NovelToon NovelToon
2 Suami

2 Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cerai / Beda Usia / Angst
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Meymei

Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menabrak Karang

Weko dan awak kapal lainnya, masih di lautan saat tanda-tanda badai mendekat. Mereka berusaha menarik jaring ikan secepat mungkin agar bisa secepatnya mencapai darat.

“Apa kamu bisa menghubungi istrimu?” tanya Giga.

“Bisa. Tetapi tidak sempat mengatakan apapun karena sinyal hilang.” Jawab Weko.

“Bersyukurlah! Aku bahkan tidak bias menghubungi adikku karena ponselnya tidak aktif.”

“Kenapa kamu terdengar pesimis? Tidak seperti biasanya!”

“Apa kamu yakin bisa menghadapi badai kali ini?”

“Entahlah! Mungkin aku akan melakukan seperti biasanya.”

“Kamu saja tidak yakin, malah mengejekku!”

“Berdoa saja yang baik-baik.”

“Sejak kamu menikah, kamu berubah menjadi alim. Apa kamu mau menjadi seorang ustadz?”

“Jangan bercanda!” Weko melemparkan tali tambang ditangannya ke arah Giga.

Setelah semua jaring terangkat, mereka segera menyalakan mesin dan bergerak ke daratan. Sayangnya saat kapan masih berjarak 3 mill dari daratan, gelombang tinggi menabrak kapal dan membuat semua awak kapal terpental.

Kapten kapal yang tidak bisa mengendalikan kemudi, berteriak meminta semua orang untuk menutup layar dan berpegang erat agar tidak terlempar dari kapal. Kapal mereka akhirnya mengikuti arus sampai sisi kanan kapal menabrak batu karang.

Kebocoran di lambung kapal membuat semua awak kapal segera turun dan menutupinya dengan alat seadanya. Kapten kapal dan wakil mencoba mengendalikan kemudi dengan agar mereka bisa mencapai darat secepat mungkin.

“Itu tadi nyaris saja!” kata Riki yang merebahkan tubuhnya di pesisir pulau yang mereka singgahi.

Semua orang melakukan hal yang sama karena mereka juga merasakan kelegaan terbebas dari bencana. Hanya Weko dan kapten kapal yang berbincang mencari solusi untuk kapal mereka.

“Sebaiknya kita perbaiki dulu kapal ini. Setelah itu kita cari pemukiman terdekat untuk menjual ikan yang sudah kita tangkap. Melihat kondisi laut saat ini, ikan yang kita tangkap tidak bisa bertahan lama sampai kita bisa pulang.” Kata Hamka selaku kapten kapal.

“Ya. paling tidak, perbaikan membutuhkan waktu 3.” Kata Weko.

“Ya, kamu benar. Katakana pada yang lain kalau kita akan tinggal sementara di sini. Pastikan mereka memperhatikan sekitar karena ini pulau tidak berpenghuni dan tidak berbuat macam-macam.”

“Ya! Apakah ponselmu ada sinyal?”

“Tidak ada. Coba ponsel jadul milik Giga, mungkin saja bisa digunakan.” Weko mengangguk dan mendekat ke arah rekan-rekannya.

Setelah menyampaikan apa yang Hamka katakana, Weko meminjam ponsel jadul Giga yang memiliki antena eksternal untuk melihat apakah ada sinyal di ponsel tersebut.

“Kalau kamu mau menelepon, cari tempat yang tinggi. Naik pohon misalnya.” Kata Giga.

“Sinyal 1 ini apakah tidak bisa dipakai menelepon?”

“Bisa, tapi tidak stabil.”

“Aku akan mencobanya nanti.” Kata Weko yang menyerahkan ponsel Giga kembali.

Semua orang mulai menyiapkan perapian dan membuat tenda seadanya untuk istirahat. Beberapa menyiapkan makan malam untuk mereka dengan menu ikan tangkapan mereka. Malam itu mereka lalui dengan doa, semoga badai segera mereda dan mereka bisa kembali ke keluarga mereka dengan selamat.

Di sisi lain.

Inaya yang sudah mendapatkan kabar dari Weko merasa lega. Seharian ia berada di rumah bersama Ranti, Anif dan Yanti. Walaupun hanya Ranti dan Anif yang banyak berbicara, Inaya mengabaikan Yanti karena dirinya tidak ingin membuang energinya.

“Kamu makan apa siang ini?” tanya Ranti.

“Pagi tadi tempe penyet, siang ini aku mau nasi jagung, Bu. Apa ada yang jual?”

“Di pasar ada yang jual, tapi tidak tahu jualannya sampai siang atau tidak.”

“Ya sudah, ayo ke pasar, Bu!” ajak Inaya.

Ranti mengangguk menuruti keinginan sang anak dan berangkat ke pasar bersama Inaya. Tetapi Ketika sampai di tempat yang dimaksud, penjual nasi jagung sudah tutup sejak pukul 9 pagi. Ranti yang melihat kekecewaan di wajah Inaya, bertanya kepada beberapa penjual di sana dimana mereka bisa membeli nasi jagung karena anaknya sedang mengidam.

“Bisa ke perempatan sana, Bu. Di sana ada Mbah Tum yang jualan di dekat pos kampling. Biasanya jualannya sampai sore karena jualan lontong sambal kacang juga.” Kata pedagang es campur.

“Terima kasih, Bu.” Ranti lalu mengajak Inaya ke perempatan yang dimaksud.

Sampai di sana, Mbah Tum yang dimaksud masih berjualan. Segera Inaya memesan nasi jagung. Sambil menunggu pesanannya, Inaya memakan bakwan sayur dan pisang goreng yang masih hangat.

“Apa tidak sebaiknya kamu membelikan mertuamu?” tanya Ranti.

“Aku tidak tahu ibu doyan atau tidak.”

“Tanyakan!” Inaya mengangguk dan menghubungi Mida.

Ia menanyakan apakah Mida mau nasi jagung, tetapi Mida mengatakan jika di rumah tidak ada yang suka dengan nasi jagung. Sehingga Inaya tidak menambah pesanannya. Tetapi sebagai gantinya, Inaya membelikan es cincau untuk mertua dan adik-adiknya.

“Kenapa tidak makan?” tanya Anif kepada Yanti.

“Tidak doyan!”

“Gaya kamu! Nasi jagung ini enak tahu.”

“Makanan apa itu? Tidak ada ayam atau ikannya.”

“Ikan asin ini?” Anif memperlihatkan lauk nasi jagung yang berupa oseng ikan asin layang dengan tomat mentah, sayur Nangka muda dan urap.

“Tidak enak!”

“Dasar..”

“Biarkan saja, Nif. Tidak mau makan itu biar dia buat telur untuk lauk. Tidak usah dipaksa!” kata Inaya menghentikan adiknya yang hendak mengumpat.

Yanti hanya menatap Inaya sekilas dan pergi ke dapur untuk membuat telur ceplok, sedangkan Ranti tidak berkomentar.

Sejak merawat Yanti, Ranti sering makan hati karena kelakuan cucunya yang terkesan tidak menghargainya sebagai nenek dan suka bersikap seenaknya. Mungkin kalau tidak ada Inaya, Ranti tetap akan membela Yanti. Tetapi karena ada Inaya, Ranti memilih bungkam karena jika membela sudah pasti Inaya akan mengomelinya yang memanjakan Yanti.

Sekitar pukul 3 sore, Ranti mulai meminta Anif dan Yanti untuk berkemas karena mereka harus pulang.

“Kamu yakin tidak mau dimasakkan untuk makan malam?” tanya Ranti.

“Aku bisa sendiri, Bu.”

“Mumpung Ibu kemari, harusnya kamu minta ibu yang masak.”

“Seharusnya aku yang memuliakan ibu, bukannya malah sebaliknya, Bu.”

“Tidak masalah. Kapan lagi ibu bisa berkunjung?”

“Ibu mau kesini tiap minggu juga tidak masalah!”

“Sungkan sama mertuamu.”

“Ini apa?” tanya Ranti saat Inaya memberikan amplop kepadanya.

“Ini jatah bulan ini.”

“Tidak perlu, kamu simpan saja. Kamu sedang hamil dan kebutuhanmu akan bertambah. Ibu masih punya uang sisa acara kemarin untuk di putar modal dan saku anak-anak.”

“Tapi, Bu..”

“Tidak ada tapi! Kalau Ibu membutuhkannya, Ibu akan minta nanti.”

“Baiklah!” Inaya mengangguk dan memilih memberikan uang ke Anif dan Yanti, masing-masing satu lembar lima puluh ribuan.

Setelah kepergian keluarganya, Mida mendatangi Inaya dengan membawa semangkuk sayur merica ikan trakulu.

Huek!

Inaya tidak tahan dengan bau bumbu dan amis dari ikan. Ia berlari ke kamar mandi, tetapi tidak ada yang keluar untuk dimuntahkan. Hal tersebut justru membuatnya tersiksa karena perutnya terasa kram dan sakit kepala.

“Maaf, Ibu tidak tahu.” Mida panik melihat menantunya terduduk lemas di kursi dapur.

“Tidak apa-apa, Bu. Akhir-akhir ini aku sudah tidak merasakan mual. Maaf, Bu.”

“Tidak masalah. Aku akan membawanya pulang. Apa kamu menginginkan sesuatu?”

“Tidak, Bu. Aku bisa makan masakan sisa tadi.” Inaya beralasan, padahal sebenarnya tidak ada masakan di rumah.

Setelah mertuanya pergi, Inaya menutup pintu dan menyenderkan tubuhnya di sofa. Saat mual seperti ini, ia harus minum obat mual yang diberikan dokter. Tetapi ia justru memilih untuk memejamkan matanya.

.

.

.

.

.

Disclaimer: Kejadian yang terjadi tidak sepenuh sama dengan apa yang terjadi di lapangan.

1
kalea rizuky
lanjutnya man
Meymei: Siap kakak 😁
total 1 replies
indy
jadi ikutan pengin lobster
indy
semangat kakak
Meymei: Semangat 🙏🏻
total 1 replies
indy
masih yang manis manis
indy
serasa di jawa
indy
adat Jawanya gak terlalu beda kok, terutama untuk rakyat biasa. ada piring terbang juga
Meymei: Beda dikit ya kak 😁
total 1 replies
Susanti
bagus lanjut
indy
semangat kaka
Meymei: Terima kasih, kakak 🥰
total 1 replies
indy
keren, sekarang edisi budaya jawa ya
Meymei: Cmiiw ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!