Dari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang memberikan kepercayaan diri untuknya.
Sedangkan Ratu, Ia sosok perempuan sempurna. Ratu terkenal tak mau berkomitmen dan berpacaran, Ia seorang pemain ulung. Hidup Ratu berubah saat Ia dan Syailendra satu team mewakili olimpiade kimia dari sekolahnya. Mereka tak pernah sekelas, dan Ratu bahkan baru mengenalnya. Tapi sosoknya yang misterius merubahnya, Ratu merasakan sesuatu yang berbeda dengan pria itu, membuatnya merasa hangat dan tak mau lepas darinya.
Namun dunia tak mendukung mereka dan mereka harus berpisah, mereka lalu bertemu sepuluh tahun kemudian. Apakah kisah kasih mereka akan tersambung kembali? Atau malah akan semakin asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 - Angin Dingin
Aula tempat melaksanakan perlombaan pun sudah dipadati oleh peserta, dan di bangku penonton sudah terlihat para pendukung siswa dari sekolah masing-masing. Dan di antara para pendukung itu ada orang tua yang ingin melihat anak-anaknya berlomba.
Syailendra tersenyum getir. Hanya orang tuanya yang tidak ada di sini. Alih-alih mau datang, bangga dengan dirinya saja mereka tidak.
"Bunda kamu jadi ke sini kan, Sayang?"
Syailendra menoleh dan melihat Heri bertanya pada Sasa. Anak itu tampak mengangguk riang. Melirik ke arah bangku penonton untuk mengecek apakah orang tuanya sudah hadir atau belum.
"Katanya tadi udah sampai Jakarta. Tapi kayaknya belum masuk aula ini deh. Mungkin lagi di jalan. Kamu gimana? Calon mertua aku jadi datang kan?"
"Enggak kayaknya. Soalnya jauh juga kan jarak Bandung ke Jakarta? Mana mungkin Mama aku bisa pergi sendiri? Sedangkan kamu tau Papa aku kerjanya di Kalimantan. Mana bisa izin pulang?"
Syailendra hanya menyimak perkataan mereka tanpa ada niat mau menimbrung. Setidaknya meski pun tidak datang, Heri mendapat perhatian ekstra dari ayah dan ibunya yang bergantian mem-video call selama ia tidur sekamar dengan anak itu.
Bahkan Heri bercerita ia dikirimi uang jajan lebih oleh ayahnya sebanyak satu juta kemarin malam. Syailendra semakin iri. Bukannya menyombong. Orang tua Syailendra lebih mampu dari segi harta ketimbang orang tua Heri. Namun hidup Syailendra malah yang paling menyedihkan di antara mereka semua. Benar kata Heri. Ia kaya raya, namun tampak seperti orang tak berpunya.
Menggeleng samar, Syailendra mencoba fokus agar tidak terpengaruh suasana di sekitarnya. Pandangannya tak sengaja tertoleh ke arah Ratu yang berdiri di sebelah Sasa. Gadis itu melihat tajam ke arah bangku penonton. Tatapannya mengandung arti bahwa gadis itu merasa sedang terancam.
Maka Syailendra lihat apa yang sedang dilihat Ratu. Tampak olehnya dua orang yang kalau Syailendra tebak merupakan pasangan suami istri juga tengah melambaikan tangan ke arah Ratu.
Siapa mereka? Apa orang tua Ratu?
Syailendra tidak ingin menanyakan hal itu sekarang. Dia ingin fokus untuk bisa fokus olimpiade ini.
Olimpiade hari pertama itu baru selesai pukul 4 sore karena diselingi dengan jam istirahat dan makan siang. Berbeda dari biasanya, Ratu hari ini tampak kurang bersemangat. Bahkan gadis itu izin pergi ke kamar duluan sebelum Syailendra sempat bertanya siapa yang tadi Ratu lihat di kursi penonton.
Untuk menjawab rasa penasarannya, maka Syailendra bertanya pada Heri, yang mana saat ini mereka menuju kamar hotel untuk beristirahat.
"Her, kamu tahu tadi itu siapa yang di lihatin sama Ratu di kursi penonton?"
"Oh. Itu kedua orang tuanya. Mereka itu punya klinik kecantikan yang ternama di Bandung. Masa lo nggak tau sih? Terkenal, lho, mereka."
Syailendra mengerdikkan bahu. Ya memang ia tidak kenal. Selama ini bahkan Syailendra jarang update berita apa pun di sosial media. Bahkan ia baru tahu Ratu merupakan siswa popular setelah diberitahu Heri waktu itu.
"Ah, susah gue sama lo. Ya udah, sini gue jelasin. Jadi, Ratu itu sebenarnya tajir. Keluarganya juga harmonis. Banyak yang iri sama dia karena mereka se-cemara itu. Nanti lo cari deh di instagram; Dharma Beauty. Selain punya klinik kecantikan, mereka tuh juga punya produk skincare sendiri. Sasa sering, tuh, beli produknya."
Syailendra tercengang. Ia catat di otaknya sebagai bahan informasi.
"Makanya selama ini gue tuh kalau makan sering banget nebeng sama Ratu. Ya karena dia setajir itu. Anak orang kaya dia. Gue aja heran waktu itu kenapa Ratu yang ke sekolah aja diantar jemput mau-mauan diajak naik bis sama lo. Hahaha."
Syailendra merasa bersalah mendengarnya. Kenyataannya memang selama ini Ratu sering ia ajak naik bis. Dan perempuan itu mau-mau saja. Syailendra mengutuk kebodohannya sendiri karena tidak mencari tahu asal-usul Ratu. Ia terlalu nyaman dengan gadis itu hingga menganggap tidak penting latar belakang Ratu itu seperti apa.
"Tapi kalau dipikir-pikir kalian cocok, sih. Lo sama Ratu sama-sama tajir dan yang penting sama-sama aneh," kekeh Heri.
"Aneh apanya?"
"Ya iya. Kalian ini tajir, tapi hobi bener nyusahin diri sendiri. Ngapain coba selama ini naik bus kayak orang susah? Hahaha ada-ada aja."
Syailendra menghela napas mendengarnya. Ya ... kalau dipikir-pikir memang ada benarnya juga, sih.
Perlombaan itu berlangsung tiga hari, dan sayangnya karena banyak masalah yang terjadi, Syailendra jadi tidak fokus, hingga hasil yang didapat pun kurang maksimal. Entah karena tim mereka yang belakangan ini terpecah atau mungkin karena memang lawan yang begitu berat, mereka hanya memperoleh peringkat tiga secara nasional.
Namun meski begitu, Syailendra tetap merasa bangga pada dirinya sendiri. Ia sudah berjuang sejauh ini. Hal yang bahkan memimpikannya saja ia tidak berani.
"Maaf, ya, cuma dapat juara tiga," ujar Syailendra pada ketiga temannya yang lain usai menerima medali kemenangan.
"Gak masalah. Yang penting gue bisa pamer ke temen-temen kalau gue juara tiga nasional!" seru Heri bangga.
"Bangga banget dong. Apalagi Bunda aku. Bangga dia kita berdua bisa buktiin kalau pacaran nggak menghambat semuanya, Sayang!" seru Sasa.
Namun berbanding terbalik dengan mereka, Ratu justru tampak cemberut sejak tadi. Melihat hal itu membuat Syailendra mengusap kepala Ratu hingga gadis itu menoleh padanya.
"Kenapa?" tanya Syailendra, lembut.
"Nggak apa-apa kok," jawab Ratu singkat, lantas mengajak Sasa bicara seolah menghindari dirinya.
Syailendra mengerutkan dahi. Ini sudah hari ketiga sikap Ratu berubah padanya. Lebih tepatnya setelah kejadian malam itu yang ia dipukuli oleh ayahnya.
Di tengah kebingungan itu, Sasa pun mengajak mereka foto bersama. Segalanya masih terlihat normal, namun ketika Syailendra ingin mengajak Ratu foto berdua, perempuan itu malah terang-terangan menolak.
"Aku ... aku duluan ke bis ya. Babay semua!" tolak Ratu, yang langsung saja pergi dari aula itu tanpa mau mendengarkan Syailendra.
Detik itu juga Syailendra merasakan sakit di dadanya atas perubahan sikap Ratu. Namun ia masih tetap berpikiran positif.
Apa Ratu lagi capek ya makanya dia jadi begitu?
Ya, pasti karena itu. Syailendra meyakinkan dirinya sendiri meski pun jauh di lubuk hati terdalamnya, Syailendra merasa Ratu ... perlahan meninggalkannya.