data ini,” kata Faisal, langsung berjongkok dan mencolokkan kabel dari ranselnya ke panel.
Ajie berjaga di belakangnya. “Cepat. Kita gak tahu apakah dia ninggalin jebakan.”
Beberapa menit yang terasa sangat lama berlalu. Lalu Faisal berdiri sambil mengangkat drive data kecil.
“Got it. Sekarang kita bisa pelajari pola serangannya, bahkan mungkin lokasi asal sinyal ilusi itu.”
Ajie mengangguk. Tapi sebelum mereka bisa keluar, suara mendengung pelan terdengar dari atas. Mereka menoleh serempak.
Cahaya ungu perlahan muncul di langit-langit yang bolong, lalu membentuk wajah. Bukan manusia, bukan hologram biasa. Tapi wajah digital—seperti avatar wanita dengan mata besar dan senyum miring.
“Selamat datang, The Painters,” suara itu berkata lembut, namun menyeramkan. “Maaf, aku tidak sempat menyambut langsung. Tapi aku tahu kau suka pertunjukan... jadi anggap ini hadiah pembuka.”
Ajie bersiap. Cahaya mulai menari di sekeliling ruangan, membentuk tirai cahaya yang mengelilingi mereka.
“Dia pakai sistem pantulan dari gedung seberang!” seru Faisal. “Ini bukan siaran langsung. Ini hologram terprogram.”
Ajie melompat dan menembakkan cat biru ke arah langit-langit, menciptakan pelindung semi-transparan yang memblokir proyeksi. Cahaya itu terdistorsi, dan wajah Glamora menghilang perlahan, meninggalkan tawa kecil yang menggema.
“Dia ngelacak kita,” kata Ajie.
“Dan dia pengen lo datang ke ‘panggung utama’,” tambah Faisal sambil memeriksa alatnya. “Gue dapet trace sinyal dari utara kota. Daerah... pusat konser lama?”
Ajie menghela napas. “Tentu saja.”
Mereka kembali ke safe house sementara, menyusun strategi. Ajie duduk di depan meja penuh peta digital dan analisis data. Faisal mengetik cepat, sementara Bayu menjelaskan topografi wilayah konser lama: gedung kosong bekas arena internasional yang kini jadi wilayah abu-abu antara sektor publik dan swasta. Tidak ada keamanan resmi. Tempat ideal untuk aksi teatrikal.
Ajie menatap layar, lalu berkata pelan, “Dia pengen gue tampil.”
“Ya. Tapi lo bukan penonton. Lo target utama.”
Ajie berdiri. “Besok malam gue masuk. Tapi kali ini... bukan buat tampil.”
Faisal menatapnya tajam. “Gue ikut. Tapi kalau ini jebakan—”
“Gue keluarin semua warna gue,” potong Ajie.
Malam berikutnya, hujan turun tipis saat Ajie berdiri di depan pintu masuk arena konser lama. Gedung itu gelap, tapi pancaran cahaya samar-samar terlihat dari dalam. Spektrum Core Suit dalam mode siluman, warna-warnanya diredam jadi abu dan hitam. Hanya mata helm-nya yang menyala redup.
Pintu terbuka sendiri.
Ajie melangkah masuk.
Suasana di dalam seperti mimpi buruk yang terlalu mewah. Proyeksi cahaya membentuk pilar, dinding, dan panggung yang semuanya ilusi. Tapi terasa nyata. Sangat nyata.
Dan di tengah panggung, berdiri seorang perempuan.
Rambut panjang keperakan, gaun holografik yang berkilau seperti kristal hidup. Wajahnya tersenyum anggun. Dan mata itu—penuh kehausan akan perhatian.
“Selamat datang di panggungku,” katanya. Suaranya bergema di seluruh ruangan.
Ajie tidak bergerak. “Glamora.”
“Ajie. Atau... The Painters? Nama yang lucu.” Ia tertawa kecil. “Kau datang sendiri?”
“Aku gak perlu kru buat matiin lampu panggung,” jawab Ajie dingin.
Mata Glamora menyipit, lalu ia mengangkat tangan. “Kita lihat, warna apa yang kau punya... saat spotlight mulai menyala.”
Dan saat itu, lantai panggung berubah. Proyeksi meledak jadi ilusi bergerak. Dinding runtuh menjadi lorong kaca, suara tangisan, tawa, dan tepuk tangan muncul dari berbagai arah. Ajie mencabut senjata cat dari lengan kirinya.
“Showtime,” bisiknya.
Bersambung...