Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan dan Tatapan Ayah
Revan menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, memastikan aku merasa nyaman setelah obrolan intens di kafe tadi. Ketegangan yang sebelumnya muncul kini mereda, tergantikan oleh antisipasi tentang kunjunganku ke rumah Mami akhir pekan nanti.
"Terima kasih untuk ramen nya, Van. Enak sekali," kataku, melirik Revan yang fokus pada jalan.
"Sama-sama. Itu adalah perjanjian kita: jangan biarkan kesulitan menghentikan kita menikmati momen sederhana." Revan tersenyum lembut.
Tak lama, mobil Revan sudah memasuki kompleks perumahanku. Saat mobil berbelok di tikungan terakhir, mataku menangkap pemandangan yang membuatku sedikit lega: motor mati aku sudah terparkir rapi di teras rumah. Pria suruhan Revan benar-benar sudah mengantarnya.
"Tuh, lihat. Aku bilang juga apa," ujar Revan, seolah membaca pikiranku.
Mobil Revan berhenti tepat di depan gerbang. Aku baru saja akan membuka pintu, ketika pintu utama rumah terbuka. Ayahku, Om Bimo, keluar. Wajahnya yang biasa tegas tampak sedikit lelah, mungkin baru pulang dari kantor.
"Astaga! Ayah!" Aku bergegas keluar mobil.
Ayah menatapku, lalu tatapannya beralih ke mobil Revan. Aku bisa merasakan suhu di sekitar kami turun beberapa derajat.
"Sudah pulang, Ra?" tanya Ayah, suaranya datar. Ia lalu mendekat, tatapannya kini tertuju pada Revan yang sudah keluar dari kursi kemudi.
Revan dengan sigap mendekat dan mengulurkan tangan. "Selamat sore, Om Bimo."
Ayah menyambut uluran tangan Revan. Genggaman mereka terasa kaku dan formal.
"Sore, Revan. Sudah lama tidak kelihatan," balas Ayah, tanpa emosi berlebihan.
"Iya, Om. Belakangan ini jadwal kuliah Revan padat sekali, Om. Tadi kebetulan Revan ada waktu luang, jadi Revan jemput Indira. Sekalian check-up motornya Indira di sini sudah sampai atau belum," kata Revan, berusaha mencairkan suasana dengan alasan logis yang sudah ia persiapkan.
"Oh. Iya. Tadi sudah diantar," kata Ayah, mengalihkan pandangannya sebentar ke motorku.
"Terima kasih sudah repot-repot menjemput dan memastikan motornya."
"Tidak repot sama sekali, Om. Sudah kewajiban Revan." Revan mempertahankan senyumnya yang ramah, meski aku tahu ia sedang berjuang melawan ketegangan di udara.
Aku berusaha mengalihkan perhatian. "Ayah baru pulang, ya? Sudah makan? Biar Indira buatkan teh hangat, ya."
"Tidak perlu, Nak. Ayah mau mandi dulu. Kamu masuk. Sudah sore," ujar Ayah, tatapannya beralih dari Revan ke aku, mengandung makna yang tak terucapkan.
Ayah lalu menoleh ke Revan. "Revan, Tante Fatma lagi di dalam, tapi Om rasa kamu harus cepat pulang. Sudah malam."
Ayah sengaja menekankan Tante Fatma (Bunda Indira) berada di dalam, seolah memberikan isyarat bahwa Revan tidak perlu—atau tidak boleh—masuk ke rumah. Sikap Ayah jelas sopan, namun tegas dan dingin, sebuah peringatan halus.
Revan mengerti kode tersebut. "Tentu, Om. Revan tidak akan lama. Revan hanya memastikan Indira sampai dengan selamat. Baik, Om. Revan permisi dulu. Titip salam untuk Tante Fatma, ya, Om."
"Ya. Hati-hati di jalan, Revan."
Setelah pamit dengan singkat, Revan kembali ke mobilnya. Sebelum masuk, ia melirikku, matanya menyampaikan pesan: Aku baik-baik saja, dan kita akan baik-baik saja.
Aku berdiri di gerbang, menyaksikan mobil Revan menjauh. Setelah mobil itu menghilang di tikungan, Ayahku berdiri tegak di belakangku.
"Masuk, Indira. Dan kita perlu bicara tentang kunjungan yang jarang ini," kata Ayah, suaranya tenang, tetapi membuatku gemetar. Aku tahu, Garis Batas Keyakinan kini tidak hanya ada di antara aku dan Revan, tetapi juga di antara aku dan Ayahku.