Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
saat mereka masih berada di rumah sakit,suara heels berbunyi pada hentakan ubin rumah sakit..
Alaska…!”suara wanita yang tenang tapi tajam.
Alaska,Sancha maupun anak buah Alaska melirik dengan bersamaan…
”Mama…”lirih Alaska kaget melihat kedatangan sang mama kerumah sakit..
Uca mendekat..mata nya sendu menatap gadis yang tepat didepan matanya..
”Aca…”lirih Uca menggenggam tangan Sancha dan memeluk tubuh Sancha.
“bibi…”lirih Sancha menangis deras…
“kenapa kau berbohong kepada mama Alaska…!”bentak Uca menatap tajam Alaska..
“ma,bukan begitu,tapi ini tidak seperti yang mama pikirkan…”jelas Alaska kepada Uca..
“Dion,bawa Sancha pulang…!”
“tidak…!”tegas Uca….
“ma,come on aku tidak ada waktu berdebat,aku akan datang ke rumah untuk menjelaskan nya…”
Sancha menatap Uca dengan tatapan meminta tolong…”bibi aku mohon lepaskan aku dari tuan ini…”lirih Sancha memberanikan diri..
“SANCHA…!”
“pengawal…!”bentak Alaska
“ALASKA…!lepaskan jangan buat mama murka ya,atau kamu mau mama bawa Sancha dan anak yang ia kandung ini jauh dari kamu…!?”
kening Alaska berkerut,ia kaget sang mama tau tentang sancha..begitu juga dengan sancha.
Alaska menarik tangan Sancha dan membawa tubuh sancha pergi.
”alaska lepaskan aca,dia itu bukan barang….!”bentak Uca namun tubuh nya di hadang oleh pengawal alaska.
sedangkan Aca memukul-mukul tubuh Alaska.
”kau begitu jahat kepada ku…!bahkan aku tidak harus gimana cara menebus dosa-dosaku…”lirih Sancha kepada Alaska..
“kau cukup lahirkan keturunan ku,lalu kau pergi dari aku dan anak ku…!”tenang tapi menusuk.
“itu tidak akan pernah…!”sarkas Sancha menampar pipi Alaska dan segera turun dari gendongan Alaska..
“kau jangan coba-coba buat kabur Sancha,atau kau tau akibatnya…!”ancam Alaska kepada Sancha yang berjalan kecil..
“aku sudah mengubur keinginan untuk kabur itu tuan Alaska yang terhormat..”ujar Sancha masuk kedalam mobil yang semula membawa dirinya ke Rs
“jalan pak…!”perintah Sancha menutup pintu dengan menghempaskan ny.
“baik nya…”jawab pak mamat sudah menjadi sopir untuk Sancha
sedangkan sancha mulai menangis didalam mobil,ia benar-benar lelah,dari tubuh,batin dan segalanya..
pak mamat tak berani berbicara ia hanya memperhatikan dari kaca kecil mobil.
FYI usia kandungan sancha sudah memasuki 2 bulan lebih ya guys.
“aku bahkan tidak bisa mendengar kabar papa ku…!”lirih Sancha masih menangis..
saat ini tengah pukul 4 sore,sancha ingin sekali melihat papa nya yang berada di panti lansia
sancha juga rindu dengan Meka..
Sancha mengangkat kepalanya..”pak mamat…”
ya nya…?”
bisa kita ke panti lansia di jalan dahlia…?”
“ta-tapi nya,tuan bisa marah kalau kita pulang tidak tepat waktu..”
“saya yang akan bertanggung jawab pak…”
“saya mohon pak…!”
“baik nya saya lakukan..”
Pak mamat memutar mobil bernuansa hitam bersih itu..
”aduh tapi media akan tau mobil milik tuan Alaska berhenti di panti lansia..bagaimana ini…”batin nya..
Pak mamat punya ide,ia berhenti sejenak di pinggir jalan..”sebentar ya nya…”
Pak mamat mengambil ponsel dan menghubungi Amar..
“katakan..!”jawab Amar..
“siap,nyonya Sancha meminta berkunjung ke panti lansia di jalan dahlia pak…mohon info dari tuan Al pak…”
“sebentar saya sambungkan…!”
ponsel pindah ke telinga Alaska.”katakan..!”
pak mamat menjelaskan..Alaska mengizinkan hanya 30 menit lalu kembali ke mansion dengan selamat..
percakapan berhnti disana dan pak mamat segara meluncur ke panti lansia ke tempat ayah Sancha.
Mobil hitam itu melaju pelan menembus kabut tipis pagi yang menggantung rendah di sepanjang Jalan Dahlia. Udara masih lembap, dedaunan berembun di tepian trotoar. Sancha duduk diam di dalam mobil, tangannya menggenggam erat tas kecilnya. Wajahnya pucat, tapi matanya berbinar… seolah harapan itu masih ada.
“Sudah lama aku tidak bertemu Papa,” gumamnya lirih. “Semoga beliau sehat… semoga beliau masih ingat aku…”
Pak Mamat menoleh dari kursi sopir, “Kita sudah sampai, Nyonya…”
Gerbang besi bercat putih dengan papan bertuliskan “Panti Lansia Cahaya Dahlia” terbuka perlahan. Sancha segera turun dari mobil, melangkah cepat melewati taman kecil, menahan haru yang sudah mendesak di dadanya.
⸻
Begitu masuk, perawat yang berjaga langsung berdiri dan menunduk.
Raut wajahnya tidak biasa—bukan sambutan hangat, melainkan… kesedihan.
“Selamat pagi… saya Sancha… saya anak dari Bapak Mahdi Rasyid. Bisa saya temui beliau?”
Perawat itu menunduk lebih dalam, matanya berkaca-kaca.
“Nona Sancha… saya… sangat menyesal…”
Dunia mendadak membeku.
“Ayah Anda… meninggal 1 bulan yang lalu. Serangan jantung mendadak. Kami sudah mencoba, tapi… beliau tidak sempat dibawa ke rumah sakit.”
Tas di tangan Sancha terjatuh.
Tubuhnya bergetar hebat.
“T-tidak… Tidak… tidak…”
“PAPA…!” jeritnya.
Lututnya lemas. Ia jatuh terduduk di lantai lobby. Isaknya pecah—bukan sekadar tangisan biasa, tapi jeritan jiwa yang baru saja kehilangan bagian terpenting dalam hidupnya.
Perawat mendekat, ingin menenangkannya.
“Beliau terus menyebut nama Nona sebelum tidur semalam. Beliau bahagia tahu Anda masih hidup… dan aman…”
Sancha memeluk dirinya sendiri.
“Aku bahkan belum bilang aku selamat… aku bahkan belum bilang aku… hamil…”
⸻
[RUANG JENAZAH – PERPISAHAN YANG TERTUNDA]
Di dalam ruang sederhana, tubuh Pak Mahdi telah dibungkus kain putih. Wajahnya tenang, seolah sudah damai dengan dunia ini.
Sancha berjalan dengan langkah goyah. Ia duduk di samping jenazah ayahnya, lalu memeluk erat tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa.
“Maafkan aku Pa… aku terlambat… aku terlalu lama bersembunyi… aku janji akan bawa Papa pergi dari semua ini… tapi aku… gagal…”
Air mata membasahi tubuh ayahnya.
“Papa… anakmu akan jadi ibu… dan aku… aku takut, Pa…”
Pak Mamat menunggu di luar ruangan dengan wajah muram. Ia menunduk, tak sanggup melihat gadis muda itu patah—lagi dan lagi.
⸻
[30 MENIT BERLALU – TENGGAT YANG DITENTUKAN ALASKA]
Ponsel Pak Mamat berdering. Amar menelepon.
“Waktu kunjung habis. Tuan ingin Sancha kembali sebelum malam.”
Pak Mamat menoleh ke ruang jenazah. Ia melihat Sancha masih memeluk ayahnya, tubuhnya berguncang, suara isaknya samar terdengar dari luar.
Pak Mamat menghela napas panjang.
“Saya… butuh beberapa menit lagi. Tuan akan mengerti…”
Dan untuk pertama kalinya…
perintah Alaska ditunda.