Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Masa Lalu Pilihan Mertua
Hari ini Diva disibukkan dengan berbagai urusan toko, apalagi banyak stok barang baru yang harus ditata dan dicek. Di tengah kesibukannya, ia menerima kabar dari pengacaranya bahwa proses perceraiannya dengan Arman sudah memasuki tahap akhir. Surat panggilan dari pengadilan akan segera dikirimkan ke rumahnya dalam minggu ini. Diva pun segera memberitahu kabar tersebut kepada kakaknya dan Bang Reza, memastikan semua berjalan sesuai rencana dan ia tidak menghadapi semuanya sendirian.
Diva tetap tegar berkat dukungan penuh dari kakaknya yang selalu ada untuknya. Apalagi setelah membaca pesan dari Arman yang memintanya kembali ke rumah dan seolah menyalahkan semua masalah kepada dirinya, Diva semakin yakin dengan keputusannya. Ia memilih untuk tidak membalas pesan dari Arman, meski status mereka di mata hukum masih sebagai suami istri. Baginya, diam adalah jawaban paling tepat untuk menjaga ketenangan hatinya.
Karena Diva tahu jika dirinya terpancing emosi, luka itu akan kembali terasa, meski tak sepenuhnya rasa sakit itu pernah benar-benar hilang.
Siang itu, Diva sudah berada di rumah. Ia baru saja pulang dari toko setelah menerima telepon dari Kak Dira yang mengajaknya makan siang bersama. Sebelum makan, Diva menunaikan salat Zuhur terlebih dahulu. Setelahnya, mereka makan bersama, dan di tengah-tengah santap siang, Kak Dira membuka percakapan.
"Div, nggak kepingin liburan?" tanya Kak Dira santai.
"Mau, Kak. Tapi aku mau bereskan semua urusan dulu, supaya tenang," jawab Diva sambil tersenyum kecil.
"Kalau begitu, kakak mau kasih kamu hadiah liburan gratis, biar kamu segar lagi," ujar Kak Dira sambil tersenyum hangat.
Sementara itu, di tempat lain, saat makan siang, Arman tengah curhat kepada temannya.
"Bro, gue pusing banget. Diva keras kepala, nggak mau pulang," keluh Arman sambil memegang kepalanya.
"Ya salah lo sendiri, bikin masalah. Hati-hati, bro. Kalau sampe digugat cerai, apalagi kabid kantor tahu, bisa berabe," jawab temannya menggoda.
"Ah, lo bukannya kasih solusi malah ngeledek. Nggak mungkin lah, bro. Diva itu kan nggak punya penghasilan," jawab Arman dengan percaya diri.
"Lo jangan remehin perempuan, Man. Gue cuma ingetin," balas temannya serius.
Ucapan itu membuat Arman diam sejenak, memikirkan kata-kata temannya yang mulai mengusik pikirannya.
Sore harinya, Arman pulang kerja dan langsung menuju kantor tempat Raya bekerja. Sepanjang perjalanan, ucapan temannya terus bergema dalam pikirannya, membuat hatinya tak tenang.
Sesampainya di depan kantor, Raya sudah menunggu. Arman segera membukakan pintu mobil, membiarkan Raya masuk. Dalam perjalanan, Raya memperhatikan perubahan sikap Arman yang tampak lebih diam dari biasanya.
"Sayang, kamu kenapa? Capek, ya?" tanya Raya sambil menatapnya heran.
Dengan sedikit ragu, Arman menjawab pelan, "I... iya, sayang."
"Yaudah, nanti aku pijitin ya," ucap Raya manja, mencoba mencairkan suasana. "Sebelum pulang, kita makan dulu yuk," ajaknya.
"Iya, sayang," jawab Arman seadanya, suaranya terdengar lelah.
Mereka pun berhenti di sebuah rumah makan. Setelah duduk, mereka memesan beberapa menu. Raya sengaja memilih makan di luar, karena hatinya sedang malas berurusan dengan ibu mertuanya.
"Nanti sekalian pesenin buat ibu, ya," pinta Arman.
"Iya," jawab Raya datar, tanpa semangat.
Di rumah, Bu Susan gelisah. Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat, tapi Arman dan Raya belum juga pulang.
"Begini nih punya menantu kerja, nggak bisa bagi waktu. Punya dua menantu malah bikin susah, bukannya senang," gerutunya kesal sambil mondar-mandir.
Tak lama, suara mobil Arman terdengar di depan rumah. Bu Susan yang sudah kesal sejak tadi, tak sabar ingin mengomeli mereka.
Namun sebelum ia sempat bicara, Raya lebih dulu membuka suara.
"Ibu cukup! Aku lelah, jangan cari-cari keributan. Ini makan malam untuk ibu," ujar Raya sambil meletakkan makanan di meja dan langsung masuk ke kamar.
Bu Susan tertegun, tak menyangka Raya berani membentaknya seperti itu. Matanya beralih ke Arman, berharap anaknya membela, namun Arman hanya diam terpaku.
"Kamu ini gimana sih, Man! Bukannya belain ibu malah diem aja!" semprot Bu Susan, lalu berjalan kesal menuju dapur.
Bu Susan makan malam sendirian dengan hati dongkol. Sesekali ia melirik ke arah kamar Arman dan Raya yang tertutup rapat.
Dalam diam, pikirannya melayang kepada Diva.
"Kalau Diva masih di sini, pasti dia yang melayani, nggak pernah sekalipun membentak," lirihnya penuh penyesalan.
Dulu ia begitu berharap Raya menjadi menantu yang sempurna, berpendidikan dan berkarier. Tapi kini, setelah semua keinginannya terkabul, justru sifat Raya berubah, jauh dari apa yang ia bayangkan.
"Hhh... dulu Diva aku remehkan, sekarang malah kehilangan," gumam Bu Susan dengan perasaan getir.
Arman yang melihat ibunya melamun, merasa iba. Ia pun segera membersihkan diri. Usai mandi, giliran Raya yang masuk ke kamar mandi. Setelah keduanya selesai dan berbaring di atas tempat tidur, Arman mencoba membuka percakapan.
"Ray, kamu jangan terlalu keras sama ibu, ya," ucapnya pelan, hati-hati memilih kata.
Mendengar itu, Raya langsung membalikkan badan dan menatap Arman dengan ekspresi terkejut.
"Apa, Bang? Aku nggak salah dengar, kan? Seharusnya kamu membela aku, bukan ibumu! Ingat, aku bukan Diva, gadis polos yang mau saja ditindas," balas Raya dengan nada kesal, lalu berbalik membelakangi Arman.
Arman hanya terdiam, sedikit terkejut. Dalam hati ia menyadari, betapa berbeda sikap Raya dibandingkan dengan Diva.
---
Malam itu di rumah kak Dira, Diva duduk santai di teras, menikmati semilir angin malam ditemani secangkir teh hangat dan sebuah buku di tangannya. Ada rasa damai yang perlahan mengisi hatinya, setelah sekian lama ia terlepas dari rutinitas melelahkan di dapur, serta kewajiban mengurus mertua dan suami.
Pukul sembilan malam, Diva melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, sunyi yang menyelimuti malam itu tak juga membawa rasa kantuk padanya. Ada kekosongan yang mengendap di hatinya, membuat pikirannya terus terjaga. Dalam diam, ia meraih ponsel, mencoba mengusir sepi yang perlahan menggerogoti perasaannya.
Pukul tiga dini hari, Diva terjaga dari tidurnya. Entah pukul berapa ia akhirnya terlelap tadi malam, namun hatinya terasa ringan untuk segera bangun. Dengan langkah pelan, ia mengambil air wudhu, membiarkan dinginnya air menyapu wajah dan pikirannya yang gundah.
Dalam keheningan malam, Diva menunaikan salat tahajud, sujudnya begitu dalam seolah menyerahkan seluruh beban kepada Sang Pencipta.
Usai berdoa panjang, ia memejamkan mata sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam kepasrahan, membiarkan semesta bekerja atas takdir yang telah digariskan.
Usai menuntaskan salat dan doa, Diva duduk diam di atas sajadah. Cahaya remang dari lampu kamar memantul di matanya yang sembab namun teduh.
Ada rasa lega mengalir perlahan di relung hatinya, seakan beban berat yang selama ini menindih mulai terangkat satu demi satu.
Kesedihan itu masih ada, luka itu belum benar-benar sembuh, tapi malam ini, Diva merasa lebih kuat.
Ia tahu perjalanan ini belum selesai, namun kini ada kekuatan baru yang tumbuh dari dalam dirinya kekuatan dari kepasrahan, dari menerima bahwa tidak semua hal harus ia perjuangkan sendirian.
Dengan hati yang lebih tenang, Diva tersenyum tipis, meyakinkan dirinya bahwa Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang jauh lebih indah.
Sambil menunggu azan subuh, Diva duduk di atas kasur dengan ponsel di tangannya. Lampu kamar yang redup memberikan suasana hening yang menenangkan. Ia membuka laporan pemasukan dan memeriksa pembayaran yang harus diselesaikan, beberapa pesan dari agen yang belum sempat ia balas, dan laporan yang perlu ditinjau. Meski pikirannya masih terasa lelah, ia berusaha fokus, mengingat bahwa pekerjaan adalah satu-satunya hal yang bisa ia kontrol saat ini.
Setiap kali ia melirik ke luar jendela, gelap malam yang perlahan berganti dengan cahaya pagi memberi semacam harapan baru. Sebuah pertanda bahwa hidup, meski kadang penuh cobaan, tetap berjalan. Diva merasa sedikit lega, seperti menemukan ketenangan dalam rutinitas yang sederhana ini. Ia tahu, esok masih banyak tantangan, namun malam ini, dalam kesendirian dan keheningan, ia merasa cukup kuat untuk menghadapinya.
Sayup-sayup suara azan subuh terdengar, lembut namun penuh makna. Diva yang sedang duduk di meja dengan ponsel di tangannya menghentikan semua pekerjaannya. Suara azan yang menembus keheningan malam itu seperti panggilan yang tak bisa ditolak. Ia meletakkan ponselnya perlahan, kemudian bangkit dari tempat duduk.
Dengan langkah pelan, Diva menuju tempat wudu, merasakan dinginnya air yang menyentuh kulitnya, seolah membersihkan bukan hanya tubuhnya, tapi juga segala beban pikiran yang menggelayuti. Setelah selesai, ia kembali ke tempat salat, menata hatinya, menenangkan jiwa yang sedikit goyah oleh segala perasaan yang datang dan pergi.
Ketika ia mulai melaksanakan salat, setiap gerakan dan bacaan terasa lebih dalam. Dalam kesunyian malam yang mulai menyatu dengan pagi, Diva merasakan ketenangan yang luar biasa. Momen ini hanya dia dan Tuhan adalah tempat ia menyerahkan segala harapan dan kekhawatiran, memohon petunjuk untuk langkah-langkah yang akan ia ambil ke depan.
Usai salat, hatinya merasa lebih ringan, seolah ada angin segar yang masuk, memberi kekuatan untuk memulai hari dengan semangat baru.
Setelah merapikan diri, Diva bersiap untuk jalan pagi. Ini adalah rutinitas sederhana yang perlahan mulai ia jalani kembali, sebuah kegiatan yang dulu begitu ia rindukan namun sempat terabaikan karena kesibukan dan beban hidup. Dengan langkah ringan, ia keluar rumah, membiarkan udara pagi yang sejuk menyentuh kulitnya, menenangkan pikirannya yang sempat penuh oleh berbagai persoalan.
Diva berjalan perlahan, menikmati setiap hembusan angin dan suara alam yang pelan-pelan membangunkan dunia. Di tengah langkahnya, ia tersenyum kecil, menyadari bahwa kebebasan ini kebebasan untuk sekadar menikmati pagi tanpa tekanan adalah sebuah anugerah yang dulu sering ia abaikan.
Hari ini, Diva memutuskan untuk ke toko siang hari saja, menyesuaikan waktunya dengan jadwal agen-agen yang akan datang mengantar barang. Ia ingin memberi dirinya waktu lebih lama untuk menikmati pagi, seolah menyiapkan hatinya agar lebih kuat menghadapi apa pun yang akan datang.
lanjut author..💪💪