Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keadaan Asyla 2
🌸
🌸
“Pesawat … ngiung ngiung ngiung ….” Sayup-sayup suara kecil itu masuk ke gendang telinga Asyla, membuat keningnya sedikit berkerut. Namun kedua matanya masih terpejam karena merasa begitu lengket untuk dibuka. Ditambah, ada rasa hangat yang nyaman menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga dia enggan untuk sekedar bangun.
Hangat yang … entah. Rasanya nyaman saja, seperti sesuatu yang belum pernah ditemukannya sama sekali, kecuali saat Jaka masih hidup dan sering memeluknya ketika tidur. Rasa pusing dan sakit yang semalam sempat menyiksanya saja seolah menghilang.
Tunggu!
Lalu matanya terbuka seketika dan apa yang dia temukan membuatnya tercenung untuk beberapa saat. Di mana sesuatu berbalut kulit yang terlihat kekar memenuhi pandangan.
Lalu tangannya merayap untuk menyentuh, dan yang dia rasakan adalah kehangatan sama seperti ketika Jaka masih ada. Debarannya juga sama saat telapak tangannya menempel di sana.
“Kang Jaka?” Wanita itu menggumam. Namun aroma berbeda yang mampir ke hidungnya membuat dia terdiam lagi.
Wangi ya baru-baru ini dikenal. Yang pemiliknya merupakan majikan di villa tempat dia bekerja selama dua bulan belakangan.
“Umm ….” Asyla mendongak, dan yang dia temukan adalah wajah rupawan Alendra.
Benarkah?
Sang majikan yang terlelap di dekatnya dalam keadaan bertelanjang dada?
Oh, tidak!!
Dan ini, apa lagi? Dia memeluknya begitu erat seolah dirinya akan terlepas jika tak melakukannya.
“Astagfirullah!!” Asyla memekik, lalu dengan cepat dia bangkit setelah berhasil melepaskan diri.
“Aaaa … Bapak ngapain di sini?” Dia langsung berteriak setelah menyadari keberadaan Alendra di kamarnya.
Pria itu tentu saja terkejut dan segera membuka mata.
“Kenapa Bapak nggak pakai baju?” teriaknya lagi yang kemudian menutup wajah dengan kedua tangannya, menghindari pemandangan mendebarkan di depan sana.
“Kamu sudah baikan, Syl?” Namun Alendra malah bertanya.
“Bapak habis ngapain?” Sedangkan Asyla berteriak lagi.
“Habis nemenin kamu.” Alendra mencondongkan tubuh lalu menyentuh keningnya.
Asyla menghindar, “jangan sentuh!!” Dia beringsut. Namun rasa dingin yang menerpa tubuhnya membuat dia sadar dengan keadaannya sendiri yang ternyata hanya mengenakan pakaia* dal*m saja, dan itu lagi-lagi membuatnya menjerit.
“Aaa … kenapa begini?” Lalu dengan cepat dia menarik selimut dari dekat Alendra.
“Bapak udah apain saya? Nggak mungkin Bapak berbuat begitu? Tapi—”
“Asyla, Asyla, ssttt! Jangan berteriak. Nanti ada yang dengar.” Alendra berusaha menghentikannya namun wanita itu terus menghindar. Dia melingkarkan selimut di seluruh tubuhnya lalu segera menjauh.
“Bapak sudah menodai saya? Kenapa, Pak?” Asyla terus berteriak, sementara Alendra berusaha mendekat.
“Ssttt! Tidak! Saya nggak melakukan apa-apa, hanya —”
“Terus kenapa Bapak ada di sini? Tidur, dan … Dan ….” kedua matanya tak bisa menghindari pemandangan di depan sana, di mana Alendra yang dalam keadaan bertelanjang dada mencoba mendekatinya.
Tangan yang kekar, perut cukup berotot dengan dada yang bidang. Asyla bahkan beberapa kali mengerjap untuk mempertahankan kesadarannya.
“Bapak —”
“Sssttt! Saya nggak melakukan apa-apa, saya hanya panik, hanya ….”
“Panik?”
Lalu Alendra bercerita bagaimana awalnya dia bisa berada di kamar itu. Mengapa keadaan mereka demikian dan apa yang terjadi dengan Asyla. Berkali-kali dia meyakinkannya agar percaya meski sepertinya sulit. Dan Asyla hanya terdiam menyimak sambil memicingkan mata.
“Percayalah, tidak ada yang terjadi. Ini murni hanya sebagai pertolongan pertama untuk menyelamatkanmu. Semalam keadaanmu sangat mengkhawatirkan.”
“Tapi kenapa harus begitu?”
“Karena saya nggak kepikiran cara lain.”
“Kita ‘kan bukan muhrim, kenapa Bapak —”
“Mana kepikiran soal itu? Saya hanya panik. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, sedangkan saya tidak bisa berbuat apa-apa? Tidak bisa meminta bantuan, dan lagi memikirkan Tirta.”
Asyla terdiam sambil mengeratkan lilitan selimut di tubuhnya.
“Tapi Bapak sudah lihat badan saya.”
“Tidak!!”
“Terus kenapa baju saya bisa kebuka?”
“Kalau nggak begitu metodenya tidak berhasil.”
“Tapi jadinya Bapak lihat badan saya.”
“Saya yakinkan nggak, Syl! Saya melepaskannya di bawah selimut.”
“Tapi barusan ….”
“Ee … itu … umm … hanya … sedikit.” Alendra menggaruk kepalanya, “dan tidak sengaja!” lanjutnya, membela diri. Walau ya, hal itu memang jelas terlihat meski masih dalam balutan pakai*n dal*m. Dan Asyla cukup menggoda.
“Ehm …” Dia berdeham.
“Tapi ….”
“Pokoknya nggak ada yang terjadi antara kita selain saya yang memelukmu untuk pertolongan pertama. Saya jamin itu!” Sekali lagi Alendra meyakinkan.
“Benar? Bapak nggak bohong?”
“Nggak!”
“Soalnya saya percaya sama Bapak.”
“Serius, Syl!” Alendra kembali mendekat, tapi kali ini Asyla tetap di tempatnya.
“Saya bersumpah, nggak melakukan apa-apa sama kamu.”
“Meskipun rasanya ingin,” bisiknya dalam hati.
“Eh!!” Lalu dia menggelengkan kepala.
“Umm ….”
“Bapak … pesawat, Pak. Ngiiiiuuunggg, ngiiiuuunngggg ….” Dan suara Tirta menginterupsi percakapan yang semula menegangkan itu. Bocah tersebut merangkak ke arah Alendra kemudian berpegangan pada kakinya. Dia mencoba berdiri.
“Pesawat, ada pesawat. Nguuuuuuunnnggg!” katanya dengan suara yang lucu, sedangkan dua orang dewasa di dekatnya sama-sama terdiam.
***
Suasana sedikit terasa canggung saat ini, menjadikan mereka tak banyak bicara. Masih terbayang bagaimana interaksi itu terjadi, terutama Alendra, yang sempat harus menetralisir pikirannya sendiri dari hal-hal kotor.
Dia adalah pria dewasa, yang tentu akrab dengan hal-hal demikian. Dan dengan keadaannya yang seperti sekarang ini sejak beberapa bulan belakangan membuatnya merasa lebih berat.
Entah dengan Asyla, karena wanita itu tampak biasa saja selain hanya lebih pendiam dari sebelumnya.
“Bapak … liburnya masih lama?” Setelah beberapa saat Asyla memulai percakapan. Rasanya tidak enak saja keadaan ini karena biasanya selalu ada yang menjadi bahan untuk mereka bercakap-cakap.
“Sampai tanggal dua.” Alendra menyesap kopinya yang mulai dingin akibat terlalu lama diaduk.
Asyla menghembuskan napas pelan.
“Memangnya kenapa?” Lalu Alendra bertanya setelah melihat reaksinya.
“Nggak kenapa-kenapa, kirain lama.”
“Hanya liburan tahun baru kenapa harus lama-lama? Memangnya anak sekolah?”
“Ya, kirain.”
Mereka terdiam lagi.
“Nanti mau minta izin keluar dulu sebentar.” Lalu Asyla kembali berbicara setelah berpikir cukup lama.
“Mau apa? Belanja? Memangnya stok makanan kita sudah habis, ya?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Mau ke posyandu.”
“Posyandu?”
“Pos pelayanan terpadu.”
“Saya tau posyandu itu apa, tapi mau apa?” Alendra kembali menyesap kopinya yang tinggal sedikit.
“Mau periksa Tirta. Seingat saya hari ini sudah waktunya.”
“Memangnya Tirta masih sakit? Kok harus diperiksa?”
“Maksudnya, untuk pengawasan pertumbuhan sama kesehatannya, Pak. Waktu masih di rumah Ambu ‘kan gitu.”
“Apa harus?”
“Sebenarnya harus, biar pertumbuhannya terpantau. Tapi kemarin-kemarin nggak sempat karena kerja kemana-mana. Karena sekarang saya kerja di sini, mungkin bisa minta izin. Nggak lama kok.”
“Kalau tidak pergi memangnya jadi masalah? Soal pertumbuhan Tirta ‘kan bisa diawasi sendiri. Iya, kata dokter kemarin dia kurang gizi, jadi itu artinya pola makan dan semua kebutuhannya yang harus ditingkatkan. Jadi sepertinya tidak masalah kalau tidak pergi, kan?”
“Nggak jadi masalah juga sih, tapi ‘kan saya masih warga sini, Pak. Jadi nggak ada salahnya kalau mau melengkapi data, kan?”
Alendra terdiam sejenak.
“Nggak boleh ya?” Asyla segera membuat kesimpulan.
“Bukannya nggak boleh, tapi apa kamu yakin aman?”
Wanita itu tertawa, “Bapak ini bercanda ya? Memangnya nggak aman karena apa? Itukan kampung tempat saya tinggal dulu.”
“Ya siapa tau, kan? Soal masalah dengan mertuamu kemarin bagaimana?” Tiba-tiba saja dia merasa khawatir.
“Bukannya sudah Bapak bayar? Jadi sepertinya nggak akan ada masalah soal itu. Lagian di sana juga banyak orang, saya rasa siapapun nggak akan berani. Atau kalau terjadi sesuatu saya bisa minta tolong.”
“Kamu yakin?”
“Iya.”
Alendra menarik dan menghembuskan napasnya pelan-pelan. Kenapa ini rasanya seperti kamu akan ditinggal pergi jauh dan belum tentu kembali? Padahal hanya turun ke perkampungan di bawah yang jaraknya tidak terlalu jauh dan Asyla akan segera kembali lagi.
“Baiklah ….”
Asyla tersenyum.
***
“Asyla? Lama nggak ketemu.” Beberapa orang ibu-ibu menyapanya begitu dia tiba di sebuah tempat yang biasa digunakan untuk kegiatan desa.
“Eh, iya Bi. Jarang turun juga saya nya.” Dan Asyla menanggapi dengan ramah.
“Masih kerja di villa itu, ya? Enak dong.” Ibu itu tertawa.
“Iya, Bi. Masih. Lumayan lah.”
“Iya, ya. Daripada tinggal sama ceu Mae kamunya sengsara. Apalagi kalau dinikahin sama juragan Somad.”
Asyla hanya tersenyum.
“Eh, ngomong-ngomong soal ceu Mae, dengar-dengar dua kebunnya yang lain sudah dijual juga ya?” Lalu percakapan itupun berlanjut disela mereka menunggu giliran pemeriksaan anak oleh petugas dari desa.
“Oh ya? Saya nggak dengar.”
“Iya, bener. Soalnya hutang sama juragan Somad katanya banyak.”
“Hutang bekas apa lagi?”
“Nggak tau, katanya untuk biaya selama kamu tinggal sama dia.”
“Biaya apa? Saya malah nggak pernah berhenti kerja selama sama ambu. Semua gaji yang saya dapat saya kasih. Terus gimana ceritanya jadi ambu yang biayain saya?”
“Soal itu kurang tau, pokoknya kemarin-kemarin mertua kamu bilangnya gitu.”
“Dan Bibi percaya?”
“Antara ya dan nggak.”
Lalu seorang petugas memanggil nama Tirta sehingga Asyla bangkit dari tempat duduknya. Mereka melakukan penimbangan, pemeriksaan kesehatan dan mengukur tinggi badan anak itu, lalu masukkan semuanya ke dalam catatan pada sebuah buku.
“Langsung balik lagi ke villa, Syl?” tanya ibu yang tadi saat Asyla hendak meninggalkan tempat itu setelah semuanya selesai.
“Iya.”
“Betah ya kamu di sana? Majikannya ganteng sih.” goda yang lainnya lalu mereka tertawa.
“Gimana nggak betah? Duitnya juga banyak, kan? Makanya bisa bayarin hutangnya ke juragan Somad.”
“Iya, bener.”
“Kerjanya juga gampang, kan? Cuma ngurusin satu orang doang. Kalau soal beresin rumah kayaknya nggak ribet.” Ada yang lain terdengar sedikit mencibir.
“Iya, tinggal dikedipin doang. Pasti semuanya jadi gampang. Apalagi kalau bisa bikin majikan seneng, nggak susah deh hidupnya.” Dan Asyla hampir saja pergi ketika di saat yang bersamaan kalimat pedas itu terlontar.
“Apa?”
“Sambil kerja sekalian godain majikannya, Syl. Lumayan ‘kan bisa ngangkat derajat kamu. Selain jadi nyonya, Tirta juga jadi punya bapak.” Tawa kembali menggema di tempat itu meski di akhir mereka sedikit menahan.
“Kalau gitu, terus kenapa nggak mau nikah sama juragan Tirta? Sama-sama jadi nyonya, kan?”
“Iya, nyonya ke empat. Lagian siapa juga yang mau sama aki-aki begitu? Ya mending sama yang ini, iya kan, Syl?”
Asyla tampak kesal dengan ucapan-ucapan itu. Ingin menjawab, tapi dia malas juga. Karena mereka tidak akan berhenti hanya di sana saja.
“Mari, Bi. Saya duluan.” katanya yang segera meninggalkan tempat itu.
“Bikin kesel ya, Tirta? Untung kita nggak tinggal di sana lagi.” Dia memilih berjalan kaki untuk kembali ke villa. Menyusuri jalanan aspal yang sepertinya baru saja diperbaiki karena terlihat masih hitam pekat.
“Kesel?” Tirta menyahut.
“Iya, kesel.”
Anak itu hanya tertawa.
Namun langkah mereka terhenti ketika sebuah motor bebek mendekat dan memepet Asyla hingga tersudut ke pinggir jalan hampir terperosok ke selokan kecil di samping.
“Hey!!” Wanita itu berteriak karena tidak terima, yang membuat si pengendara motor berhenti lalu menoleh.
Asyla terkesiap karena orang itu rupanya yang cukup dia kenal. Adalah Ahmad, kakak iparnya yang kebetulan melintas.
“Akhirnya kamu keluar juga dari villa itu?” Pria itu berujar.
Asyla tidak mau menanggapi sehingga dia mempercepat langkah. Rasanya keadaan ini tidak akan baik jika dirinya bertemu dengan lelaki 30 tahun itu dan dirinya benar-benar harus menghindar.
“Hey, mau ke mana kamu? Urusan kita belum selesai!!” Ahmad mencekal pergelangan tangannya.
“Saya nggak ada urusan sama Akang! Kita nggak ada masalah!!” Namun Asyla berusaha melepaskan diri.
“Siapa bilang? Kita jelas ada urusan.”
“Urusan apa?”
“Urusan soal tanah Ambu saya!”
Asyla terperangah. “Saya nggak tau apa-apa soal tanah itu, dan nggak mau tau!”
“Nggak bisa, karena gara-gara kamu ambu jadi kehilangan tanahnya.”
“Saya nggak tau apa-apa!!” Asyla tetap berusaha melepaskan diri. Tetapi cengkraman Ahmad sangat kencang sehingga dia sulit pergi.
🌸
🌸
Wah wah ... Ada apa ini ya? 🙈🙈
Skin to skin??? Suhu tubuh Syla bisa aja turun. Masalahnya panasnya pindah ke Ale gak???😂
Mulut² ember minta digaruk pake parutan kelapa tuh,kalo ngomong pada asal jeplak aja 😡😡