Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23: Pilihan di Atas Meja Potong
Malam di Jakarta terasa sangat menyesakkan bagi Arini. Di dalam studio yang biasanya menjadi tempatnya menemukan kedamaian, kini hanya ada keheningan yang menekan. Arini duduk di depan meja potongnya, menatap kartu nama Helena Vance yang berwarna perak metalik. Di sisi lain meja, ada kancing emas bunga bakung pemberian Damar. Dua benda itu kini mewakili dua dunia yang saling bertabrakan: karier internasional yang sempurna atau hubungan yang dibangun di atas kejujuran yang cacat.
Arini tidak menyangka bahwa setelah semua badai dengan Adrian dan Maya berlalu, ia akan kembali dihadapkan pada masalah "kepercayaan". Bedanya, kali ini pengkhianatan itu dilakukan Damar demi alasan moral, bukan keserakahan. Namun, di dunia bisnis, pengkhianatan tetaplah sebuah noda pada serat reputasi.
"Mbak, Mas Damar ada di luar. Dia bersikeras ingin bicara," Sari masuk dengan wajah penuh rasa bersalah karena harus mengganggu Arini di jam satu pagi.
Arini menarik napas panjang. "Biarkan dia masuk, Sari. Tapi tolong, buatkan kami kopi yang sangat pahit. Aku butuh kesadaran penuh malam ini."
Damar masuk dengan langkah yang tidak lagi tegap. Ia tampak seperti pria yang baru saja kehilangan segalanya. Ia berdiri di hadapan Arini, namun tidak berani menyentuhnya.
"Aku tidak datang untuk membela diri, Arini," ujar Damar, suaranya parau. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah membocorkan rahasia Vance Textile untuk uang. Aku melakukannya karena aku melihat anak-anak kecil di pabrik itu mulai menderita penyakit paru-paru akibat limbah kimia yang mereka sembunyikan. Aku memilih untuk menjadi 'pengkhianat' bagi perusahaan demi menjadi manusia bagi mereka."
Arini menatap Damar tajam. "Dan dengan melakukan itu, kau menutup pintu bagiku ke Paris, Damar. Kau tahu betapa besarnya mimpi ini bagiku. Kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal? Aku benci menjadi orang terakhir yang tahu, apalagi jika itu menyangkut orang yang mulai kucintai lagi."
"Karena aku takut kehilanganmu untuk kedua kalinya, Arini," bisik Damar.
Arini terdiam. Ia mengambil gunting kain besarnya dan memotong selembar kain perca secara perlahan. Bunyi gesekan besi itu terdengar sangat dingin. "Helena memberiku syarat: aku bisa ke Paris, tapi aku harus memutuskan hubungan kerja sama denganmu dan perusahaan tekstilmu. Dia ingin kau di-blacklist secara total dari industri ini."
Damar memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk kecil. "Lakukanlah, Arini. Paris adalah tempatmu. Kau sudah terlalu banyak berkorban untuk sampai di sini. Jangan biarkan masa laluku menjadi batu sandungan bagi mahakaryamu. Aku akan mundur, aku akan menyerahkan sahamku kembali padamu secara cuma-cuma."
Mendengar itu, hati Arini justru merasa tertusuk. Adrian dulu mengkhianatinya untuk mengambil hartanya, sementara Damar rela memberikan hartanya agar Arini bisa sukses. Perbedaan itu sangat nyata, namun tetap saja, ada rasa sakit karena merasa dibohongi.
"Kau pikir sesederhana itu?" Arini berdiri, mendekati Damar. "Kau pikir aku bisa berdiri di panggung Paris dengan bangga, sementara aku tahu pria yang membantuku sampai di sana dihancurkan oleh sistem yang tidak adil? Jika aku melakukan itu, apa bedanya aku dengan mereka yang menjahit kebahagiaan di atas penderitaan orang lain?"
Arini mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat untuk Helena Vance.
"Madam Helena, terima kasih atas tawaran Anda. Namun, Arini tidak pernah menjahit dengan benang yang dipaksakan. Jika Anda menginginkan saya, Anda harus menerima tim saya—termasuk Damar dan standar etikanya. Saya lebih baik kehilangan panggung Paris daripada kehilangan integritas saya sebagai seorang manusia."
Arini menunjukkan layar ponselnya kepada Damar. "Kita akan ke Paris dengan cara kita sendiri, atau kita tidak pergi sama sekali. Aku bukan lagi wanita yang bisa didikte oleh rasa takut. Aku adalah wanita yang memilih benangnya sendiri."
Malam itu, di bawah temaram lampu studio, Arini menyadari bahwa kekuatan sejati bukan hanya tentang membuang pengkhianat, tapi tentang membela mereka yang jujur meski dunia menganggap mereka salah. Ia telah memilih benangnya, dan kali ini, ia akan menjahit pola yang paling berani dalam hidupnya.