roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
"Apa lagi yang perlu dibicarakan? Kau cukup memberiku uang itu, maka urusan selesai," ujar Roni sambil menendang kaki Reno hingga terpaksa duduk di depannya.
Reno seketika merasakan dingin menjalar di tubuhnya. Ia belum pernah berada dalam posisi seperti ini, apalagi diancam. Selama ini, ia selalu berlindung di bawah kepemimpinan Rocky dan memanfaatkan statusnya sebagai mafia untuk menggertak orang lain. Namun, sekali saja dirinya yang digertak seperti sekarang, ia langsung mengeluarkan keringat dingin.
Reno memang tidak pandai berkelahi. Ia hanya mengandalkan mulutnya untuk mengancam dan melawan. Itulah mengapa Roni dengan mudah bisa memojokkannya.
"Baiklah, aku akan berikan. Tapi jangan sakiti aku," katanya memohon.
"Baiklah, cepat! Di mana uangnya?" ujar Roni sambil tersenyum melihat Reno yang memohon-mohon. Ia tidak menyangka bahwa bawahan Reno jauh lebih berani dibandingkan Reno sendiri, yang terlihat seperti pengecut. Sangat tidak cocok sebagai seorang pemimpin kelompok mafia.
"Ikuti aku," kata Reno.
Roni pun mengikutinya menuju sebuah ruangan di lantai atas. Sesampainya di sana, Reno membuka brankas tempat ia menyimpan uangnya. Ia mengeluarkan sebuah koper besar dari dalamnya.
"Di dalamnya ada semua sisa uangku. Itu hasil pengelolaan selama beberapa bulan yang aku pegang," ujarnya.
Roni meraih koper itu dan membukanya untuk memeriksa isinya.
"Awas kalau sampai kau berbohong! Aku akan datang lagi dan memukulimu," ancam Roni sebelum pergi.
Namun, tiba-tiba Roni kembali lagi.
"Kenapa kamu kembali?" tanya Reno, bingung.
"Aku lupa sesuatu," kata Roni sambil melayangkan pukulan ke wajah Reno.
Reno merasakan sakit di hidungnya hingga ia jatuh pingsan.
"Maaf, aku harus bersikap adil. Bawahanmu saja menerima pukulanku, masa kamu yang sebagai pemimpin yang mengatur mereka bisa lepas dari pukulanku?" ujar Roni sebelum akhirnya pergi.
Beberapa saat setelah Roni pergi, sebuah mobil hitam datang ke sana. Ternyata, itu adalah anggota mafia yang tadi ditelepon oleh Reno. Namun, karena Reno keburu mematikan teleponnya, ia khawatir sesuatu telah terjadi. Dan benar saja, saat ia tiba di tempat itu, ia cukup terkejut melihat banyak anggota kelompok mereka tergeletak di tanah.
"Hai, bodoh! Apa yang terjadi?" tanya pria itu kepada salah satu temannya yang sedang memegangi kepalanya.
"Ada penyerangan mendadak tadi di sini. Entah siapa dia, aku tidak tahu. Dia memukuli kami semua. Dia cukup kuat walaupun hanya berlima. Kalau nggak salah, nama pemuda itu Roni. Saya tidak tahu nama temannya," kata temannya memberitahunya.
"Apa...? Siapa yang berani datang mengacau? Tunggu sebentar, aku akan memberitahu Tuan Muda," katanya sambil meraih ponselnya untuk menghubungi Rocky dan melaporkan kejadian kacau ini.
"Halo, Tuan Muda, gawat! Markas kita di bagian timur telah diserang," katanya memberi tahu Rocky.
"Apa...? Maksudmu yang dipegang Reno? Kenapa bisa? Siapa yang melakukannya?" tanya Rocky, sedikit terkejut mendengar kabar itu.
"Aku mendapat laporan kalau nama pelakunya Roni, Tuan. Entah dari kelompok mana. Tadi saya datang mengecek karena ada telepon tiba-tiba dari Reno. Setelah saya datang, semuanya sudah kacau, Tuan. Mereka semua babak belur dihabisi," kata orang itu menjelaskan.
"Roni... Sebentar, aku pernah dengar nama ini. Begini saja, kamu sekarang cari tahu soal dia. Aku ingat nama itu pernah aku dengar, kalau nggak salah di pertarungan jalanan waktu itu. Kalau memang dia Roni yang itu, kamu cukup beritahu dia kalau aku ingin bertemu. Tapi kalau bukan dia, kamu boleh musnahkan," ucap Rocky memberi perintah kepada bawahannya.
"Baik, Tuan Muda, saya akan segera lakukan," jawabnya sebelum panggilan telepon terputus. Ia pun segera mencari tahu soal Roni dengan mengecek CCTV.
Setelah mendapatkan gambar Roni, ia menyalinnya dan segera pergi menggunakan mobil sedan hitam yang tadi ia gunakan untuk datang ke sana.
Sementara itu, Rocky berjalan keluar dari ruangannya. Ia menuju ruang tamu untuk menemui Mbak Maya, yang sedang duduk menulis beberapa resep obat. Saat ini, Mbak Maya sudah bekerja di sebuah rumah sakit terdekat.
Ya, sekarang ia tinggal di apartemen mewah milik Rocky, yang juga ditempati oleh Rocky. Maya terpaksa tinggal di sana sampai bayinya lahir nanti. Ia tidak ingin Rocky lebih sering datang ke rumahnya dan membuatnya pusing dengan kebohongan-kebohongannya, terutama saat Rocky berbicara mengada-ada di depan orang tuanya, mengaku sebagai suaminya.
"Maya, aku ada urusan di Jakarta. Aku akan pergi nanti malam. Untuk kamu, tetaplah di sini. Walaupun aku tidak ada, keperluanmu di sini akan terus berjalan," ucap Rocky.
"Aku akan pulang. Lagipula, buat apa aku di sini kalau kamu tidak ada di Surabaya?" kata Mbak Maya.
"Maya, kau saat ini sedang hamil. Tidak boleh kau terlalu lelah. Aku kan sudah sediakan mobil untukmu. Kita ini sebagai teman, kamu tidak perlu sungkan. Niatku baik kok, memberimu tempat tinggal sementara seperti ini. Apalagi tempat kerjamu lumayan jauh dari rumahmu di kampung. Tinggal di sini akan lebih mempermudahmu," ujar Rocky.
"Baiklah. Selama kamu tidak mengambil kesempatan, aku akan menerima tawaranmu. Kalau saja kamu tidak berbohong soal statusmu sebagai suamiku, aku tidak akan seperti ini," kata Mbak Maya, lalu kembali fokus dengan buku di tangannya.
**"Maya, semua ini sebenarnya aku lakukan karena aku menyukaimu. Hanya saja kau belum membuka hati untukku. Tapi tenang saja, kamu tidak usah khawatir. Selain apa yang aku katakan tadi, aku tidak akan mengambil kesempatan lain atau melakukan hal aneh terhadapmu. Aku akan menunggu sampai kamu mau menerimaku.
Maaf karena aku telah berbohong soal status kita di depan orang tuamu. Itu aku lakukan agar namamu tidak buruk di mata mereka, juga di mata orang-orang di kampungmu. Karena, setahuku, orang kampung sangat suka menjelekkan orang yang mengalami kejadian seperti ini,"kata Rocky sambil tersenyum manis.
"Oya, satu lagi. Awas kalau kau berani menyelidiki siapa suamiku. Aku tidak mau siapa pun mengetahui tentang dia. Kalau sampai kau melakukannya, aku tidak akan memaafkanmu," ancam Mbak Maya.
"Kenapa sih kamu tidak ingin aku tahu? Aku juga penasaran loh, siapa pemuda yang begitu membuatmu tidak bisa melupakannya. Bahkan, kamu sampai rela hidup tanpa dia, tapi tetap mencintainya," ujar Rocky sambil menyentuh dagunya dengan telunjuk, mengekspresikan seolah sedang bertanya-tanya.
"Intinya, kamu tidak boleh mengetahuinya. Cukup hanya aku yang tahu kalau dia suamiku, ingat itu," kata Mbak Maya.
"Aneh, bukan hanya cantik, tapi kamu juga wanita yang aneh. Tapi ya biarkan saja deh. Lagipula, aku hanya ingin kamu menerimaku kelak, tidak peduli kamu bekas istri siapa," kata Rocky sambil berjalan kembali ke ruangannya.
"Hai! Kau jangan asal bicara ya! Aku bukan bekas istrinya, tapi aku tetap istrinya! Camkan itu, bodoh!" teriak Mbak Maya.
Namun, Rocky hanya membalasnya dengan senyuman sambil terus melangkah menuju ruangannya.
Di tempat lain, Roni terlihat mengendarai motornya memasuki kompleks rumah besar milik Tuan Bram, diikuti oleh sedan putih yang ditumpangi orang-orang Tuan Bram. Mendengar suara motor Roni, Miya, yang sedang duduk di sofa dengan wajah cemas mengkhawatirkannya, segera keluar untuk menemui Roni.
"Pa... Roni kembali!" panggilnya sambil berlari keluar.
Tuan Bram pun ikut keluar. Roni memarkir motornya, dan baru saja ia melangkah pergi dari motornya, Miya langsung memeluknya dengan wajah bahagia.
"Apakah semuanya baik-baik saja? Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Miya khawatir sambil memeriksa wajah tampan Roni hingga ke lengannya, memastikan tidak ada bekas pukulan atau luka.
"Tenang, aku tidak apa-apa. Orang seperti mereka tidak akan mudah menyentuhku," ucap Roni.
Miya pun sedikit tenang mendengar itu.
Roni lalu berjalan menuju mobil yang ditumpangi orang-orang Tuan Bram untuk mengambil koper berisi uang dan langsung memberikannya kepada Tuan Bram.
"Semua baik-baik saja, Om. Ini uangnya, aku sudah bereskan semuanya," kata Roni.
Tuan Bram sedikit tidak percaya karena begitu cepat Roni menyelesaikan masalah besar yang berkaitan dengan mafia.
"Kamu serius semua sudah selesai? Ini benar dana yang dibawa oleh Reno?" tanya Tuan Bram dengan ragu.
"Benar, itu uangnya, Tuan. Kamu harus lihat kehebatan bertarung pemuda ini. Dia dengan mudah mengalahkan mereka, bahkan sedikit pun tidak tersentuh. Kami yang hanya mendapat sisanya," kata salah satu orang Tuan Bram dengan kagum terhadap aksi Roni tadi.
"Kau bukan hanya tampan, pintar, dan pemberani, tapi kau juga pandai dalam segala hal. Aku salut denganmu. Tidak salah lagi kalau Miya begitu menyukaimu," kata Tuan Bram sambil menepuk pundak Roni dengan kagum.
Miya bahagia mendengar hal itu.
"Anda berlebihan, Om. Saya hanya melakukan apa yang menjadi tanggung jawab saya. Semua dana itu juga dibawa oleh Reno karena saya. Jadi, tanggung jawab saya yang memegang gudang, Om," ucap Roni, yang tidak terlalu senang dipuji berlebihan, karena menurutnya, itu hanya bagian dari kewajibannya.
"Sebenarnya uang ini tidak seberapa, Roni. Saya hanya khawatir kalau kamu kenapa-kenapa. Saya tidak sanggup melihat putri saya kehilangan kamu. Cukup dia kehilangan apa yang telah pergi darinya. Baiklah, kalian istirahatlah. Roni, ayo masuk," kata Tuan Bram sambil meminta orang-orangnya pergi dan mengajak Roni masuk karena ada sesuatu yang ingin ia berikan.
Sesampainya di dalam, mereka berbicara berdua.
"Roni, mulai saat ini, kau akan memegang kendali perusahaan besar saya, sambil menunggu Bobi lulus dari kuliahnya di luar negeri, sekitar satu setengah tahun lagi. Saya sekarang sering sekali sakit-sakitan dan tidak banyak waktu untuk menangani bisnis saya.
Saya yakin kamu bisa. Kamu begitu mudah memahami segala hal. Saya sudah memperhatikanmu. Dengan kejujuran dan keberanian yang kamu punya, aku percaya padamu,"kata Tuan Bram, memberikan kepercayaan kepada Roni untuk memegang kendali perusahaan besarnya.
"Tapi, Om, saya masih belum pantas untuk itu. Apalagi saya masih kuliah. Saya seumuran dengan putri Om. Saya takut para pegawai tidak mempercayai saya. Saya belum memahami soal bisnis selain pertanian, Om," kata Roni.
Bisnis Tuan Bram memang tidak hanya mengarah ke pertanian, tetapi juga mencakup investasi dan pembangunan yang berhubungan dengan dunia internasional.
"Tidak perlu khawatir, saya akan mengajarimu. Untuk kuliahmu, tidak akan terkendala oleh ini. Cukup kamu memantau seperti kamu memantau gudang kita. Saya sudah tidak sanggup lagi bolak-balik ke perusahaan. Kondisi saya sangat buruk.
Kamu harus tahu juga bahwa saya mengidap kanker. Itu menandakan umur saya tidak panjang lagi. Hanya saja, saya sedang berusaha bertahan sampai Bobi menyelesaikan kuliahnya dan langsung menggantikan saya.
Tapi rasanya itu mustahil karena umur saya tidak panjang lagi. Oh ya, untuk soal penyakit ini, untuk saat ini jangan menceritakannya kepada Miya maupun Bobi. Saya tidak mau mereka menjadi sedih,"** ucap Tuan Bram.
Mendengar itu, Roni tentu saja terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Tuan Bram, yang selama ini terlihat kuat meskipun usianya semakin menua, ternyata mengidap kanker. Selama ini, ia hanya terlihat kuat di depan anak-anaknya.
"Tapi, Om, apa Anda yakin dan percaya pada saya?"
**"Ya, saya sangat percaya. Saya juga sangat senang telah mengenalmu. Untung saja Miya membawamu kepada saya. Saya benar-benar minta tolong kepadamu.
Walaupun saya punya banyak orang yang bisa menggantikan saya sementara, saya tidak sepenuhnya percaya bahwa mereka bisa memegang wasiat saya. Kamu satu-satunya orang yang saya kenal yang jujur dan pemberani,"** ucap Tuan Bram dengan penuh keyakinan.
"Baiklah, Om. Demi membalas kebaikan Anda dan anak-anak Anda kepada saya, saya berjanji tidak akan mengecewakan Anda," ucap Roni akhirnya setuju.
Tuan Bram sangat senang mendengar persetujuan Roni. Ia pun sampai memeluk Roni saking bahagia dan lega.
"Saya titipkan mereka kepadamu. Aku tahu kau lebih dewasa dibandingkan mereka karena kau sudah merasakan pahitnya kehidupan. Sedangkan mereka, mereka sudah biasa dimanjakan. Terima kasih, Roni," ucap Tuan Bram.
Malam harinya, Tuan Bram langsung menghubungi Bobi lewat panggilan telepon untuk memberitahunya bahwa ia mempercayakan Roni untuk memegang perusahaan mereka.
"Halo, Pa. Ada apa? Tumben menelpon Bobi segini malam. Biasanya tidak pernah," tanya Bobi karena ayahnya jarang menelponnya di waktu ia baru saja pulang dari kampus.
"Maaf, Bapak mengganggumu segini malam. Ada sesuatu yang ingin Bapak beritahu," kata Tuan Bram.
"Sepertinya penting banget ya, Pa? Ayo katakan saja, Bobi juga lagi luang," ujar Bobi.
"Begini, Bobi. Bapak mau memberi tahu kamu bahwa Bapak sudah memutuskan untuk menunjuk Roni untuk menggantikan Bapak sementara dalam mengelola perusahaan. Bapak percaya kepadanya untuk bisa membantumu di masa mendatang. Bapak sudah melihat kemampuannya. Kamu benar, dia memang pemuda yang layak dipercaya," ucap Tuan Bram langsung memberitahu Bobi soal keputusannya mempercayakan perusahaan kepada Roni.
"Benarkah? Baguslah, Pa. Bobi senang Bapak memilih dia. Sejak awal Bobi juga tahu kalau Roni adalah pemuda baik dan juga cerdas. Hanya saja, kekurangannya, dia tidak seberuntung Bobi yang lahir dari keluarga kaya. Tapi soal kemampuan, dia lebih pandai dari Bobi. Bobi sudah tahu itu sejak pertama kali mengenalnya," ujar Bobi yang senang sekali karena ayahnya mempercayai Roni untuk membantunya melanjutkan bisnis mereka di masa depan.
"Baguslah kalau kamu juga setuju, Bobi. Bapak memberitahumu karena takutnya kamu tidak setuju. Tapi mendengar kamu juga senang, Bapak menjadi lega. Baiklah, hanya itu saja. Bagaimana kuliahmu? Semua baik-baik saja, kan? Kalau ada keperluan atau masalah, beritahu Bapak ya," ujar Tuan Bram.
"Semua baik-baik saja, Pak. Bapak di sana sehat-sehat, kan? Bagaimana Miya? Apa dia masih bersedih? Beberapa hari ini Bobi sangat sibuk, jadi belum ada waktu menelponnya," kata Bobi.
"Semenjak kenal Roni, makanya Bapak sudah tidak terlalu khawatir soal adikmu. Dia juga sekarang kembali ceria dan melupakan kesedihannya. Beruntung sekali kita bisa mengenal Roni," jawab Tuan Bram.
"Baguslah, Pak. Intinya, Bapak jaga kesehatan ya. Bobi mungkin akan pulang akhir musim. Bobi memutuskan untuk pulang saja daripada berlibur. Bobi ingin mengunjungi makam Mama," kata Bobi.
"Baiklah, Bobi. Bagaimana menurutmu saja. Baiklah, Bapak tutup ya. Bapak mau istirahat. Hari ini cukup melelahkan," katanya berbohong, padahal sebenarnya ia merasakan sedikit pusing di kepalanya karena penyakitnya. Namun, ia tidak ingin Bobi tahu bahwa ia mengidap kanker.
"Baiklah, Pa. Tetap jaga kesehatan ya," kata Bobi sebelum panggilan telepon pun terputus.
Di ruang tamu, terlihat Miya sedang menjelaskan tentang mata pelajaran kuliah kepada Roni. Karena besok Roni mulai masuk kuliah, ia meminta Miya untuk menjelaskan pelajaran yang tertinggal kepadanya.
Tuan Bram sangat bahagia melihat mereka seperti itu. Ia senang karena kehadiran Roni mampu menggantikan dirinya dalam menjaga Miya. Ia berpikir, entah bagaimana jadinya jika saja Roni tidak hadir dalam hidup mereka. Mungkin keluarga mereka tidak akan terlihat hidup seperti sekarang. Apalagi, ia sadar bahwa sebentar lagi dirinya akan tiada.
Tanpa ia sadari, air matanya menetes karena melihat kebahagiaan putrinya.
"Serli, lihat putri kita. Dia kelihatannya benar-benar menemukan pasangan yang cocok untuknya. Aku senang karena aku tidak mengikuti egoku untuk mencarikan pasangan untuknya.
Memang benar, seorang anak lebih layak memilih siapa pendampingnya, karena pilihannya akan jauh lebih membahagiakannya. Aku bersyukur sekali dia memilih pria yang tepat.
Kamu lihatlah mereka, Serli. Mereka sangat bahagia. Mengingatkanku pada kita waktu muda dulu," kata Tuan Bram sambil memandang keromantisan putrinya bersama Roni yang sedang belajar bersama.