Kala Azure adalah seorang kapten agen rahasia legendaris yang ditakuti musuh dan dihormati.
Namun, karier cemerlangnya berakhir tragis, saat menjalankan operasi penting, ia dikhianati oleh orang terdekatnya dan terbunuh secara mengenaskan, membawa serta dendam yang membara.
Ajaibnya, Kala tiba-tiba terbangun dan mendapati jiwanya berada dalam tubuh Keira, seorang siswi SMA yang lemah dan merupakan korban bullying kronis di sekolahnya.
Berbekal keahlian agen rahasia yang tak tertandingi, Kala segera beradaptasi dengan identitas barunya. Ia mulai membersihkan lingkungan Keira, dengan cepat mengatasi para pembuli dan secara bertahap membasmi jaringan kriminal mafia yang ternyata menyusup dan beroperasi di sekolah-sekolah.
Namun, tujuan utamanya tetap pembalasan. Saat Kala menyelidiki kematiannya, ia menemukan kaitan yang mengejutkan, para pengkhianat yang membunuhnya ternyata merupakan bagian dari faksi penjahat yang selama ini menjadi target perburuannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertama Kali Punya Keluarga.
Keira mematung. Tak terasa air matanya menetes deras.
Tubuh kaku di hadapannya berhasil membuatnya menitikan air mata. Kala yang terkenal tegar dan kuat kini terlihat sangat rapuh.
Wajahnya dulu yang cantik memukau kini terlihat pucat dan menyedihkan. Keira mengusap wajah beku itu, isakannya semakin kencang. Keira menyerah, ia menarik resleting dan mundur beberapa senti.
"Aku pasti membalas penghianatan ini. Aku pastikan kau menyesal, Dorion." Suaranya mantap penuh tekanan.
Ia tak tahu apa alasan Dorion yang sebenarnya. Dia sudah di anggapnya keluarga namun, Dorion bahkan menembakkan peluru itu tanpa sedikit pun rasa menyesal.
"Aku gak mau lagi percaya siapa pun," gumamnya, ia merasa tak butuh seseorang di sampingnya lagi. Penghianatan Dorion menyisakan trauma yang mendalam.
Tak ingin terus larut dalam kesedihan, Keira segera bangkit. Ia menarik tubuhnya yang kaku menuju semak-semak dan menutupi dengan dedaunan dan kayu.
"Bertahanlah sebentar lagi. Mereka akan datang untukmu," gumamnya sambil meletakkan ranting-ranting kering di atasnya.
Setelah di rasa aman dan tak akan ada yang menyadarinya Keira bergegas meninggalkan tempat itu. Ia kembali ke atas dermaga mengambil ponsel dan sepatunya.
Mata Keira segera tertuju ke handphone yang terus berdering. Nama yang tertera di sana membuat jantungnya berdesir kencang: "Ayah."
Jantung Keira berdegup kencang. Kata ayah yang tak pernah ia sebut selama hidupnya, kini tiba-tiba ia mempunyai ayah membuat hatinya pilu.
Tangannya bergetar saat menekan tanda hijau. "Ha ... halo."
"Keira kamu di mana? Ayah menjemputmu di sekolah tapi kamu kok gak kluar-kluar?" ucapan di sebrang telepon terdengar begitu cemas.
Mata Keira berkaca-kaca. Ia merasa terharu sekaligus bingung, bolehkah ia memanggilnya ayah. Ayah yang selama ini ia rindukan walau ia tahu itu bukan ayah kandungnya.
Air matanya kembali menggenang. Punggung tangannya mengusap kasar lelehan air mata di pipi. "Maafkan aku, Yah. Bisakah Ayah jemput aku di dermaga tua? Nanti aku kirim alamatnya."
"Apa? Dermaga tua? Kenapa kamu sampai ke sana? Baiklah, Ayah akan susul kamu. Ingat, jangan ke mana-mana," perintah suara itu tegas.
Keira mengangguk, walau ia tahu ayahnya tak bisa melihat isyarat itu. Ia meletakkan kembali ponselnya, tatapannya jauh menerawang ke laut, mencoba mencari ketenangan di tengah gejolak badai di hatinya.
Angin laut sore bertiup kencang menerpa rambutnya yang berantakan. Tangan lelahnya meraih kaca mata dan mulai di kenakannya.
"Aku akan coba menjadi dirimu Keira. Kau layak hidup lebih baik, namun sayangnya nasipmu harus berakhir tragis sepertiku," gumamnya pada tubuh yang kini ia tempati.
Setengah jam kemudian, deru mesin motor memecah kesunyian dermaga. Dari kejauhan, Keira melihat sosok pria bertubuh tambun, mengenakan kaus tertutup jaket kain warna hijau dan celana training.
"Apa dia ayahmu, Keira?" batinnya bertanya.
Ia segera bangkit, menarik napas dalam-dalam, dan menghadap ke arah pria itu, bersiap memulai kehidupan barunya sebagai Keira.
"Keira!" panggil Marvin dari kejauhan, tangannya melambai ke arah Keira.
Melihat lambaian itu, senyum lebar tanpa sadar mengembang di wajah Keira. Ia segera mengambil ponsel dan sepatunya, lalu berlari menyambut sosok yang kini ia panggil Ayah.
Langkahnya cepat, seolah tak sabar menemui pria itu. Namun, saat jarak mereka kian dekat, Keira melambatkan langkahnya.
Wajah Marvin tampak damai dan bersahaja. Tanpa sadar, air mata Keira kembali menetes, kali ini karena rasa haru. Marvin yang melihat penampilan putrinya yang acak-acakan dan babak belur segera menghampiri.
Ia menangkup wajah Keira. "Apa yang terjadi? Kenapa wajahmu memar seperti ini? Kamu di-bully di sekolah?"
Keira mematung, menyaksikan kepanikan yang tergambar jelas di wajah Ayahnya. 'Ternyata begini rasanya dikhawatirkan?' batinnya.
Marvin menggoyangkan tubuh Keira dengan lembut. "Jawab, Nak. Kenapa kamu hanya diam?"
"Maaf, Yah," sela Keira cepat. "Ayah tidak usah khawatir. Aku kuat, mereka tidak ada apa-apanya dibanding aku."
Keira dengan antusias dan semangat yang menggebu-gebu memamerkan otot lengannya yang kecil. Namun, reaksi Marvin justru terkejut.
Putrinya yang selama ini pendiam dan lemah lembut tiba-tiba berubah agresif. Marvin memutar tubuh Keira, memeriksa apakah ada luka serius di kepala.
"Tidak ada luka di kepala, tapi kenapa tingkahmu bisa berubah begini?" gumam Marvin, merasa sangat heran.
Marvin menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, merasa bingung. "Ya sudah lah. Ayo kita pulang. Ayah akan buatkan sup iga malam ini."
Keira menyambut ajakan itu dengan anggukan dan senyuman bersemangat.
Deru suara mesin motor bebek tua itu meraung pelan. Keira segera naik ke jok belakang dan melingkarkan tangannya, memeluk pinggang Ayahnya.
"Ayo kita berangkat!" teriak Marvin, nadanya kembali penuh semangat.
Motor bebek itu melaju pelan menyusuri jalanan berbatu. Meskipun tunggangan itu hanyalah motor lawas yang sudah tampak usang, bagi Keira, pelukan di punggung Marvin terasa seperti berada di atas tunggangan yang paling mewah di dunia.
Sifat Ayah Kaira yang begitu positif, hangat, dan penuh semangat membuatnya merasa kembali ke dalam pelukan seorang ayah yang sesungguhnya, sesuatu yang ia rindukan di kehidupan lamanya.
Keira mempererat pelukannya, menyandarkan kepalanya di punggung Marvin yang terasa hangat. Sesaat, ia memejamkan mata, berusaha merasakan dan menikmati kedamaian yang mendadak hadir di tengah badai trauma yang ia alami.
Tak lama kemudian, motor melambat. Berhenti tepat di depan sebuah bangunan kecil dua lantai. Lantai bawah tampaknya difungsikan sebagai restoran, sementara lantai dua adalah tempat tinggal mereka.
Keira segera turun. Ia menatap papan nama restoran yang terlihat miring dan berkarat. Tulisan "Chicken Krispy Keira" itu tampak usang dimakan usia, dan kaca-kaca bangunan terlihat buram.
Saat masuk ke dalam, suasana di dalamnya jauh lebih kacau. Meja-meja masih berantakan, perabotan tak tertata, dan terasa kotor.
'Apa ini restoran? Siapa yang mau makan di tempat seperti ini?' batin Keira bingung. Ia lalu memikirkan Keira yang asli. 'Apa Keira tidak pernah membantu ayahnya di restoran?'
"Cepat naiklah dan bersihkan tubuhmu. Kalau sudah selesai, kita makan malam, oke?" instruksi Marvin memecah lamunan Keira.
Marvin mulai merapikan beberapa meja dengan cepat, bersiap untuk segera pergi ke dapur dan memasak sup iga yang dijanjikannya untuk putrinya itu.
Keira mengangguk, lalu segera berlari menaiki anak tangga kayu itu. Ia bergerak seolah sudah hafal setiap sudut bangunan, sebuah gerakan naluriah dari ingatan tubuh yang kini ia tempati.
Langkahnya terhenti di depan sebuah kamar dekat ruang TV. Di pintu kamar terpasang sebuah papan kecil bertuliskan, "Kamar Keira, Jangan Mendekat."
Ia menatap papan nama usang itu dengan kerutan di dahi. "Apa kau dulu begitu tertutup, Keira? Sampai-sampai kamarmu kau beri tulisan seperti itu," gumamnya, menganalisis karakter gadis yang telah memberinya kehidupan kedua ini.
Ditariknya kenop pintu dan Keira melangkah masuk. Ia segera merebahkan tubuhnya di atas kasur sempit, yang terasa sangat kontras dengan kasur king size di rumahnya dulu.
Namun, baru saja ia merasakan sedikit kelegaan, tubuhnya tiba-tiba menegang. Ia segera bangkit, teringat akan dirinya yang sebenarnya.
"Gawat!" serunya dalam hati. "Aku belum kabari lagi tentang tempatku menyimpan tubuh itu."
wuuu bara api mulai menyala.. ayo, hab*skan dan hanc*rkan semua yang menyakiti..
btw gimana kabar sekolah lama keira thor, penasaran sama gebrakan keira membuka aib sekolah lamanya😂
apakah dia ketemuan sama pahlawan merah