DICARI DENGAN SEGERA
Asisten pribadi.
• Perempuan usia max 27 tahun.
• Pendidikan terakhir min S1.
• Mampu berkomunikasi dengan baik dan bernegosiasi.
• Penampilan tidak diutamakan yang penting bersih dan rapi. (Lebih bagus jika berkaca mata, tidak banyak senyum, dan tidak cerewet.)
Kejadian itu satu setengah tahun lalu, saat dia benar-benar membutuhkan uang, jadi dia melamar pekerjaan tersebut. Namun setelah dia di terima itu adalah penyesalan untuknya, sebab pekerjaanya sebagai asisten pribadi benar-benar di luar nalar.
Bosnya yang tampan dan sangat di gemari banyak wanita itu selalu menyusahkannya dalam hal pekerjaan.
Dan pekerjaannya selain menyiapkan segala kebutuhan pribadi bosnya, Jessy juga bertugas menyingkirkan wanita yang sudah bosan dia kencaninya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Sepadan
Chris membaringkan Jessy di kamarnya, setelah membawa dan merebutnya dari Mina. Gadis ini sepertinya lelah setelah terus meracau sepanjang jalan, hingga kini terlelap. Dia bahkan muntah di pakaian Chris setelah beberapa saat terus menempel padanya.
Chris mengusap pipi Jessy yang memiliki goresan disana, mungkin ini akibat dari tamparan Clara, hingga dia mengingat lagi perkataan Mina tentang Jessy yang selalu mendapat perlakuan buruk dari seluruh mantannya.
Selama ini dia pikir Jessy melakukannya dengan baik, dalam membungkam para gadis itu. Namun ternyata dibalik itu semua Jessy juga menerima konsekuensi karena perbuatannya mempermainkan wanita. Tapi kenapa Jessy tak pernah mengatakannya?
"Max aku ingin rekaman cctv satu bulan lalu di restoran xxx." Chris mematikan teleponnya setelah memastikan Max mengiyakan permintaannya.
Chris kembali menatap pada Jessy, tangannya terulur kembali pada pipi Jessy, namun kali ini tangannya di tepis Jessy. "Menjauh," gumamnya dengan mata memejam.
"Mama, Papa aku mau pulang ... ." Jessy berbicara bahasa yang tak Chris mengerti. Haruskah dia belajar bahasa Negara Jessy agar dia bisa mengerti saat gadis itu mengumpatnya?
Chris terkekeh, lalu beranjak untuk membersihkan dirinya yang terkena muntahan Jessy dengan memasuki kamar mandi.
Chris kembali tepat saat ponselnya berdering. Saat melihat itu Max Chris segera menerima panggilan tersebut.
"Saya sudah mengirimkan rekaman vidionya, Tuan."
"Terimakasih, Max."
Chris mematikan teleponnya dan beralih pada pesan yang Max kirimkan. Dan saat vidio terputar dia melihat adegan yang tentu saja membuatnya marah. Jessy di siram air jus oleh mantan kekasihnya kala itu.
Sial. Ini benar-benar gara- gara dia.
Inikah alasan Jessy tak ingin memperpanjang kontrak kerjanya. Tentu saja jika di perlakukan seperti itu terus menerus, Chris pun akan muak. Tidak! mungkin bukan hanya dua tahun, dalam dua hari pun Chris tak akan sudi.
Chris menoleh pada Jessy saat teringat racauan gadis itu ketika di dalam mobil tadi.
"Brengsek! Aku tidak akan mau melihatnya lagi."
"Aku, akan menendang burungnya, lihat saja nanti."
"Hei, pria. Aku tak bisa mengundurkan diri ... hiks. Dendanya terlalu besar. Padahal aku sudah bekerja sepenuh hati, tapi pria itu terus mempermainkan aku."
"Hatiku sakit ... sakit sekali."
Chris menghela nafasnya. Setelah ini Chris akan memperlakukan Jessy dengan baik.
Chris mengambil kotak obat. Membubuhkan obat merah pada goresan di pipi Jessy.
"Hmmm, sakit." Jessy menepis tangan Chris. Namun saat melihat Jessy masih memejam Chris kembali melanjutkan kegiataannya mengobati pipi Jessy.
Setelah selesai Chris menyelimuti Jessy, dia sendiri beranjak keluar dari kamar.
Chris menyusuri ruang demi ruang untuk menemukan pelayan.
"Buatkan minuman pereda pengar. Lalu buat sup ayam untuk menu makan malam nanti," ucap Chris pada pelayan, yang dengan sigap mengangguk dan mengatakannya pada koki yang bertugas.
Jessy menggeliat dan bangun dari tidurnya. Merasakan kepalanya berat Jessy meremas rambutnya dengan keras.
"Sialan, kepalaku sakit sekali," ucapnya dengan meringis. Inilah yang Jessy tak suka dari minuman. Jangankan banyak, sedikit saja dia bisa merasakan pusing. Tapi tadi dia butuh melampiaskan amarahnya, jadi tanpa pikir panjang dia minum banyak sekali.
Ini gara- gara bos sialannya.
Jessy menyipitkan matanya saat melihat dia ada dimana. Jelas ini bukan kamar Mina. Ini adalah kamarnya di rumah Chris. Tapi, bagaimana bisa dia ada disana? Bukankah tadi dia bersama Mina? Jessy menurunkan kakinya dengan memegang kepalanya yang masih berdenyut, namun baru akan melangkah, tubuh Jessy yang masih limbung membuatnya terduduk kembali di atas ranjang.
"Ish."
"Sudah tahu akibatnya, kenapa minum banyak?"
Dari sekian banyak orang, hari ini Jessy tak ingin bertemu dengan Chris. Tapi, kenapa justru pria itu yang muncul sekarang.
"Minum ini!" Chris menyerahkan satu mangkuk minuman pada Jessy.
"Apa itu?"
"Minuman pereda pengar." Jessy meraihnya lalu meneguknya hingga tandas. Kali ini mata Jessy sedikit terbuka, dan terasa terang benderang.
Jessy menghela nafasnya, lalu menatap pada Chris. "Kenapa anda masih disini?" tanyanya pada Chris yang terus memperhatikannya. Kenapa pria itu tidak langsung pergi?
Di perhatikan seperti itu jelas Jessy merasa canggung.
"Tidak ada yang ingin kau katakan padaku?"
Jessy mengerutkan keningnya. "Misalnya kenapa kau tidak bekerja dan memilih mabuk dengan temanmu itu?"
Jessy melipat bibirnya. "Anggap saja aku cuti."
"Cuti tanpa keterangan, kau kira ini perusahaan milikmu?" Jessy terdiam. "Aku sudah membuat keputusan. Jika kau tidak bekerja dengan alasan atau keterangan jelas, maka kontrak kerjamu maju satu minggu."
"Apa!" Jessy bangkit dan berdiri. Jelas dia tak terima.
"Jadi untuk mengganti satu hari ini kontrak kerja kita maju satu minggu."
"Kenapa begitu? Aku tidak mau."
"Peraturan sudah di buat."
Jessy mengepalkan tangannya. "Kau." Chris menyeringai dengan tangan terlipat di dada saat melihat Jessy menahan amarahnya.
"Tuan, kau tidak bisa begitu. Selama ini aku bekerja dengan baik. Kenapa kau terus mempermainkan aku," ucapnya dengan nada sepelan mungkin.
Chris menaikkan alisnya. "Aku menggajimu dengan sepadan."
Jessy terkekeh mengejek, dia benar-benar kesal. "Sepadan? Aku bahkan harus merasakan pukulan dan tamparan dari para kekasihmu, apa itu sepadan!" Jessy berteriak marah.
Chris diam namun masih menatap Jessy dengan tenang. "Kau pikir aku suka harga diriku di injak- injak. Apa katanya, aku melayanimu hingga ke ranjang? Oh Astaga. Apa selama ini aku terlihat murahan? Dan kau, jangan pikir kau memiliki uang bisa membayarku, lalu merendahkan aku, mempermainkan aku? Kalian pikir aku sudi?"
Chris menunduk, namun bibirnya tersenyum.
"Tidak mau tahu, kontrak tidak akan di perpanjang. Persetan dengan pelanggaran. Saat kontrak selesai, aku tidak akan peduli lagi!" Nafas Jessy terengah sebab bicara panjang lebar. Namun saat melihat Chris tetap diam Jessy jadi salah tingkah. Seolah menyadari jika dia baru saja marah pada bosnya.
"Sudah puas?" tanya Chris dengan masih menatapnya.
"Apa maksudmu?"
"Mulai sekarang, katakan saja semuanya. Jika kau marah, dan kesal. Katakan semuanya padaku. Jika kau di tampar kau bisa balas dua kali lipat. Jangan diam hanya karena kau hanya asistenku, atau hanya diam saat kau di rendahkan. Maaf aku tak tahu mereka selalu melakukan itu padamu."
Jessy tertegun saat Chris menampakkan wajah penuh rasa bersalah.
"Tidak perlu, itu bukan salah mereka." Jessy memalingkan wajahnya.
"Kamu benar, ini salahku. Atau kau bisa melampiaskannya padaku?" Jessy mengerjapkan matanya saat Chris menggenggam tangannya dan meletakkannya di pipi Chris. "Ayo tampar aku."
"Kau, apa- apaan sih, Tuan." Jessy menarik tanganya, namun Chris masih menahannya. "Tuan, lepaskan aku." Jessy berusaha menarik tangannya kembali.
"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau melakukannya."
"Apa sih, Tuan." Jessy tak nyaman dengan tatapan mata Chris
"Ayo balas padaku."
Jessy memejamkan matanya, merasa ini tak akan selesai karena Chris yang keras kepala. "Baiklah, jika anda memaksa." Jessy menarik tangannya, lalu mengambil ancang-ancang untuk menampar pipi Chris.
Hingga saat telapak tangannya benar-benar mendarat di pipi Chris dengan keras.
Plak!
Pipi Chris memerah. Harus Jessy akui dia melakukannya sekuat tenaga, saking kesalnya dia pada pria itu. Namun Jessy tak mengira jika Chris benar-benar tak menghindar.
Jessy semakin tak mengerti saat Chris justru mengusap telapak tangannya yang tak kalah merah. "Sakit tidak?"
Chris mengalihkan usapannya ke pipi Jessy dimana ada goresan disana. "Ini pasti tidak sepadan dengan rasa sakit yang kau rasakan."
sakit fisik ngga sepadan sama sakit psikis...
ayoo...tanggung jawab kamu sama Jessy...