Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 - Pemilik Mansion Arnolda
“Ih kok marah marah ya mana aku tau, tempat ini terlalu canggih, apa hotel ini sangat mahal?” tanya Arum kepada Alaska dengan langkah kecil dan wajah bingung. Nada suaranya yang polos memantul di sepanjang lorong mewah itu, membuat suasana pagi yang harusnya tenang jadi ribut oleh pertanyaan lugu.
“Ini bukan hotel tapi mansion.” ketus Alaska, nadanya datar tapi kelihatannya sudah pasrah dengan ocehan Arum sejak tadi bangun.
“Mansion?” tanya Arum bingung, benar-benar serius seakan mendengar istilah bahasa asing yang belum pernah dia ketahui. Padahal dia sendiri bilang “hotel” sekeren itu tanpa mikir.
“Rumah tempat tinggal, apa kau masih tidak paham?” tanya Alaska. Dari cara dia bicara, jelas-jelas pria itu sedang menahan diri agar tidak mengomel lebih lama lagi.
Pria itu melangkahkan kakinya turun ke lantai satu. Tangga besar itu melingkar elegan seperti di drama keluarga kaya, tapi bagi Arum hanya terlihat seperti “mall lantai tiga” versi rumah pribadi. Dia menatap sekeliling dengan mulut sedikit terbuka, berusaha mengikuti langkah Alaska yang panjang-panjang, sementara langkah kakinya sendiri kecil dan seperti anak ayam mengejar induknya.
Sebenarnya Alaska ingin makan siang saja. Pagi bukan waktunya makan besar. Tapi karena Arum sudah membangunkan dia dengan drama tangisan dan panik tadi pagi, dia akhirnya menyerah dan memilih turun untuk sarapan di weekend yang indah ini. Indah bagi orang normal. Bagi Alaska sendiri? Belum tentu.
Arum terus mengoceh bertanya banyak hal, mulutnya bergerak tanpa jeda seperti radio yang kehilangan tombol off. Alaska tidak menjawab satu pun. Mungkin karena dia tahu jika dia jawab satu pertanyaan, sepuluh pertanyaan lain akan muncul.
“Hah serius ini rumah? Kenapa sangat besar?”
“Rumah siapa pak?”
“Ga mungkin kan rumah bapak?”
“Kan bapak gajinya kecil,“
“Atau ini rumah presiden? Apa kita lagi di rumah presiden?”
“Astaga ini benar-benar hebat, lalu nanti aku tinggal di mana? Apa bapak menitipku kepada presiden? Apa aku akan menjadi anak angkat presiden?”
“Benar benar menakjubkan,”
“Pak kenapa diam saja?”
Setiap kalimat Arum seperti peluru yang ditembakkan beruntun tanpa kesempatan Alaska mengambil napas. Untungnya Alaska sudah terbiasa mendengar ocehan itu. Selama bukan tangisan, dia bisa menahannya. Kalau sudah menangis, itu baru membuat Alaska tidak bisa bersikap dingin.
Langkah kaki mereka akhirnya berhenti ketika tiba di ruang makan besar ruangan luas dengan meja panjang yang mungkin bisa dipakai konferensi internasional. Di sana terlihat Jeff, dengan pakaian santainya, sedang berdiri dan menoleh ketika mendengar langkah tuan rumahnya.
“Selamat pagi tuan, tumben anda bangun pagi,” ujar Jeff ramah.
Tidak ada jawaban dari Alaska. Wajahnya datar seperti biasa. Arum yang mendengar suara Jeff langsung memutar kepala cepat seperti anak kecil melihat es krim lewat. Begitu melihat Jeff di sana, matanya langsung berbinar.
Dengan polosnya, Arum mendekati Jeff dengan kecepatan penuh, seperti kucing kecil menemukan teman bermain. Dan tanpa mikir dua kali, dia langsung mengangkat tangan Jeff, menggenggamnya, lalu berkata dengan suara lantang yang membuat seluruh pelayan dan chef menahan napas.
“Om, yang kemarin kan? Astaga ternyata yang punya rumah yang namanya mansion kata pak Aska ini rumah om ya?”
KEDIP.
Hening.
Semua orang terdiam. Bahkan jam dinding seperti berhenti berdetak.
“Bagus sekali om, terima kasih sudah mengizinkan Arum menginap hanya semalam, Arum sangat senang. Pak Aska sangat beruntung mendapatkan teman seperti om, ternyata om sangat kaya.”
Alaska menutup wajahnya dengan tangan. Dia menahan tawa. Mati-matian.
Jeff? Pria itu seperti terkena petir di siang bolong. Mata melebar, mulut membuka bingung antara mau klarifikasi atau kabur lewat jendela.
Pelayan yang sejak tadi sibuk memotong sayur mencoba keras menahan tawa sampai bahunya naik turun. Chef besar hampir menjatuhkan spatula karena menahan suara ngakaknya.
Alaska akhirnya mendekati dua orang itu dan dengan pelan melepaskan tangan Arum yang masih menggenggam tangan Jeff seperti undangan lamaran.
“No no nona, saya bukan pemilik rumah ini. Tuan Alaska yang punya,” jelas Jeff sambil menunduk canggung.
“HAH PAK ASKA?!” Arum menoleh cepat pada Alaska. Reaksinya seperti baru tahu bahwa bumi itu bulat.
Sekarang mereka tiga berdiri membentuk segitiga. Dan suasananya betul-betul seperti segitiga masalah meski Arum terlalu polos untuk menyadarinya.
“Kenapa kau kaget dan ragu? Hal apa yang membuatmu mengatakan kalau Jeff lah pemilik rumah ini?” tanya Alaska.
“Ya kemarin yang pertama karena om ini yang bawa mobil mewah ini, lalu yang kedua om ini juga banyak bicara seolah memberikan informasi di sana. Lalu sekarang om ini duduk di sini,” jelas Arum.
Alasan bodoh itu? Alaska langsung meletakkan tangan ke wajahnya. Lalu…
“PFTTT—HAHAHAHAHAHA!!”
Dia tertawa.
Tertawa keras.
Tertawa sampai bahunya naik turun.
Pelayan yang awalnya menahan tawa sekarang panik. Jeff menelan ludah keras. Chef langsung berhenti menggoreng.
Bagaimana tidak? ALASKA ARNOLDA tertawa keras. Itu fenomena alam yang lebih langka daripada gerhana matahari total.
Jeff sampai berdoa dalam hati,
‘Astaga apakah iblis tuan akan bangkit setelah ini, lindungi kami Tuhan.’
“Kau benar benar lucu, atau bodoh?” tanya Alaska sambil menoyor pelan kening Arum.
“Hah apa sih malah ketawa nggak jelas banget, iya kan om?” tanya Arum mencari dukungan.
Jeff hanya menunduk ketakutan, takut salah gerak dan tiba-tiba dipecat.
“Nona Sekar Arum Lestari, dengarkan aku,” Alaska mulai menjelaskan. “Satu, kenapa dia yang membawa mobil, karena tentu dia asistenku. Untuk apa aku mengeluarkan uang kalau aku tidak bisa menyuruh dia menyetir mobil?”
“Lalu dua apa? Dia banyak bicara? Itu karena aku yang menyuruhnya mengumpulkan semua berita itu. Dia itu asistenku. Apa kau bodoh? Lihat di mansion ini apakah ada foto Jeff selain foto ku dan keluarga ku?”
Arum langsung menoleh ke sekeliling. Matanya membesar. Ternyata benar. Dinding-dinding penuh foto keluarga Alaska. Foto besar, foto kecil, dari kecil hingga dewasa, bahkan foto formal keluarga besar Arnolda.
Dia baru sadar… karena sebelumnya dia terlalu sibuk ngomel sendiri.
“Astaga ternyata pak Aska ya yang punya mansion ini haha maaf ya om aku salah orang,” ujar Arum sambil menepuk bahu Jeff.
Jeff langsung ingin pingsan.
‘Nona… lain kali bertanya dulu pada saya…’
“Benar-benar gadis bodoh,” gerutu Alaska sambil duduk di kursi makan.
“Pak Aska jika anda sangat kaya kenapa anda jadi guru? Atau bapak akan bangkrut?” tanya Arum polosnya kebangetan.
Alaska mendengus. “Ada beberapa hal yang tidak bisa aku ceritakan dan sebaiknya tutup mulut. Kita akan sarapan, kau bisa bertanya nanti.”
“Ish apa sih marah marah mulu untung bapak kaya,” gumam Arum pelan.
Mata Alaska tajam. “Jadi kalau aku tidak kaya aku tidak boleh marah?”
“Eh apa? Tidak ada yang bicara seperti itu kok orang aku diem,” Arum langsung menepis, padahal jelas-jelas dia ngomong tadi.
...----------------...
Bantu dukung author dengan meninggalkan komentar kalian. Feedback kalian sangat membangun untuk bab selanjutnya!