NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Mereka sudah berada di kamar, udara terasa berat dan penuh makna. Nay menangkap perubahan pada Umar ada sesuatu yang berbeda dari sorot matanya yang biasanya tenang. Mungkin karena lama terpisah sejak Umar kembali ke Semarang.

Umar merangkul Nay erat, lalu bibirnya bertemu dengan pipi Nay berulang kali, seakan ingin menyimpan momen itu dalam ingatan. Napasnya yang terburu-buru menandakan kerinduan yang membakar dalam dadanya. Nay menutup matanya, menyerahkan diri pada hangat sentuhan itu, hatinya luluh dalam keheningan. Ia tahu, tak ada yang lebih tulus dari kasih sayang suaminya kini, dan ia siap membalasnya tanpa syarat.

"Mas," gumam Nay pelan, napasnya bergetar saat tangannya merengkuh kepala Umar yang tenggelam di dadanya.

Hatinya dipenuhi gelombang rasa cinta yang dalam sekaligus ketakutan kehilangan yang pernah mengiris. Umar menatap Nay dengan mata penuh gairah, senyumnya mengundang, lalu melanjutkan gerakan hangatnya. Nay ikut terbuai, kelopak matanya perlahan tertutup, merasakan setiap detik yang mengalir di antara mereka.

Di balik derasnya rindu itu, pikirannya semakin terang; pernikahan mereka harus ia jaga, dengan cinta yang tak pernah pudar dan rindu yang mengikat jiwa mereka bersama.

Di kamar atas rumah baru Nay, aku duduk terpaku menatap jendela yang memantulkan cahaya senja. Waktu terasa begitu sempit, seperti pasir yang terus menetes di antara jari. Aku ingin mencuri lebih banyak detik untuk bersandar pada Nay, merasakan hangatnya yang selama ini jadi pelipur. Namun, dalam hati aku tahu, malam ini aku harus kembali ke rumah Citra.

Nafas Umar tertahan saat membayangkan wajah Citra yang bisa merajuk, membisikkan keluhan ke telinga Abah, Ummi, bahkan orang tuanya sendiri jika Umar terlambat.

Rasa bersalah menekan dada, bagaikan rantai tak kasat mata yang mengikat leherku. Memiliki dua istri bukan sekadar menjalani kehidupan, tapi menjalani peperangan yang berbahaya dengan perasaan mereka. Yang paling memberatkan adalah rahasia ini. Jika Nay sampai tahu, luka yang kurasa akan jauh lebih dalam dari yang bisa kulawan. Pandanganku jatuh pada sosok Nay yang tertidur, damai tapi rapuh.

Bisikan dalam dada memanggil dengan lirih, “Apakah semua ini benar? Bagaimana caraku menjaga hati mereka berdua tanpa harus hancur?” Suara itu menggema pelan, menandai kebingungan dan beban yang aku pikul sendirian.

Pikiran itu terus menghantui, seperti bayangan gelap yang tak bisa kutinggalkan. "Aku nggak bisa lari dari kenyataan ini," gumamku lirih, dada sesak menahan beban kebohongan yang semakin membelit.

Nay dan Umar melangkah cepat menuju kamar mandi, aku tahu betul apa yang baru saja kami lakukan. Sambil membersihkan diri, pikiranku berputar mencari jalan keluar meski pada akhirnya rutinitas menguasai. Setelah selesai, aku menyiapkan makanan dan minuman untuk Umar. Masih terlalu sore untuk tidur, pikirku.

Suara dentingan sendok dan piring bergema di ruangan saat kami duduk di meja makan, berusaha menikmati momen sederhana ini meski hati masih berat.

Percakapan kami mengalir ringan, sesekali aku melontarkan tanya tentang keseharian Umar di Semarang bersama bapak dan ibunya. Dia menjawab dengan suara lembut dan tenang, tapi ada sesuatu yang membuat hatiku meremas.

Tatapannya sering menghindar, mata itu tampak gelisah setiap kali aku mencoba menangkap makna di balik kata-katanya. Aku mencoba menepis rasa curiga yang merambat, tapi jari-jariku tak henti mengamati setiap gerak-geriknya, nada bicaranya yang kadang terpatah, pilihan kata yang seolah diatur rapi agar tak menyinggung sesuatu yang disembunyikan. Saat dia menyipitkan mata sekilas lalu cepat-cepat memalingkan muka, dadaku serasa ditekan oleh tanya yang tak terucap.

"Apa yang sebenarnya kau tutupi, Mas Umar?" gumamku dalam hati, rasa gelisah menjalar semakin deras.

Naluriku sebagai istri seolah berbisik, ada rahasia besar di balik kata-katanya yang terbungkus rapi, dan aku belum siap membuka pintu itu. Di benakku terus berputar satu nama yang entah kenapa selalu muncul: Citra. Tapi aku memilih diam, menahan diri sambil menunggu rahasia itu perlahan terurai sendiri.

Umar menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan gelisah sebelum membuka suara.

"Nay, sayang... Malam ini aku nggak bisa tidur di rumah, ya. Aku harus ngisi materi pengkaderan, lokasinya lumayan jauh. Jadi, mending aku nginap di sana, terus besok pagi langsung ke kampus buat kerja," ucapnya pelan, matanya menatap ragu ke arah Nay.

Nay mengerutkan alis, bibirnya sedikit menekan rapat seolah menahan sesuatu. Umar merasakan getaran kecemasan merayap ke dadanya. Baru saja dia pulang dari Semarang, tapi harus pergi lagi. Berat rasanya melihat raut wajah Nay yang enggan melepaskannya.

"Kamu izinkan aku, kan, sayang? Aku janji, besok sore aku jemput kamu di yayasan. Setelah itu, aku bakal nemenin kamu seharian di rumah,"

Umar menambahkan dengan suara lembut, berharap nada itu bisa meredam kekhawatiran Nay. Nay menatapnya sebentar, kemudian senyum kecil mengembang di ujung bibirnya.

"Ya sudahlah. Sebenarnya aku masih kangen kamu, Mas," katanya dengan suara menggoda yang membuat senyum Umar melebar tanpa bisa disembunyikan.

Di dalam hati, Umar membisikkan doa kecil, ‘Semoga Nay bisa ngerti aku. Aku pengen banget bareng kamu, tapi tugas ini harus selesai dulu.’

Umar menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jendela meski pikirannya berkecamuk.

“Iya, sebenarnya aku masih sangat merindukanmu, sayang,” suaranya serak, berat menahan beban rindu yang menggunung. Namun, alisnya berkerut saat berkata,

“Tapi aku nggak bisa menolak jadi pemateri di pengkaderan ini.”

Di balik kalimat itu, hatinya bergelora. Berkali-kali dia bertanya, apakah ini memang jalan yang benar? Pria yang terbiasa jujur dan tulus itu kini terjebak dalam jaring kebohongan yang makin menyesakkan. Setiap kebohongan terasa seperti duri yang menusuk, mengiris keyakinan dan rasa percaya yang dulu ia pegang teguh.

Tangannya gemetar halus saat mencoba meredam gelombang keraguannya.

“Sampai kapan aku harus terus sembunyiin rasa rinduku padamu?” batinnya terluka. Rindu dan tanggung jawab berperang dalam dada, memaksa Umar berjuang keras agar kejujuran tak terkubur di balik topeng kebohongan yang dia ciptakan demi sesuatu yang dia anggap baik..

Nay sibuk melipat pakaian ganti suaminya dengan tangan yang lincah, wajahnya tampak tenang meski mata sesekali menoleh ke arah Umar yang duduk tak jauh. Umar menunduk, rahangnya mengatup pelan, dadanya sesak oleh rasa bersalah. Dalam hati, ia bergumam lirih,

"Berapa lama lagi aku harus terus membagi waktu antara Citra dan Nay? Berbohong berkali-kali padanya, hati ini perih luar biasa."

Suara Umar memecah keheningan, "Aku bawa mobil ya, sayang! Besok pagi aku usahakan pulang cepat supaya bisa antar kamu ke yayasan sebelum kuliah."

Nay menatapnya, senyumnya tipis tapi tulus. "Loh, nggak usah repot-repot, Mas. Nanti kamu capek di jalan. Aku sudah mulai hapal jalan ke yayasan, bisa naik motor sendiri kok."

Mendengar itu, mata Umar terpaut pada motor matic baru yang diparkir di garasi, hadiah yang baru saja dia beli untuk mereka berdua agar bebas menjelajah Jakarta tanpa harus bawa mobil. Senyum miris terlukis di bibirnya, campuran rasa lega dan bersalah yang tak mudah terurai.

Umar menatap langit-langit kamar, dadanya sesak dipenuhi penyesalan yang tak berujung. Seharusnya dia yang selalu ada untuk Nay, menjaga dan merawat hatinya, bukan malah menjadi sumber beban dan luka. Tangannya meremas ujung baju yang dikenakannya, seolah ingin meraih kekuatan untuk memperbaiki semuanya.

"Sudah, sana berangkat, Mas! Takutnya nanti Mas terlambat ngisi materi," suara Nay tiba-tiba memecah lamunannya. Dengan nada santai tapi tegas, ia menyodorkan kunci motor pada Umar.

Umar menoleh, melihat senyum tipis di wajah Nay yang tetap berusaha normal meski jelas ada kepedihan tersembunyi di matanya. Dalam hati, Umar berjanji untuk mengakhiri kisah terlarangnya dengan Citra dan kembali sepenuh hati pada istri yang selama ini ia sakiti.

Di balik kemudi, tangan Umar menggenggam setir dengan erat, napasnya sesak tiap kali melihat lambaian tangan Nay yang masih terayun di ambang pintu.

Malam ini, seharusnya ia tak jadi mengisi materi pengkaderan. Haturnya sudah terpatri ingin cepat-cepat pulang ke rumah Citra, istri keduanya. Namun, suara desakan Citra di telinganya bersaing dengan rasa takut yang bergetar di dadanya.

“Bagaimana aku bisa meninggalkan Nay sendirian di malam dingin seperti ini?” pikir Umar, dadanya terasa sesak. Senyum manis Nay itu, yang biasanya membawa hangat, kini malah menusuk seperti jarum beracun.

“Maafkan aku, Nay sayang... Aku tahu, seharusnya aku ada untukmu malam ini. Tapi aku tak bisa membohongi diri sendiri lagi,” gumamnya lirih, suara penuh sesal mengiringi deru mesin mobil yang menjauh. Rumah baru itu, hadiah dari orang tuaku, kini hanya jadi bayang yang tertinggal di kaca spion..

Umar menatap kosong ke luar jendela, pikirannya berkecamuk tanpa henti. Hatinya terasa remuk, tapi dia mencoba menekan gelombang kegelisahan itu.

“Gue harus bisa buat Nay bahagia. Kali ini gue nggak boleh gagal lagi,” bisiknya pelan, seperti meyakinkan diri sendiri.

Meski keputusan berat ini terus menghantui setiap sudut pikirannya, Umar menegakkan dagu, bertekad untuk kembali dengan perubahan yang nyata..

1
tina napitupulu
nyesak tak tertahankan...
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!